Tanpa Upaya Khusus, Pekalongan Bisa Tenggelam Tahun 2035
Intervensi khusus perlu dilakukan untuk mencegah banjir dan rob di Kota dan Kabupaten Pekalongan, Jateng, meluas. Dampaknya juga harus ditekan dengan upaya-upaya terintegrasi agar penyelesaian persoalan komprehensif.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
PEKALONGAN, KOMPAS — Banjir dan rob masih membelenggu masyarakat di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Tanpa penanganan khusus, 90 persen wilayah Pekalongan diperkirakan akan berada di bawah air pada tahun 2035. Kerugian yang harus ditanggung akibat banjir dan rob juga akan lebih parah 30 kali lipat dari kerugian saat ini.
Banjir dan rob yang terjadi di Kota Pekalongan dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni perubahan iklim, penurunan muka tanah, dan aktivitas manusia. Perubahan iklim terjadi karena kenaikan muka air laut dan cuaca ekstrem, sedangkan penurunan muka tanah disebabkan oleh beban bangunan dan aktivitas pengambilan air bawah tanah. Adapun aktivitas manusia yang memicu banjir dan rob, antara lain, mengalihkan tata guna lahan, mencemari lingkungan dengan limbah, dan membuang sampah sembarangan.
Penurunan muka tanah di Kota Pekalongan masih terus terjadi. Hasil pemantauan Badan Geologi tahun 2022 menunjukkan, laju penurunan muka tanah di Kota Pekalongan mencapai 11,9 sentimeter (cm) per tahun. Laju penurunan tanah tertinggi berada di Kelurahan Pasirkratonkramat di Kecamatan Pekalongan Utara.
Berdasarkan asesmen risiko dan dampak perubahan iklim yang dilakukan Mercy Corps, sebesar 90 persen wilayah Kota Pekalongan akan berada di bawah air pada 2035 jika tak ada upaya khusus yang dilakukan. Area permukiman yang tergenang juga diperkirakan meluas hingga 100 kali lipat dari 0,5 persen pada tahun 2020 menjadi 51 persen pada tahun 2035.
Dampak kerugian yang ditanggung warga di 41 kelurahan yang ada di Kota Pekalongan juga diprediksi akan meningkat tajam dari Rp 1,5 triliun per tahun pada 2020 menjadi Rp 31,28 triliun per tahun pada tahun 2035.
”Berbagai upaya mulai dari mitigasi sampai adaptasi telah kami lakukan untuk menanggulangi banjir dan rob. Dengan intervensi yang kami lakukan bersama dengan berbagai pihak ini, dampaknya bisa ditekan semaksimal mungkin,” kata Perencana Ahli Madya Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kota Pekalongan Slamet Miftakhudin dalam webinar peringatan Hari Kota Sedunia, Kamis (3/11/2022).
Slamet mengatakan, upaya mitigasi yang telah dilakukan, antara lain, membangun infrastruktur pengendali banjir dan rob, memberikan layanan kebencanaan, mengembangkan kawasan konservasi pesisir untuk menguatkan fungsi ekologi, membatasi perizinan penggunaan air bawah tanah, dan memantau laju penurunan tanah. Sementara itu, upaya adaptasi yang telah dilakukan meliputi pembentukan kampung iklim, pendampingan masyarakat pesisir dalam mencari alternatif mata pencaharian dan perubahan perilaku, meningkatkan layanan sanitasi melalui MCK adaptatif, serta memperbaiki infrastruktur lingkungan.
Menurut Slamet, upaya mitigasi, khususnya pembangunan tanggul laut, pernah membuat wilayah genangan di Kota Pekalongan menurun pada tahun 2019. Sebelum pembangunan tanggul laut atau pada 2017 dan 2018, luas wilayah tergenang sekitar 1.300 hektar atau 30 persen. Luas itu sempat berkurang pada 2019 menjadi sekitar 1.000 hektar atau 23 persen.
Lambat laun ketinggian tanggul laut yang telah dibangun turun seiring dengan penurunan muka tanah di sekitarnya. Pada saat yang sama, muka air laut juga terus naik. Akibatnya, pada 2020, luas wilayah tergenang di Kota Pekalongan naik tajam menjadi 1.892 hektar atau 41 persen. Pengukuran terakhir yang dilakukan pada tahun 2021 menunjukkan, 37 persen atau sekitar 1.730 hektar wilayah Kota Pekalongan tergenang.
Kini, pemerintah pusat dan provinsi juga tengah menyelesaikan infrastruktur pengendali banjir dan rob yang ditargetkan rampung 2023. Infrastruktur yang dibangun, yakni kolam retensi, kolam tambat dan labuh kapal, pompa dan rumah pompa, parapet, bendung gerak, tanggul rob, dan long storage.
Relokasi
Banjir dan rob tidak hanya persoalan yang membelenggu Kota Pekalongan, tetapi juga wilayah-wilayah di sekitarnya. Di Kabupaten Pekalongan, misalnya, puluhan keluarga dari Dusun Semonet, Desa Api-api, Kecamatan Wonokerto, harus direlokasi karena rumahnya sudah tidak bisa ditinggali akibat terendam banjir dan rob.
Kepala Desa Api-api Qomarudin menuturkan, rob mulai merendam sejumlah tambak dan sawah di Desa Api-api sekitar tahun 2008. Rob terjadi karena banyak pohon mangrove yang ditebang pada 2004-2006. Kala itu, penebangan pohon mangrove dilakukan agar alat-alat berat untuk pengerjaan program normalisasi sungai dan pemindahan tempat pelelangan ikan bisa masuk ke wilayah tersebut.
Banjir dan rob menjadi kian parah dari tahun ke tahun sampai pada tahun 2013 air mulai merendam permukiman warga. Upaya penanaman kembali mangrove mulai masif dilakukan warga untuk mencegah kondisi semakin parah. Sayangnya, upaya itu tak banyak menolong, mangrove berusia muda yang ditanam warga selalu rusak diterjang air laut.
”Sejak tahun 2016, ada kecenderungan warga Api-api menyerah dengan kondisi yang ada. Mereka banyak kehilangan aset mulai dari lahan pertanian, lahan tambak, hingga harta benda mereka yang lain. Mata pencaharian mereka juga berubah dari awalnya sebagai petani atau petambak menjadi buruh. Itu semua karena lahan pertanian dan tambak mereka tak bisa lagi diselamatkan akibat terendam,” ucap Qomarudin.
Orang-orang yang masih bisa bertahan pada pekerjaan lama mereka adalah nelayan. Meski demikian, nasib mereka juga tak berbeda jauh dengan warga lain. Banjir dan rob yang juga merendam tempat pelelangan membuat mereka kesulitan melelang tangkapannya.
”Upaya lain yang bisa ditempuh adalah melelang ikan di tempat pelelangan ikan wilayah tetangga, seperti Pemalang, Kota Pekalongan, atau Batang. Tapi, itu juga sulit dilakukan karena perlu biaya tambahan untuk membeli bahan bakar. Apalagi, harga bahan bakar minyak terus naik,” tutur Qomarudin.
Sebagai kepala desa, Qomarudin tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi persoalan itu. Dana desa yang selama pandemi sudah banyak dialokasikan untuk penanganan Covid-19 tak cukup untuk membuat program penanggulangan banjir dan rob.
Pakar tata kelola perkotaan dari Mercy Corps Indonesia, Arif Ganda Purnama, mengatakan, langkah penanganan banjir dan rob di Kota dan Kabupaten Pekalongan tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus terintegrasi. Percepatan khusus harus dilakukan di tengah impitan kondisi fiskal dan sumber daya daerah.
”Ada kluster rekomendasi yang kami tawarkan, yakni adaptasi kawasan dan kewilayahan, pengendalian banjir, manajemen sumber daya air, serta penguatan sumber daya manusia dan penguatan kapasitas institusi dalam pengurangan risiko bencana,” ujar Arif.
Sejak tahun 2016, ada kecenderungan warga Api-api menyerah dengan kondisi yang ada. Mereka banyak kehilangan aset mulai dari lahan pertanian, lahan tambak, hingga harta benda mereka yang lain
Adaptasi kawasan dan kewilayahan dilakukan dengan menentukan koridor hijau dan biru, menerapkan perikanan adaptif, menjalankan industri kecil dan menengah yang adaptif, serta penataan ruang berbasis risiko. Pengendalian banjir dapat dilakukan dengan mengelola daerah aliran sungai.
Sementara itu, manajemen sumber daya air dilakukan dengan membuat sistem drainase dan pengamanan pantai yang berkelanjutan. Adapun penguatan sumber daya manusia dan penguatan kapasitas institusi dapat dilakukan dengan mencari mata pencaharian alternatif, membuat sistem peringatan dini, dan melakukan transformasi sosial ekonomi.