Terserang Penyakit, Pengungsi Banjir di Kalteng Membutuhkan Layanan Kesehatan
Perlu perhatian lebih untuk pengungsi mandiri yang mendirikan tenda darurat di berbagai lokasi banjir Kalimantan Tengah. Mereka tidak bisa mengungsi ke pusat pengungsian karena berbagai alasan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PANGKALAN BUN, KOMPAS — Jumlah pengungsi banjir di Kalimantan Tengah terus bertambah dan mencapai sedikitnya 8.209 orang. Lebih dari sebulan terdampak bencana, banyak dari mereka kini menderita berbagai penyakit. Pelayanan kesehatan diminta untuk menyasar ke pengungsi mandiri yang tersebar di berbagai lokasi.
Berdasarka data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, delapan wilayah masih terendam banjir. Daerah itu adalah Kotawaringin Barat, Sukamara, Lamandau, Katingan, Kotawaringin Timur, Pulang Pisau, Seruyan, dan Kota Palangkaraya. Hingga kini, tercatat 8.209 orang mengungsi.
Salah satu titik banjir terjadi di Kotawaringin Barat. Pada Rabu (2/11/2022), pengungsinya tersebar di berbagai tempat, baik di pusat lokasi pengungsian maupun tempat mandiri yang mendirikan tenda darurat atau di halaman rumah warga. Di Kelurahan Mendawai, misalnya, ratusan warga mengungsi tidak jauh dari rumahnya. Beberapa orang bahkan mengeluarkan uang pribadi untuk menyewa tenda.
Muchdar (66), warga Mendawai, mengatakan, sudah tiga minggu rumahnya terendam banjir. Akibatnya, dia dan 24 tetangga mengungsi ke garasi mobil miliknya di pinggir jalan raya, sekitar 500 meter dari rumahnya. Di sana, mereka mendirikan dapur umum dan memasang terpal untuk tidur.
”Awal-awal banjir itu tidak langsung mengungsi, bertahan dulu. Kami kira surut, tetapi makin parah. Jadi, kami pergi ke garasi saya. Awalnya hanya pasang terpal. Karena bocor, saya akhirnya sewa tenda,” kata Muchdar.
Muchdar mengatakan, biaya sewa tenda tidak sedikit. Selama dua minggu, ia mengeluarkan Rp 100.000 per hari untuk sewa tenda. Dia tinggal di tenda bersama 24 pengungsi lainnya. Dia menambahkan, tidur di tenda jauh dari layak. Anak-anak mulai terserang diare. Ia berharap pemerintah segera memberikan pelayanan kesehatan.
Burhan (43), warga Kelurahan Baru, mengatakan, sudah lebih dari sebulan rumahnya terendam banjir. Jika masuk ke rumahnya, ketinggian air mencapai 70 sentimeter. Namun, ia tetap bertahan demi menjaga harta benda. Sementara itu, anak dan istrinya mengungsi ke gedung puskesmas, sekitar 3 kilometer dari rumahnya. ”Sudah ada kasus pencurian di dekat sini, makanya saya enggak mau mengungsi,” ujar Burhan.
Selama tinggal di rumah yang digenangi banjir, Burhan sudah sakit batuk dan gatal-gatal. ”Kalau batuknya sampai sesak, saya langsung ke tempat pengungsian karena di sana ada perawat,” katanya.
Rio Juni, sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kotawaringin Barat, bersama rekan-rekannya masih terus mencari kelompok rentan, seperti anak-anak dan warga lansia yang membutuhkan layanan kesehatan. Warga akan mendapat bantuan peralatan kebersihan berupa handuk bersih, pasta gigi, sikat gigi, sabun, dan peralatan lainnya dalam satu paket.
”Masih banyak warga yang bertahan di rumahnya. Mereka tidak mau dievakuasi dengan berbagai alasan. Kelompok seperti ini rentan terkena penyakit dan butuh bantuan,” katanya.
Prakirawan Stasiun Meteorologi pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Kota Palangkaraya, Chandra Mukti Wijaya, menjelaskan, curah hujan di Kotawaringin Barat dan Sukamara menjadi yang paling tinggi dibanding wilayah terdampak banjir lainnya. Keduanya masuk dalam kategori curah hujan sangat tinggi atau lebih dari 500 milimeter.
”Sebagian besar wilayah Kalteng untuk analisis sifat hujan itu memang kriterianya di atas normal atau lebih dibandingkan dengan curah hujan normal,” kata Chandra.