Saba Budaya Baduy, Pertalian Sehat Masyakarat Baduy dan Wisatawan
Kedatangan tamu saat akhir pekan menjadi bagian dari masyarakat Baduy. Mereka menerima kedatangan wisatawan ini sebagai bentuk silaturahmi. Karenanya, wisata di Baduy mengandalkan kesadaran dan niat baik kedua pihak.
Sejak pagi, suasana Sabtu (29/10/2022) di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, sudah ramai. Wisatawan terlihat di permukiman warga Baduy di desa itu. Penghuni rumah yang biasa berjualan menata barang dagangan seperti kain tenun, tas koja dari anyaman kayu, maupun gula aren di sepanjang jalan setapak antarkampung.
Selepas wabah Covid-19 mereda, akhir pekan di Desa Kanekes kembali ramai dengan wisatawan. Ada yang menghabiskan hari dengan keluar-masuk kampung serta melintasi jembatan bambu di atas Sungai Ciujung yang masih jernih. Sebagian lainnya memilih menginap di rumah warga demi merasakan lebih dalam kesederhanaan hidup masyarakat Baduy. Suasana kota yang hiruk-pikuk, sirna ditelan suara kayu-bambu alat tenun serta keheningan malam yang minim penerangan.
Berjarak sekitar 140 kilometer atau 3 jam dengan mobil pribadi dari Jakarta, perkampungan masyarakat Baduy ini relatif terjangkau. Tidak heran, “healing” di Baduy seringkali masuk ke agenda liburan akhir pekan warga ibu kota.
Masyarakat Baduy pun sudah terbiasa menerima tamu dari berbagai kota. Mereka mengadopsi kebiasaan para tamu, antara lain menjajakan minuman kemasan di teras rumah. Jadi, jangan takut kehausan kalau berkunjung ke Baduy.
Juga tak perlu khawatir kelaparan meskipun tidak ada restoran atau sekadar warung, kecuali penjual mi instan. Masyarakat di sana dengan sigap akan menyalakan tungku kayu bakar dan menyiapkan makan untuk tamu. Menu yang disajikan disantap bersama-sama antara pemilik rumah dan tamunya.
Meskipun terbiasa menerima kunjungan wisata, namun masyarakat Baduy enggan kampung mereka dilabeli desa wisata. Bagi Urang Kanekes, kedatangan tamu-tamu ini lebih pas disebut silaturahmi. Karenanya, mereka lebih memilih memakai istilah Saba Budaya Baduy untuk menggambarkan pertalian kekeluargaan antara tamu dan tuan rumah.
“Saba itu silahturahmi. Karena budaya kami (Baduy) adalah tuntunan saling menghargai dan menjaga alam serta manusia. Kehidupan budaya kami bukan wisata, bukan hiburan dan tontonan, tapi tuntutan,” kata Jaro Sami, kepala Kampung Cibeo, Baduy Dalam.
Atas dasar itu pula, masyarakat adat Baduy tidak memasang tarif untuk kunjungan wisata. Dengan tangan terbuka, mereka menyilakan siapapun untuk datang dan merasakan sendiri keelokan alam Baduy.
Sebagian pengunjung membalas kebaikan hati tuan rumah ini dengan membawa bahan pangan untuk dimasak empunya rumah dan dinikmati bersama. Ada pula yang meninggalkan uang seikhlasnya sebagai pengganti makanan yang telah disantap. Tetapi, ada juga yang tidak meninggalkan apapun atau jauh dibawah apa yang sudah mereka makan.
“Masalah tarif wisatawan ini pernah dibahas di rapat adat. Hasilnya tetap saja kami tidak mau pasang tarif. Sebab, kalau ada tarif, nanti mereka yang nggak punya uang tidak bisa datang ke sini,” tutur Ayah Ardi (67), warga Cibeo, Baduy Dalam.
Pengaruh luar
Persinggungan masyarakat Baduy dan wisatawan sudah berlangsung sejak lama, meskipun baru ramai sekitar 30 tahun terakhir. Selama itu pula, pelbagai kebiasaan warga kota ikut terbawa. Ayah Ardi mengatakan, saat ia masih kecil, sangat jarang orang Baduy bisa berbahasa Indonesia. Kini, sebagian besar masyarakat Baduy sudah bisa berbahasa Indonesia, meskipun ada yang masih terpatah-patah.
Makanan masyarakat kota juga ikut memengaruhi warga Baduy. Sebut saja teh dan kopi yang semula tidak dikenal di Baduy, kini sudah mulai dinikmati juga masyarakat setempat manakala ada tamu yang membawakan kopi saset atau teh celup.
“Kalau dulu, kami makan ubi, pisang, gula aren saja. Kini, makanan kemasan dan mi instan juga sudah dikenal karena ada tamu yang membawanya,” kata Ayah Ardi.
Akan tetapi, tidak semua pengaruh wisatawan itu buruk. Kedatangan wisatawan ke Baduy menjadi penopang utama Pendapatan Asli Desa (PADes) Kanekes. Tahun 2022, total PADes diprediksi Rp 39,86 juta. Dari jumlah itu, Rp 39,46 juta berasal dari tiket masuk turis ke permukiman Baduy. Adapun Rp 400.000 lainnya berasal dari sewa tanah bengkok atau tanah kas desa.
Setiap pengunjung dikenai tarif Rp 5.000 sekali masuk, yang dibayarkan di saung penjagaan di jalan akses masuk desa. PADes ini dipakai untuk membantu pelaksanaan upacara adat Baduy serta pengangkutan sampah plastik yang dibuang para pengunjung di dalam permukiman Baduy.
Bila target PADes 2022 dibagi dengan tarif per pengunjung, maka diprediksi ada 7.892 tamu yang berkunjung ke Baduy sepanjang tahun ini.
“Satu bulan, rata-rata 700-800 wisatawan. Bahkan, kalau musim durian, bisa sampai 3.000 wisatawan sebulan. Sayangnya, sudah dua tahun ini nggak ada panen durian,” kata Sarikam, petugas Linmas Desa Kanekes yang juga penjaga pos retribusi desa.
Belum teratur
Wisata di Baduy juga dilirik pemerintah. Pada 15 Oktober 2022, Menparekraf Sandiaga Uno meresmikan desa wisata saba budaya baduy sebagai 50 desa wisata terbaik. Pada 31 Oktober, Baduy juga meraih juara harapan 1 kategori daya tarik pengunjung dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2022.
Meski pemerintah menyebut desa wisata, tetapi bagi warga Baduy sebutan itu tidak sesuai dengan filosofi masyarakat setempat. Masyarakat Baduy memilih saba budaya Baduy yang mengharuskan pengunjung mengikuti aturan adat Baduy, bukan sebaliknya.
“Kalau desa wisata itu harus dikembangkan, tapi di sini apa adanya ya seperti ini. Saba budaya kami seperti ini. Kami ingin tetap menjaga budaya dan adat. Baduy tidak bisa disamakan dengan wisata lainnya,” kata Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, Sabtu (29/10).
Ada gula, ada semut. Daya tarik Baduy juga membuat sebagian kalangan memanfaatkan untuk kepentingan mereka. Salah satunya adalah jasa pemandu yang mengerubungi setiap kali ada wisatawan tiba di area parkir menuju permukiman Baduy. Tidak jarang mereka mematok tarif tertentu. Tentu saja, tarif ini bukan tarif yang ditetapkan warga Baduy.
“Kami sih maunya wisatawan itu datang dulu ke kantor Desa Kanekes ini agar kami bisa bantu mengarahkan mereka ke tempat tujuan. Wisatawan juga bisa bertanya-tanya ke kami seputar adat kebiasaan masyarakat Baduy,” ujar Jaro Saija.
Pemahaman tentang budaya Baduy ini teramat penting karena masyarakat Baduy masih memegang teguh adat dan tradisi mereka, terutama di Baduy Dalam. Sejumlah pantangan seperti tidak boleh memotret atau merekam gambar di Baduy Dalam, harus dijalankan termasuk oleh wisatawan yang berkunjung. Penaatan aturan ini merupakan bentuk penghormatan para pengunjung terhadap tuan rumah. Ibaratnya, kita tentu tidak ingin rumah kita diinjak-injak oleh tamu yang berkunjung.
Jaro Saija mengatakan, perilaku para pemandu terkadang merugikan masyarakat Baduy. Ia menyontohkan, pernah ada wisatawan yang ingin berjumpa dengan Puun, pemimpin adat Baduy. Akan tetapi, oleh pemandu, wisatawan itu disesatkan ke sosok “puun gadungan”.
Belum lagi tarif yang dikenakan ke wisatawan kerapkali masuk kantong para pemandu saja. Sementara, warga Baduy tidak mendapatkan balas jasa yang layak setelah menjamu tamu mereka, terlebih yang bermalam di rumah warga.
Cucu Supriatna (38), wisatawan asal Jakarta, berpendapat, tarif wisata ke kampung Baduy akan menghilangkan semangat silahturahmi atau Saba Budaya Baduy. Namun, jika tidak ada tarif standar seperti jasa pemandu, tiket masuk, hingga uang jasa menginap, warga Baduy akan menanggung beban makan-minum hingga pengelolaan sampah yang ditinggalkan pengunjung.
“Kita inginnya ada dampak positif dari kunjungan warga ke Baduy. Kita saling silahturahmi dan saling belajar. Hasil kerajianan mereka dilirik dan dibeli. Lalu kita pengunjung juga jangan merepotkan dan membebani warga. Sebaiknya kita bawa bahan makan yang bisa dimakan bersama di rumah warga. Terakhir, jangan membebani warga dengan perilaku buruk membuang sampah. Kita hargai hidup dan alam Baduy. Yang dicari di sini, kan, ketenangannya, keramahan warganya, kebersihannya, dan hijau asrinya,” ucapnya.
Penyebaran daya tarik wisata Baduy diharapkan juga menyisipkan informasi yang benar terkait berwisata di Baduy. Dengan begitu, saba budaya Baduy bisa menjadi bentuk silaturahmi yang sehat antara tamu dan tuan rumahnya.