Berhasil Atasi Disparitas Harga, Gerai Rumah Kita agar Diperbanyak
Gerai Rumah Kita diharapkan bisa hadir di setiap pelabuhan yang disinggahi kapal tol laut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Program tol laut yang sudah dimulai sejak tahun 2015 tidak otomatis menekan disparitas harga. Pemerintah daerah mengaku kesulitan mengawasi harga barang pengguna tol laut. PT Pelni pun menghadirkan gerai Rumah Kita yang mampu menekan disparitas harga. Gerai itu perlu ditambah agar warga yang merasakan barang murah kian banyak.
Salah satu gerai Rumah Kita kini berdiri di dekat Pelabuhan Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, seperti terpantau pada Rabu (2/11/2022). Beroperasi sejak Maret 2022, gerai itu menampung bahan pokok yang dibawa kapal tol laut dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
Barang seperti beras premium dijual dengan harga Rp 11.500 per kilogram, sedangkan harga pasar di daerah itu paling murah Rp 13.000. Harga gula pasir Rp 17.000 per kilogram, sedangkan di pasar paling rendah Rp 19.000. Daging ayam beku dengan bobot 1,3 kilogram seharga Rp 50.000, sedangkan harga pasar lokal paling murah Rp 75.000.
Ridho (30), pedagang makanan, misalnya, setiap hari membeli 10 paket daging ayam beku. Daging beku itu diolah menjadi menu ayam goreng dan mi ayam. ”Saya tidak lagi belanja ayam di pasar. Sudah tujuh bulan saya beli di sini. Untungnya lebih banyak,” ucapnya.
Vice President of Noncommercial Cargo PT Pelni Ridwan Mandaliko mengatakan, kehadiran gerai Rumah Kita bertujuan untuk menekan disparitas harga. Langkah ini diambil setelah harga barang di beberapa daerah yang disinggahi tol laut, termasuk Lembata, masih tetap tinggi.
Padahal, dalam program tol laut, pemerintah sudah memberikan subsidi angkutan untuk barang yang diangkut dengan kapal tol laut. Contohnya, tarif komersial pengiriman satu peti kemas berukuran 20 kaki dari Surabaya ke Lewoleba sekitar Rp 8 juta. Jika diangkut dengan kapal tol laut, biayanya hanya Rp 3,3 juta.
”Pengusaha yang menggunakan tol laut tidak juga menyesuaikan harga, sementara mereka sudah dapat subsidi. Kami memutuskan untuk hadir membantu masyarakat lewat gerai ini. Kami minta agar ini terus disosialisasi mengingat sebagian besar masyarakat belum tahu,” ujarnya.
Di Indonesia, sudah ada empat gerai Rumah Kita, yakni di Lewoleba; Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat dan Morotai di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara; serta di Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Empat lokasi itu disianggahi kapal tol laut.
Menurut data Kementerian Perhubungan, secara nasional jumlah pelabuhan yang disinggahi tol laut terus meningkat, yakni dari 31 pelabuhan pada 2016 kini menjadi 130 pelabuhan. Jumlah kapal yang semula enam unit kini juga bertambah menjadi 32 unit. Trayek yang dilayani pun bertambah, dari semula enam trayek menjadi 33 trayek. Jumlah muatan yang dulu 81.404 ton pada tahun 2021 naik menjadi 477.600 ton.
Pengusaha yang menggunakan tol laut tidak juga menyesuaikan harga, sementara mereka sudah dapat subsidi. Kami memutuskan untuk hadir membantu masyarakat lewat gerai ini.
Ridwan mendorong agar di semua pelabuhan yang disinggahi kapal tol laut dibangun gerai Rumah Kita. Kepala daerah diharapkan proaktif membangun komunikasi dengan Pelni. ”Pelni siap mengoperasikan, tapi syaratnya pemerintah daerah menyiapkan tempatnya seperti di Lembata. Waktu itu Bpati Lembata datang menyampaikan permohonan,” katanya.
Harga tetap tinggi
Asisten II Pemerintah Kabupaten Lembata Ambrosius Leyn mengatakan, kehadiran tol laut menjamin ketersediaan stok, tetapi belum menekan disparitas harga. Kendati sudah berjalan tujuh tahun, pemerintah masih kesulitan mengontrol harga barang milik pengusaha pengguna tol laut.
Ia tak menampik bahwa subsidi angkutan tol laut justru untuk memperkaya pengusaha yang tak mau menurunkan harga barang. Ia juga tidak membantah bahwa pemerintah daerah tidak berdaya menghadapi pengusaha dimaksud. Namun, ia menolak jika ada anggapan bahwa oknum dalam pemerintah berkolusi dengan pengusaha.
”Kami akan terus melakukan evaluasi terhadap hal ini. Memang agak sulit mengontrol barang yang dijual sebab ada juga barang yang diangkut menggunakan kapal swasta. Saat kami tanya, mereka bilang barang yang mereka jual bukan dari tol laut,” katanya.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lembata Mikhael Boli menambahkan, tingginya harga barang di daerah itu juga disebabkan biaya bongkar muat yang mahal. Biaya buruh darat untuk satu kontainer berukuran 20 kaki mencapai Rp 1,1 juta. Padahal, dua bulan sebelumnya biayanya Rp 700.000.
Tarif yang dianggap sangat mahal itu membebani pemilik barang. Mikhael berharap pihak otoritas pelabuhan dapat membantu mengatasi hal tersebut. Otoritas pelabuhan berada di bawah Kementerian Perhubungan.