Tertinggi Kelima di Indonesia, Penanganan Maksimal Tengkes di Sultra Dinantikan
Sulawesi Tenggara menduduki peringkat kelima provinsi dengan prevalensi kasus tengkes tertinggi di Indonesia. Upaya penanganan yang jauh lebih maksimal dinantikan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Upaya penanganan tengkes (stunting) di Sulawesi Tenggara diharapkan jauh lebih maksimal daripada sebelumnya. Sebab, dengan prevalensi kasus tengkes yang tertinggi kelima di Indonesia, target yang ditentukan pemerintah masih sangat jauh untuk diraih. Pemberian pemahaman, hingga gerak cepat tim, diperlukan agar penanganan di lapangan jauh lebih merata.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menuturkan, angka prevalensi kasus tengkes di Sultra masih tergolong tinggi, yaitu 30,2 persen. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional, yaitu 24,4 persen.
”Jadi memang perlu ada terobosan. Misalnya, mulai dari struktur dibentuk tim pendamping keluarga, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), satuan tugas. Selain itu, kami pun telah ada kesepakatan bersama dengan Kementerian Agama untuk pra-perkawinan,” kata Hasto selepas Rapat Koordinasi Penanganan Tengkes Se-Sultra, di Kendari, Senin (31/10/2022).
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, lima daerah dengan prevalensi kasus tengkes tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur dengan angka 37,8 persen, Sulawesi Barat (33,8 persen), dan Aceh (33,2 persen). Selanjutnya Nusa Tenggara Barat (31,4 persen) dan Sultra (30,2 persen).
Salah satu masalah utama dalam penanganan kasus tengkes, Hasto melanjutkan, adalah pemahaman yang masih sangat minim. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga masyarakat berpendidikan tinggi.
Oleh karena itu, sosialisasi harus terus dilakukan agar pemahaman masyarakat semakin tinggi. Dengan begitu, upaya penanganan kasus tengkes bisa jauh lebih mudah dan merata ke banyak daerah.
”Semuanya harus bekerja keras. Dari tim pendamping, tim yang lain, bekerja bersama untuk mencapai target. Apalagi, target di 2024 adalah 14 persen, atau turun 10 persen dari sekarang. Kalau akhir tahun ini bisa menjadi 20 persen, saya optimistis target tersebut bisa tercapai,” katanya.
Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas mengungkapkan, kasus tengkes memang tinggi, di mana sebagian daerah mencapai angka prevalensi 45 persen. Beberapa daerah yang tinggi adalah Kabupaten Buton Selatan dengan 45,2 persen, Buton Tengah (42,7 persen), Buton (33 persen), Konawe Kepulauan (32,8 persen), dan Muna (30,8 persen).
”Jadi, rata-rata prevalensi kasus di Sultra 30,2 persen. Ini yang bikin kita bingung karena daerah kepulauan kita kaya ikan, dan daratan ada pertanian. Bisa saja memang karena pola pikir yang belum paham akan stunting ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, dengan pembentukan tim, dan kerja bersama, diharapkan penanganan ke depan akan semakin baik. Upaya bersama itu perlu dilakukan secara masif dan kerja keras. Terlebih lagi, dukungan anggaran telah diberikan oleh pusat ataupun daerah.
Menurut Lukman, salah satu rencana paling dekat adalah pelaksanaan proyek percontohan di dua daerah, yaitu Buton Selatan dan Konawe Utara. Tim dari sejumlah pihak akan turun untuk melakukan pengecekan posyandu, makanan tambahan bayi, dan pemahaman ke calon pengantin.
Kondisi masyarakat dengan tengkes merupakan persoalan yang terjadi dalam jangka waktu panjang. Tengkes tidak hanya sekadar memengaruhi kondisi fisik. Lebih jauh dari itu, tengkes sangat berpengaruh pada kemampuan kognitif seseorang.
Anak yang mengalami tengkes sangat berisiko mengalami gangguan perkembangan fungsi kognitif. Risiko penyakit tidak menular di kemudian hari juga cukup besar. Akibatnya, kemampuan serta daya saing di masa depan pun menjadi rendah. (Kompas, 4/1/2022)