Siswa di Kepri Mengarungi Laut dan Menembus Hutan untuk Ikuti ANBK
Siswa sekolah dasar di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, harus mengarungi laut, masuk hutan, dan memanjat bukit demi mendapat sinyal internet untuk mengikuti ANBK.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Sejumlah foto di media sosial menunjukkan siswa sekolah dasar harus mengarungi laut dan menembus hutan untuk mengikuti asesmen nasional berbasis komputer atau ANBK di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Terbatasnya jaringan komunikasi adalah masalah menahun yang dialami warga di pulau-pulau kecil.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lingga Armia, Senin (31/10/2022), mengatakan, peristiwa yang ramai diperbincangkan di media sosial itu terjadi pada 25 Oktober lalu. Ia membenarkan bahwa siswa dari SD Negeri 11 dan SD Negeri 16 di Desa Mentuda, Kecamatan Lingga, kesulitan mengikuti ANBK karena tidak ada jaringan internet.
”Memang benar ada beberapa titik di Lingga yang masih sulit mendapat sinyal internet dan telepon. Desa Mentuda sering mengalami gangguan sinyal, terutama saat musim hujan,” kata Armia saat dihubungi dari Batam.
Kabupaten Lingga terdiri dari 531 pulau. Pulau yang dihuni hanya 84 pulau, sedangkan 447 pulau lainnya belum berpenghuni. Pusat pemerintahan kabupaten itu ada di Pulau Lingga, tempat Desa Mentuda berada.
Desa Mentuda terletak di balik Gunung Daik dan menghadap ke laut. Saat harus mengikut ANBK pada 25 Oktober lalu, guru dan siswa SD N 11 dan SD N 16 harus menyeberang ke Pulau Pulon. Di pulau itu mereka masih harus masuk hutan dan mendaki bukit untuk mendapat sinyal internet.
”Menindaklanjuti peristiwa itu, BNNP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) akan mengadakan rapat koordinasi dengan Dinas Kominfo (Komunikasi dan Informasi) Lingga pada 5 November. Kami berharap masalah sinyal yang sulit ini bisa segera dicarikan jalan keluar,” ujar Armia.
Kepala Bidang Layanan E-Government dan Teknologi Informasi Komunikasi Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kabupaten Lingga Ady Setiawan mengatakan, pemerintah daerah terus berusaha mencari solusi untuk menyelesaikan keterbatasan sinyal di Mentuda. Sebenarnya, ada dua menara pemancar di lokasi tersebut.
Yang pertama adalah pemancar mini yang dibangun oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) pada 2013 dan diperbarui pada 2016. Adapun yang kedua adalah menara yang dibangun XL Axiata pada awal 2022.
”Sayangnya, dua tower itu masih menggunakan teknologi VSAT (very small aperture terminal) yang kapasitas bandwidth hanya 5 megabyte per detik. Itu sangat tidak memadai untuk kebutuhan warga,” ucap Ady.
Kami miris melihatnya.
Selain di Desa Mentuda, kesulitan sinyal komunikasi juga masih dikeluhkan warga di Desa Penaah, Gentar, Hulu Temian, dan Pekajang. Ady mengatakan, persoalan tersebut memang menjadi pekerjaan rumah bagi Dinas Kominfo Lingga.
”Pembangunan tower komunikasi bukan wewenang pemerintah daerah. Jadi, yang dapat kami lakukan sebatas menjalin koordinasi dengan BAKTI dan penyedia layanan komunikasi swasta agar mereka mau membangun menara pemancar di daerah-daerah sulit sinyal itu,” kata Ady.
Menurut dia, Diskominfo Lingga berharap agar BAKTI dan penyedia layanan komunikasi swasta bersedia membangun menara pemancar di Pulau Pulon yang terletak di seberang Desa Mentuda. Dengan begitu, sinyal akan dapat menjangkau warga secara lebih merata karena tidak tertutup Gunung Daik.
”Targetnya tahun depan siswa di Mentuda bisa melaksanakan UNBK (ujian nasional berbasis komputer) di dalam kelas. Jangan lagi mereka menyeberang laut dan memanjat bukit di tengah hutan demi mendapat sinyal. Kami miris melihatnya,” ucapnya.