”Laut Bercerita” Mengubah Wajah Sebuah Toko Buku di Manado
Lima tahun setelah penerbitannya, novel itu membawa warna baru ke Toko Buku Gramedia di ibu kota Sulawesi Utara. Kata demi kata yang mengisahkan perjuangan Biru Laut ditranslasikan secara visul oleh seniman muda lokal.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
”Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali.” Demikianlah Leila S Chudori mengawali novel LautBercerita (2017). Kalimat itu membuka sebuah kisah tentang perihnya kehilangan, tentang luka menganga yang ditelantarkan bertahun-tahun tanpa pelipur.
Para pembaca diajak untuk merasakan kekosongan dalam batin keluarga Arya Wibisono ketika anak sulung mereka, Biru Laut, hilang pada Maret 1998 di tengah sengitnya perlawanan mahasiswa terhadap rezim diktator yang memimpin Indonesia saat itu. Sebuah kursi kosong selalu disediakannya setiap Minggu agar ia bisa menikmati gulai masakan sang ibu, tetapi ia tak pernah muncul.
Tanpa sepengetahuan mereka, Biru Laut dan tiga kawannya yang tergabung dalam Winatra, perkumpulan mahasiswa aktivis, disekap di sebuah penjara bawah tanah. Setiap hari sekumpulan orang bertopeng menginterogasi mereka dengan metode keji. Mereka dihajar agar mengakui siapa yang memotori dan mendanai pergerakan mereka.
Sesekali penyekap akan menjebloskan hasil culikan baru ke dalam penjara, lalu membawa pergi penghuni sebelumnya, entah ke mana karena ia tak pernah kembali. Hal itu akhirnya terjadi pula pada Biru Laut. Ketika keluarganya masih hidup dalam penyangkalan, Biru Laut ditenggelamkan ke laut dengan kaki terpasung pada sebuah bola besi.
Fiksi setebal 379 halaman ini terinspirasi dari kisah nyata penculikan terhadap para mahasiswa aktivis menjelang mundurnya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Ia juga menampikan Aksi Kamisan, di mana keluarga para aktivis berkumpul di depan Istana Merdeka untuk menuntut keadilan dari pemerintah yang tak kunjung dipenuhi hingga detik ini.
Diterbitkan pertama kali Oktober 2017 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), buku ini tak hanya dibaca oleh mereka yang mengalami sendiri keruntuhan Orde Baru, tetapi juga Generasi Z yang lahir pada tahun 2000-an. Tak kurang dari 100.000 eksemplar buku ini telah terjual di 122 cabang Toko Buku Gramedia yang tersebar di seluruh Indonesia.
Terjemahan visual
Lima tahun setelah penerbitannya, novel itu membawa warna baru ke Toko Buku Gramedia di ibu kota Sulawesi Utara, yaitu Manado. Kata demi kata yang mengisahkan perjuangan dan derita Biru Laut serta kesedihan keluarganya kini ditranslasikan secara visual dalam wujud mural.
Guratan menyosokkan Biru Laut, kakinya yang terpasung rantai dan bola besi, gulungan ombak, serta dua tangan yang kelingkingnya saling bertautan dilukiskan menjadi kartun yang imut dan penuh warna. Ada pula tulisan ”1998” serta ”missing” untuk menggambarkan penculikan aktivis pada 1998.
Mural itu kini terpampang pada fasad gedung Toko Buku Gramedia Manado di Jalan Sam Ratulangi. Kaca di muka pada lantai dua gedung selebar 10 meter dan tinggi 2,65 meter kini telah ditutupi mozaik dari cat akrilik. Setiap lembar kaca jendela memuat setiap huruf yang menyusun nama Gramedia.
Adalah seniman muda Manado, Vivi Tanamal (21), yang memberi warna-warna baru tersebut pada gedung Gramedia yang selama ini hanya tampak seperti gedung bercat putih dan berdinding kelabu. Karya itu diluncurkan dengan perayaan bertajuk Mozaik dengan konser, pameran seni rupa, serta nonton bersama film pendek LautBercerita di halaman toko, Sabtu (22/10/2022).
Bagi Vivi, karya mural yang dirayakan dalam Mozaik adalah loncatan besar dalam kariernya. Ia pernah, antara lain, mendapatkan juara dua dalam kompetisi mural Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2018 di Yogyakarta, mewakili Sulut dalam kompetisi mural Pekan Keselamatan Jalan 2021, serta kolaborasi dengan toko baju H&M. Akan tetapi, Mozaik-lah yang paling berkesan untuknya.
”Ini termasuk impian yang saya simpan sejak kecil. Tiap kali lewat di depan gedung Gramedia, saya pikir setidaknya harus ada karya di dalam, entah cover buku atau apa. Tetapi, ternyata saya langsung dapat kepercayaan dari Gramedia pusat untuk menggambar muka gedungnya,” kata Vivi.
Proses melukis berlangsung selama 14 hari, dimulai pada 8 Oktober. Vivi dan timnya bekerja setiap sore hingga malam. Kendati posturnya mungil, Vivi tak ragu untuk naik ke atas papan-papan perancah (scaffolding) di atas ketinggian 5 meter atau lebih, dengan mengenakan body-harness tentunya.
Ke dalam mural itu, Vivi menuangkan pengalamannya dalam membaca Laut Bercerita tanpa menghilangkan ciri khas dalam karyanya. ”Sebenarnya ceritanya sangat gelap dan kelam. Beberapa headline cerita yang saya ambil, misalnya, kaki dirantai, orang menangis, patah hati, dan kehilangan, tetapi saya aplikasikan ke dalam mural yang full-color,” katanya.
Selain fasad gedung, Vivi juga melukiskan karyanya di atas tripleks setinggi 5,6 meter dan selebar 2,9 meter. Mural itu kini dipajang di kaca samping pintu masuk toko. Di samping itu, muralnya juga diterbitkan dalam wujud kaus, tas tote (totebag), dan botol tumbler resmi Gramedia.
Sementara itu, Leila sang penulis Laut Bercerita mengatakan, sangat bangga karyanya, yang merupakan salah satu penghubung bagi generasi Z dengan rangkaian peristiwa 1998 sebagai ingatan kolektif bangsa Indonesia, dapat divisualisasikan dengan apik oleh Vivi. Ini sangat dibutuhkan seiring dengan perkembangan tren demografis pembaca bukunya serta penonton film pendek yang menyertai buku itu.
Selama ini, kata Leila, generasi Z berusaha memahami peristiwa 1998 dengan, antara lain, drama dan film Korea. Beberapa film seperti A Taxi Driver (2017) mengisahkan perjuangan mahasiswa di Gwangju untuk melawan pemerintahan diktator presiden kelima Korea Selatan, Chun Doo-hwan.
”Ternyata referensi generasi Z sangat berbeda dengan milenial maupun generasi saya. Tetapi, satu hal yang dirasakan semua pembaca adalah rasa kehilangan anggota keluarga. Itulah yang bikin mereka ingin menyelesaikan buku ini,” kata Leila.
Wajah baru
Jika Vivi menilai mural Laut Bercerita sebagai titik tertinggi dalam kariernya sebagai pelukis yang aktif sejak 2017, Manajer Gramedia Manado Guido Silvester menyebutnya sebagai penciptaan wajah baru bagi Gramedia. Didirikan pada 1970, Gramedia telah menjadi toko buku yang dekat di hati masyarakat dari segala kelompok usia, terutama pemuda.
Lukisan Vivi menandai bahwa anak-anak muda bukan sekadar pelanggan, melainkan juga pihak yang terlibat aktif dan secara langsung mendukung kemajuan Gramedia. ”Ini juga soal bagaimana kami mengangkat local heroes (tokoh lokal), seniman-seniman lokal dari daerah hingga terekspos di tingkat nasional,” ujar Guido.
Gramedia Manado pun menjadi cabang pertama di timur Indonesia yang memperbarui tampilannya. Bahkan, Guido memanggungkan musisi-musisi lokal seperti band Crushing Grief penganut genre pop-punk dan kelompok hiphop Negatif Satu, serta disko tanah Bassgilano yang selama ini tak pernah diasosiasikan dengan toko buku.
”Mozaik adalah kolaborasi seni rupa, musik, dan literasi. Saya harap ini jadi pemicu buat teman-teman pemuda di Manado agar bisa terlibat dalam event-event lain yang kami adakan di masa depan,” katanya.
Sementara itu, Roger Salawati (26), gitaris Crushing Grief, mengaku sangat senang karena bisa tampil untuk pertama kalinya di depan toko buku. Selama ini, ia menganggap toko buku, sebuah pusat ilmu pengetahuan, sebagai tempat yang formal. ”Tapi ternyata bisa ada event buat anak-anak muda. Ini konsep yang out of the boxbanget,” katanya.
Mattias Kaunang (22), juga personel Crushing Grief, berharap anak muda semakin mendapat tempat di institusi sebesar Gramedia yang telah berdiri setengah abad. ”Jadi pengunjung Gramedia bisa tahu, di sini ada juga, kok, anak-anak kreatif,” katanya.
Sebagai seniman yang karyanya telah dipanggungkan, Vivi berharap muralnya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda untuk lebih berani menampilkan bakat dan karyanya. Mereka dapat menjadikan komunitas kreatif, seperti Kawanua Creative, Komunitas Tanpa Nama, dan Utara Pride sebagai wadah untuk mengembangkan diri.