Pengembangan Teknologi Tepat Guna Bukan dengan Guna-guna
Melalui teknologi tepat guna, para inovator di desa mencoba menyelesaikan sekelumit persoalan masyarakat dengan teknologi sederhana dan murah. Karya mereka butuh dukungan berbagai pihak.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Gelar Teknologi Tepat Guna Nusantara atau TTGN XXIII di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Rabu-Jumat (19-21/10/2022) menjadi ajang unjuk gigi para inovator dari desa. Mereka mencoba menyelesaikan sekelumit persoalan masyarakat dengan teknologi sederhana dan murah.
Nana Mulyana, aparat Desa Sindangjawa, Cirebon, tersenyum menunjukkan mesin penepung dan pencacah serbaguna yang baru dibeli dalam Gelar TTGN, Kamis (20/10/2022). Teknologi tepat guna asal Lampung itu bakal membantu pengolahan lahan yang ramah lingkungan di daerahnya.
Mesin seharga Rp 4,3 juta itu dapat mencacah singkong, jagung, kopi, sawit yang keras, hingga kotoran hewan untuk pupuk kompos. Alat itu juga dapat membuat bubuk tepung ukuran 2 milimeter.
”Kami beli mesin ini untuk kelompok wanita tani (KWT) dan masyarakat,” katanya.
Tahun ini, KWT di desanya mulai bertani menggunakan pupuk kompos berbahan batang pisang, jerami, dan kotoran hewan. Namun, proses pembuatannya membutuhkan tenaga kerja dan biaya. Pencacahan puluhan kilogram (kg) batang pisang, misalnya, selama ini masih manual dengan tangan.
Setiap warga hanya mampu mencacah tiga karung berisi sekitar 180 kg batang pisang per hari. Upah kerja hariannya Rp 100.000 per orang. ”Padahal, kami butuh sekitar 1.200 kg per hari. Kalau pakai tenaga kerja pasti lebih mahal. Makanya, kami beli mesin ini,” katanya.
Mesin itu, katanya, bisa mencacah 30 sampai 40 karung berisi sekitar 2.400 batang pisang. Dengan begitu, pemerintah desa bisa menghemat anggaran dan menghasilkan lebih banyak pupuk kompos. Ujung-ujungnya, petani meraup untung dari pertanian ramah lingkungan.
Terlebih lagi, alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah kini berkurang. Sejumlah petani pun terpaksa membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal. Pemerintah desa dan warga pun mencoba bertanam secara organik seiring tanah yang tak sesubur dahulu.
”Tanah di Sindangjawa sudah mulai sakit, keras, karena kebanyakan (bahan) kimia. Produksi padi sekarang sekitar 5 ton gabah kering panen per hektar. Waktu 20 tahun lalu, bisa 7 ton gabah per hektar,” ujarnya. KWT pun telah mengolah lahan 700 meter persegi dengan pupuk organik.
Hasilnya lumayan. Tanaman cabai, tomat, terong, hingga melon bertumbuh. Bahkan, beberapa waktu lalu, pemdes dan warga menikmati 18 buah melon yang dipanen. ”Makanya, tahun depan kami coba pupuk kompos di lahan 1 hektar. Apalagi, sudah ada mesin pencacahnya,” ucap Nana.
Optimisme itu merupakan buah penerapan teknologi tepat guna atau TTG. Selain tidak merusak lingkungan, TTG juga lebih murah, sederhana, perawatannya mudah, dan tentu saja sesuai kebutuhan masyarakat. Teknologi yang bisa direplikasi itu pun lahir dari tangan inovator desa.
Mesin penepung dan pencacah serba guna, misalnya, lahir dari hasil pemikiran Yuli Sunaryo (39) dan adiknya, Heri Irawan (32). Warga Tulang Bawang Barat, Lampung, ini awalnya jengah dengan limbah batang singkong dan sawit yang menumpuk di daerahnya dan tidak termanfaatkan.
Berlatar belakang pengelas dan otomotif, mereka pun merancang mesin sejak 2020. Sejumlah tetangga sempat meragukan mereka. Apalagi, mesin pencacah sudah banyak beredar.
”Orang, kan, kadang senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang, ha-ha-ha,” kata Sunaryo.
Mereka lalu membikin mesin pencacah serbaguna dengan kelebihan punya roda gila untuk menstabilkan mesin dan pisau khusus. Salah satu keunggulan ini membawa karya Sunaryo dan Heri menjadi pemenang pertama Lomba TTGN 2022 kategori TTG Unggulan di tingkat nasional.
Dalam dua tahun terakhir, mereka telah memproduksi sekitar 150 mesin dengan tiga tipe seharga Rp 3,7 juta, Rp 4,3 juta, dan Rp 9,5 juta. Pemasarannya pun ke luar Lampung. Sunaryo yakin, acara TTGN yang didukung harian Kompas ini bakal meningkatkan penjualan produknya.
”Kami berharap pemerintah bisa menggunakan mesin ini untuk program bantuan alat mesin pertanian. Kan, selama ini banyak bantuan ke masyarakat, tapi pakai barang dari perusahaan besar. Ada juga yang impor. Inovasi warga desa harus didukung pemerintah,” ujar Heri.
Hak paten
Inovasi juga lahir dari Wahyu (46), warga Desa Cisampih, Kabupaten Sumedang, Jabar. Lulusan sekolah dasar ini menemukan alat pengupas kolang-kaling. Inovasi itu muncul ketika ia mengamati warga yang puluhan tahun hanya memakai pisau untuk melepas buah dari kulitnya.
Selain rentan melukai jari, cara lama itu juga tidak efisien. Ia mencontohkan, warga bisa menghabiskan waktu hingga delapan jam untuk mengupas sekitar 2 kg kolang-kaling. ”Tapi, setelah pakai alat ini, dalam sehari bisa mengupas 20-25 kg. Jadi, produksinya meningkat,” katanya.
Dua tahun terakhir, Wahyu telah memproduksi lebih dari 100 alat yang dinamakan Kopclang itu. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah juga meminati temuannya yang dihargai Rp 50.000-Rp 150.000 itu. Apalagi, saat bulan Ramadhan, kampungnya jadi sentra penghasil kolang-kaling.
Akan tetapi, alat berbahan kayu berbentuk serupa hekter penjepit besar untuk menjilid tersebut mudah ditiru. ”Sekarang, warga di Cisampih sudah bisa bikin alat itu. Saya tidak keberatan ini direplikasi. Tapi, harusnya ada hak paten dari pemerintah kalau alat itu inovasi saya,” ujarnya.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar berjanji mendukung TTG warga. ”Kami juga akan berupaya seluruh hasil (TTGN) ini dipatenkan dalam HKI (hak kekayaan intelektual). (Ini) fasilitas penuh dari Kemendesa,” katanya.
Pihaknya memastikan, puluhan inovasi yang masuk dalam Gelar TTGN XXIII akan terdaftar dalam katalog elektronik Kemendesa PDTT. Dengan begitu, pemerintah dan masyarakat dapat membeli teknologi itu. Bahkan, pemdes tidak perlu menempuh lelang lagi dalam pengadaannya.
Apalagi, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat hingga tingkat desa agar memanfaatkan TTG dalam pembangunan. Terlebih lagi, warga telah menghasilkan ratusan ribu karya sejak 2015.
Berdasarkan catatan Kemendesa PDTT, dalam rentang waktu itu, sebanyak 909.004 alat hasil TTG warga telah digunakan untuk bidang pertanian. Halim juga mengklaim, 653.986 alat telah dimanfaatkan di bidang peternakan dan 450.466 untuk bidang perikanan.
Aneka inovasi itu turut memulihkan perekonomian daerah pascapandemi Covid-19. TTG yang sederhana dan murah ini tak akan punah. Namun, dukungan berbagai pihak dibutuhkan. Ingat, pengembangan teknologi tepat guna bukan dengan guna-guna, yang hanya berupa kata-kata.