Petani Singkong Lampung Tetap Berharap Bisa Akses Pupuk Bersubsidi
Pemerintah menghapus kebijakan pemberian pupuk bersubsidi untuk komoditas singkong. Hal itu dinilai semakin memberatkan petani di tengah meningkatkan biaya tanam.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kebijakan pemerintah menghapus singkong sebagai salah satu komoditas yang mendapat kuota pupuk bersubsidi dinilai memberatkan petani di Lampung. Pupuk bersubsidi dibutuhkan petani untuk menjaga produktivitas panen di lahan yang cenderung tandus.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Dalam aturan itu, pemerintah merealokasi penyaluran pupuk bersubsidi.
Prioritas penyaluran pupuk bersubsidi diberikan untuk padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao, dan kopi. Kesembilan komoditas ini disebut tanaman pangan strategis yang berpotensi menyumbang inflasi.
Setelah realokasi pupuk, Lampung mendapat jatah dua jenis pupuk bersubsidi, urea dan NPK. Jumlah kuota pupuk bersubsidi urea untuk tahun 2022 sebanyak 326.169 ton dan pupuk NPK 202.584,01 ton.
”Kebijakan itu sangat membebani petani singkong. Tidak hanya pupuk nonsubsidi yang mahal, biaya membajak lahan juga ikut bertambah karena harga solar ikut naik. Padahal, harga komoditas andalan Lampung ini hanya 1.200 per kilogram, belum dipotong ongkos angkut dan kadar air,” kata Ketua Asosiasi Petani Singkong Kabupaten Lampung Utara Syahrul Effendi, Kamis (13/10/2022).
Menurut dia, lahan singkong di Lampung cenderung tandus. Kondisi itu sangat membutuhkan pemupukan intensif. Jika dibiarkan tanpa pemupukan, produktivitas lahan singkong dikhawatirkan turun. Saat ini, produktivitas singkong saat musim panen di Lampung 18-20 ton per hektar.
Sebelumnya, petani singkong biasanya membeli pupuk urea subsidi Rp 112.000 per 50 kilogram dan NPK subsidi Rp 170.000 per 50 kg. Harga itu jauh lebih murah ketimbang pupuk urea dan NPK nonsubsidi yang bisa mencapai Rp 500.000 per 50 kg. Dalam sekali musim panen, biasanya petani membutuhkan 4-6 kuintal campuran urea dan NPK untuk lahan seluas 1 hektar.
Sementara itu, meski harga pupuk kandang hanya sekitar Rp 10.000 per 50 kg, petani kerap terkendala pasokan. Selain itu, pupuk kandang juga dinilai tidak terlalu efektif meningkatkan produktivitas panen dalam waktu cepat.
Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan Lampung Jiwa Shofari berharap, pemerintah pusat menyesuaikan kebijakan distribusi pupuk menurut kebutuhan daerahnya masing-masing. Ia menilai, singkong masih membutuhkan bantuan pupuk bersubsidi. Komoditas ini merupakan unggulan Lampung yang menjadi tumpuan banyak petani.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Lampung, produksi ubi kayu di Lampung mencapai 6,19 juta ton tahun 2021. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan produksi tahun 2020 yang sebesar 5,84 juta ton.
Selain itu, Shofari mengatakan, pihaknya juga telah meminta agar pemerintah menerapkan kebijakan itu mulai tahun 2023. Alasannya, kuota pupuk subsidi tahun ini disusun sejak awal melalui rencana definitif kebutuhan kelompok tani.
Di lain sisi, pihaknya meminta petani singkong menyiapkan strategi baru menyiasati tingginya biaya tanam. Salah satunya, menerapkan efesiensi penggunaan pupuk. Dari sebelumnya ditabur di tanah menjadi dilarutkan atau ditanam di tanah.
Petani lahan kering, menurut dia, juga bisa mengubah pola tanam dari monokultur menjadi polikultur. Dalam satu tahun musim tanam, petani bisa menanam singkong dan jagung secara bergantian.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim dalam rapat pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi, Selasa (11/10/2022), menyampaikan, pemerintah daerah tengah memperjuangkan agar petani singkong di Lampung bisa mendapat alokasi pupuk bersubsidi. Saat ini pemerintah sedang menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat untuk membahas persoalan tersebut.