Kalimantan semakin mudah terendam banjir. Tak hanya menghanyutkan barang-barang, banjir juga membawa serta rezeki para petani yang kebun-kebunnya terendam, hingga memutus nadi jalur ekonomi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO, EMANUEL EDI SAPUTRA
·7 menit baca
Sukarman (60), warga Kalampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, harus membeli lagi ratusan bibit sayuran untuk ditanam di kebunnya di Jalan Bereng Bengkel, Kalteng. Pada Rabu (12/10/2022). Sukarman beserta keluarganya sibuk menanam. Ia enggan mengingat kembali banjir yang baru saja surut setelah merendam kebun sayurnya hampir satu minggu.
Lahan seluas tak sampai setengah hektar milik Sukarman itu saat terendam banjir ditanami berbagai jenis sayuran, mulai dari bayam, cabai merah, hingga jagung manis. Jagung manis Sukarman sudah cukup dikenal karena sudah memiliki pelanggan di seputaran Kota Palangkaraya. Namun, setelah kebunnya direndam banjir, ia gagal panen.
Sukarman bercerita dengan ekspresi datar. Baginya, gagal panen ini bukan yang pertama, tetapi dua kali, di tahun ini saja. ”Tahun lalu bisa lima kali terendam banjir kebun saya. Saya berhenti menanam di banjir yang kedua,” ungkapnya.
Sukarman masih tak jera. Ia masih menanam meskipun ada pesan masuk di telepon pintarnya dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mengatakan bahwa cuaca di Kota Palangkaraya dan sekitarnya masih berpotensi hujan dengan intensitas kecil hingga sedang. BMKG bahkan mengingatkan akan hujan disertai angin kencang dan petir.
”Kalau gak nanam, ya, terus saya mau kerja apa, wong ini kerjaan tiap hari,” ungkap Sukarman yang merupakan transmigran asal Jawa Timur ini. Ia dan keluarganya datang ke Kalteng, tepatnya di Pulang Pisau, pada tahun 1982 silam.
Biasanya saat panen, Sukarman menjual hasil panennya dan mendapatkan keuntungan Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. ”Kerugiannya, ya, bisa dua kali lipat kalau begini karena benih beli, belum pupuk, dan banyak kebutuhan lainnya,” kata Sukarman.
Di Kabupaten Katingan, sekitar 85 kilometer dari Palangkaraya, Dewi (40) yang tinggal di Desa Tumbang Lahang mengurungkan niatnya ke kebun karet untuk menyadap. Kebun karet dua petak miliknya direndam banjir dan diguyur hujan berhari-hari. Tiap tahun kampungnya direndam banjir.
Tak hanya kebun karet yang tak bisa disadap, pohon-pohon duriannya pun tak lagi berbuah. Bunga-bunganya sudah jatuh dihajar angin dan hujan deras. Padahal, dari hasil menjual durian itu ia penuhi kebutuhan hidupnya. ”Tahun lalu lebih buruk dari tahun ini, jadi sudah biasa sama banjir,” ucapnya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Katingan Roby menjelaskan, dari hasil pantauan ketinggian muka air di Pelabuhan Kasongan, Katingan, ketinggian air mencapai 4 meter lebih dan terus meningkat. Sementara di permukiman warga, air yang meluap dari Sungai Katingan dan merendam permukiman dengan ketinggian beragam hingga maksimal mencapai 1,5 meter.
Dari data BPBD Katingan, banjir merendam enam kecamatan dengan total 44 desa dan kelurahan di Katingan. Setidaknya banjir merendam 544 rumah dengan 3.114 keluarga dan total 3.902 orang terdampak. Banjir juga merendam 9 sekolah, 6 gedung kantor perdesaan, 5 pasar tradisional, serta 8 fasilitas kesehatan, seperti puskesmas dan puskesdes.
”Dalam beberapa hari ini, air terus naik, banjir kian meluas. Ada beberapa kecamatan yang air banjir sampai masuk ke dalam rumah hingga merendam perkantoran. Masyarakat banyak yang mengungsi ke rumah kerabat, kami juga siapkan tenda atau posko untuk mengungsi,” kata Roby.
Tahun lalu lebih buruk dari tahun ini, jadi sudah biasa sama banjir.
Roby menambahkan, banjir di Kecamatan Tasik Payawan dan Mendawai terjadi karena pertemuan air kiriman dari hulu dan air pasang dari laut. Sementara di daerah lain, banjir terjadi lantaran luapan Sungai Katingan yang tak mampu menampung air hujan. ”Ini terjadi setiap tahun, bisa lebih cepat surut tergantung intensitas hujan,” lanjutnya.
Sementara itu, di Kabupaten Lamandau, banjir merendam jalur trans-Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Perbatasannya terdapat di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalteng, dengan Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Setidaknya ada dua titik di jalur nasional tersebut yang sampai saat ini belum bisa dilalui kendaraan. Padahal, jalan itu merupakan jalur utama kendaraan pabrik perusahaan perkebunan sawit sekitar ataupun jalur warga sekitar membawa hasil kebunnya untuk dijual ke luar daerah.
Di jalan trans-Kalimantan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalbar, atau 672 kilometer dari Palangkaraya, puluhan truk terparkir karena jalur terhambat banjir. Sejumlah pengemudi sudah empat hari terjebak tidak bisa melintas karena banjir di jalan utama kota Nanga Tayap. Jalan tersebut menghubungkan Kalbar dengan Kalteng.
Deni (31) adalah salah seorang pengemudi yang kena apes karena banjir trans-Kalimantan. Truk yang mengangkut air mineralnya tertahan di Nanga Tayap. Ia berangkat dari Kaltim pada Senin lalu, tiba di Nanga Tayap pada Kamis (13/10/2022), dan tertahan hingga kini.
Irvan (25), sopir truk logistik lainnya, bersama rekan-rekannya juga sudah beberapa hari tertahan di Nanga Tayap. Perjalanannya mengantar barang dari Pontianak, ibu kota Kalbar, menuju Kecamatan Tumbang Titi dan kota Ketapang, ibu kota Kabupaten Ketapang, akhirnya tertunda.
Beberapa truk angkutan nekat menerobos banjir. Ada yang lolos, tetapi ada juga yang mogok sehingga didorong untuk keluar dari banjir. Sementara itu, pengendara sepeda motor menggunakan rakit dengan biaya Rp 20.000-Rp 25.000 sekali menyeberang.
Banjir juga terjadi di tengah kota dan mencapai kedalaman 1 meter, mengepung tiga jalan utama di Nanga Tayap. Aktivitas perdagangan di kota Nanga Tayap pun nyaris lumpuh. Sebagian besar pusat perbelanjaan tutup. Kalau sudah begini, tak hanya pengemudi yang rugi, warga biasa pun akan menanggung risiko tingginya harga karena logistik tak lancar.
Banjir meluas
Di Kalbar, berdasarkan data sementara pada Kamis pagi dari BPBD Kalbar, banjir melanda Kabupaten Ketapang, Sintang, dan Sekadau.
Di Ketapang terdapat 107 desa terendam banjir dan mengakibatkan 16.756 keluarga atau 57.690 jiwa terdampak. Sementara di Kabupaten Sekadau, banjir terjadi di 30 desa di enam kecamatan dan mengakibatkan 7.042 rumah terendam serta 16.476 jiwa terdampak. Di Sintang, Camat Sintang Tatang Supriyatna menuturkan, banjir terjadi di 27 desa/kelurahan dan mengakibatkan 4.892 keluarga atau 15.640 jiwa terdampak banjir.
Di Kalteng, banjir sudah dua kali terjadi. Dari catatan Kompas, banjir sudah terjadi sejak musim kemarau pada bulan Juli sampai Agustus. Saat ini, Kalteng mulai memasuki musim hujan dengan cuaca ekstrem. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, banjir melanda di lima kabupaten, antara lain Kabupaten Katingan, Kotawaringin Timur, Seruyan, Pulang Pisau, dan Lamandau.
Banjir merendam sedikitnya 20 kecamatan di 93 desa dan kelurahan dengan total 9.705 keluarga atau 21.835 orang terdampak. Banjir diperkirakan akan terus meluas.
Di Pulang Pisau, banjir juga merendam kawasan lumbung pangan. Di Desa Mulya Sari, Ketua Gabungan Kelompok Tani Mulya Sari Sukirno mengatakan, banjir terjadi tidak hanya karena intensitas hujan, tetapi juga karena saluran irigasi masih menggunakan saluran irigasi 25 tahun lalu yang sudah tak bisa lagi digunakan. Akibatnya, tak satu pun petani di desa itu mampu menanam di lahan seluas 103,6 hektar yang sudah disiapkan dalam program lumbung pangan (food estate). Hal serupa juga terjadi di Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalteng.
”Kini kami hanya bisa menanam sayuran dan buah di pematang atas inisiatif sendiri dan membeli benih sayur dan buah itu sendiri,” ungkap Sukirno.
Lengkap sudah. Mulai dari komoditas sayuran, buah-buahan, hingga padi dan jagung milik petani-petani kecil di Kalteng terendam banjir, logistik pun terhambat. Uniknya, beberapa komoditas itu merupakan komoditas penyumbang inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng pada Senin (3/10/2022) mengumumkan, nilai inflasi tahun kalender Kalteng kini berada di nilai 5,94 persen.
Data BPS pun menunjukkan nilai tukar petani (NTP) mencapai 115,98, artinya NTP dengan nilai di atas 100 menunjukkan biaya produksi petani masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang mereka terima.
”NTP tanaman pangan, seperti padi dan palawija, mengalami penurunan karena harga gabah yang naik dan tingginya permintaan konsumen,” ujar Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro dalam rilis yang diterima Kompas.
Terhambatnya logistik lambat laun pasti akan memengaruhi ketersediaan dan harga barang tak hanya di Kalteng dan Kalbar, tetapi Kalimantan pada umumnya. Apalagi jika banjir di trans-Kalimantan tak kunjung surut.
Banjir berujung lumbung pangan yang kian limbung, petani kian buntung, Warga pun bingung.