Bersiasat Menjaga Penyu di Pulau Lampu
Sekelompok warga berusaha mengembangkan ekowisata bahari di sebuah pulau kecil di Pulau Batam. Bak meniti jembatan tali, mereka harus menyeimbangkan misi pelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Sekelompok warga berusaha mengembangkan ekowisata bahari di sebuah pulau kecil di Pulau Batam. Bak meniti jembatan tali, mereka harus menyeimbangkan misi pelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Busri (42) berkacak pinggang di ujung Pulau Lampu. Pasir pantai yang putih bersih terhampar di sekelilingnya. Matanya menyipit saat perahu yang ia tunggu bergerak mendekat dari cakrawala.
Baca juga: Menjaga Penyu, Menjaga Kehidupan
”Kapal itu bawa tamu dari (Pulau) Batam. Ada 102 orang. Mereka mau camping dan ikut melepaskan penyu,” katanya, Sabtu (1/10/2022).
Pulau Lampu atau disebut juga Pulau Karas Kecil terletak di Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Tak ada penghuni di sana. Lebih dari setengah pulau yang luasnya 15 hektar itu terdiri atas bukit berbatu.
Di puncak bukit, sebuah mercusuar berdiri sejak 1886. Di dekatnya ada tiga rumah penjaga, gudang, dan tandon air. Semua bangunan itu bercorak Belanda dengan daun pintu lebar dan jendela tinggi serta tembok tebal.
Di kaki bukit terhampar pasir putih yang luasnya sekitar dua kali lapangan sepak bola. Pantai yang indah itu adalah tempat penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) bertelur.
Busri menuturkan, orang yang pertama kali memanfaatkan Pulau Lampu adalah kakeknya dari pihak ibu. Leluhur Busri yang pertama kali membuka lahan dan menanam kelapa serta berbagai jenis pohon buah-buahan di pulau itu.
Secara tradisional, hal itu membuat Busri memiliki klaim kepemilikan terhadap pulau tersebut. Oleh karena itu, pada 2016, Busri mulai menata pulau itu agar bisa dibuka sebagai tempat wisata.
”Selama tujuh bulan, saya membabat semak (belukar) setiap hari. Kadang-kadang ayah dan abang saya juga ikut bantu-bantu,” ujarnya.
Baca juga: Penyu Hijau Sitaan dan Tukik Penyu Lekang Dilepaskan di Pantai Sindu
Suatu hari, pada pertengahan 2016, Busri melihat penyu-penyu naik dari laut untuk bertelur di Pulau Lampu. Waktu itu, ia biarkan saja telur-telur itu menetas secara alami dari dalam sarang penyu di tepi pantai.
Namun, kemudian Busri melihat hanya sedikit telur yang menetas. Sarang-sarang penyu juga banyak yang terlihat berserak. Sebagian besar telur-telur itu dimakan biawak dan ia menduga ada sebagian lain yang diambil manusia.
Akibat peristiwa itu, prioritas Busri bergeser. Ia menunda membangun pondok-pondok untuk wisatawan. Kayu dan bahan bangunan yang telah dikumpulkan ia pakai membuat rumah-rumahan kecil untuk melindungi sarang penyu.
Kakak laki-laki Busri, Long (49), mengatakan, suatu hari pernah datang seorang pengusaha untuk menawar Pulau Lampu seharga Rp 15 miliar. Setelah melakukan musyawarah dengan keluarga besar, mereka menolak tawaran itu.
”Kami takut nanti orang tak bisa bebas main ke sini lagi kalau pulau ini dijual ke orang kaya. Lagi pula uang sebanyak apa pun pasti nanti juga akan habis,” ujarnya.
Pelestarian
Gerakan konservasi penyu di Pulau Lampu semakin rapi dilakukan setelah Bobi Bani (30) bergabung pada 2019. Pemuda itu mendorong pendataan jumlah sarang dan telur, serta jumlah tukik yang dilepaskan oleh Busri dan kelompoknya.
Bobi merupakan warga dari Pulau Rempang, yang letaknya tak begitu jauh dari Pulau Lampu. Pada 2010, ia menjadi salah satu dari delapan anak pesisir yang menerima beasiswa dari Pemerintah Kota Batam untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bobi juga yang belakangan mendorong berdirinya Yayasan Penyu Anak Karas Kecil. Wadah organisasi itu dibentuk agar gerakan pelestarian penyu di Pulau Lampu mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah.
Penyu hijau dan penyu sisik yang rutin bertelur di Pulau Lampu setiap Mei-Agustus itu masuk dalam daftar merah satwa terancam punah Organisasi Internasional Konservasi Alam (IUCN). Bahkan, penyu sisik berada dalam kategori critically endangered (nyaris punah).
Bobi mengatakan, upaya pelestarian penyu di Pulau Lampu sangat minim dukungan pemerintah. Padahal, semakin banyak pengusaha besar yang mendekati keluarga Busri untuk membeli atau menyewa Pulau Lampu sebagai lokasi pariwisata privat.
Baca juga: Puluhan Penyu Hijau Hasil Sitaan Dilepaskan di Pantai Kuta
Yayasan Penyu Anak Karas Kecil tengah berupaya mencari donatur yang memiliki perhatian besar terhadap upaya pelestarian penyu secara alami. Bobi ingin menjaga agar kegiatan di Pulau Lampu tetap berfokus di usaha pelestarian, bukan pariwisata.
”Setelah enam tahun bekerja melestarikan penyu, mereka mulai bertanya apa manfaat kegiatan itu bagi kehidupan mereka. Ini menjadi tantangan tersendiri,” kata Bobi.
Bersiasat
Menurut Busri, biaya yang dihabiskan untuk melestarikan penyu memang tak sedikit. Dalam satu bulan, ia butuh membeli 35 liter pertalite untuk pulang dan pergi dari tempat tinggalnya di Pulau Karas Besar ke Pulau Lampu.
”Masih banyak juga biaya lain yang harus dikeluarkan, misalnya biaya pembelian material kayu, kawat, dan paku untuk membuat rumah pelindung sarang penyu,” ujarnya.
Biaya itu selama ini didapat Busri dari ongkos jemputan perahu wisatawan Rp 100.000 untuk pulang dan pergi ke Pulau Lampu dari Pulau Rempang. Ia juga memungut tiket masuk ke Pulau Lampu Rp 50.000 per orang dan biaya ikut melepaskan penyu Rp 30.000 per ekor.
Biasanya dalam satu bulan ada tiga kali kunjungan wisatawan ke Pulau Lampu. Jumlah wisatawan sangat beragam, mulai dari 10 orang per kunjungan hingga 100 orang per kunjungan.
Busri mengajak belasan warga lain dari Pulau Karas Besar untuk terlibat mengelola wisata di Pulau Lampu. Para perempuan dilibatkan untuk menyiapkan makanan dan yang laki-laki dilibatkan mengurus transportasi wisatawan.
”Harus bagi-bagi rezeki supaya warga lain mau bantu kami menyelamatkan penyu. Sekarang, kalau nelayan tak sengaja menangkap penyu atau menemukan telur penyu di pulau lain biasanya mereka akan kasih ke saya,” ujarnya.
Bobi menambahkan, sejak 2016, Yayasan Penyu Anak Karas Kecil telah melepaskan lebih dari 4.000 tukik. Pada 2022, mereka juga menyelamatkan 88 penyu dewasa yang tertangkap jaring nelayan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam Ardiwinata, Kamis (13/10/2022), mengatakan, sejak tiga tahun belakangan mulai bermunculan kelompok warga yang mengembangkan ekowisata. Pemerintah Kota Batam sangat mendukung upaya para warga tersebut untuk menyelaraskan kegiatan wisata dengan pelestarian lingkungan.
”Itu akan menambah keragaman tujuan destinasi wisata di Batam. Ke depan, pemerintah juga akan membantu kelompok masyarakat terkait untuk memasarkan paket ekowisata kepada wisatawan, terutama turis asing,” kata Ardi.