Triliunan Rupiah Mengalir, Kemiskinan di NTT Hanya Turun Tipis
Anggaran triliunan rupiah untuk pengentasan rakyat miskin di NTT belum berdampak signifikan. Diperlukan evaluasi menyeluruh.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Dalam lima tahun terakhir, angka kemiskinan di Nusa Tenggara Timur hanya turun 1,8 persen atau 0,36 persen per tahun. Angka kemiskinan di NTT masih di atas 20 persen. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, banyak program pengentasan rakyat miskin yang disertai dengan alokasi anggaran triliunan rupiah digelontorkan ke sana. Diperlukan evaluasi menyeluruh terkait penanganan kemiskinan di daerah itu.
Menurut data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik pada Senin (10/10/2022), angka kemiskinan di NTT pada Maret tahun 2017 sebanyak 21,85 persen atau 1.150.790 jiwa. Hingga Maret 2022 lalu, jumlah penduduk miskin di NTT berkurang menjadi 20,05 persen atau 1.131.620 jiwa. Jumlah penduduk miskin berkurang hanya 19.170 jiwa.
Artinya, selama lima tahun, terjadi penurunan hanya 1,8 persen atau 0,36 persen per tahun. Baik tahun 2017 maupun 2022, penduduk miskin NTT kebanyakan tinggal di perdesaan, yakni berkisar 23-24 persen. Sementara jumlah penduduk miskin perkotaan sekitar 8 persen.
Penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk miskin adalah mereka dengan pengeluaran per kapita berada di bawah garis kemiskinan. Untuk Maret 2022, garis kemiskinan untuk NTT ditetapkan sebesar Rp 460.823. Garis kemiskinan pada setiap periode berubah-ubah, tetapi tidak jauh berbeda.
Berdasarkan urutan, NTT masih menduduki peringkat ketiga provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Daerah Indonesia timur masih mendominasi peringkat kemiskinan nasional. Sementara itu, angka kemiskinan secara nasional pada tahun 2022 sebanyak 9,54 persen atau 26,16 juta jiwa.
Pantauan Kompas di lapangan, belum banyak perubahan yang dirasakan masyarakat miskin di NTT. Di Desa Oebelo, banyak warga eks Timor Timur masih tinggal di kamp pengungsian. Mereka menempati gubuk reyot serta kesulitan mengakses makanan dan air bersih. Banyak anak mereka tidak mengenyam pendidikan yang layak.
”Banyak dari kami bekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu. Karena itu, bantuan dari pemerintah sangat kami harapkan. Namun sayangnya, banyak dari kami tidak mendapat bantuan itu,” kata Marcelino Lopez, tokoh masyarakat setempat.
Kondisi yang sama juga terpantau di beberapa permukiman di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Malaka. Petani di daerah itu mengeluh dengan harga jual hasil kebun yang sangat murah. Mereka juga kesulitan akses pasar. Komoditas yang dijual antara lain jagung, ubi, dan buah-buahan.
”Harga jagung sekarang Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kilogram. Sementara kalau hitung-hitung dengan biaya bibit dan pupuk, kami rugi. Apalagi jagung ini hanya panen satu kali setahun. Kami hanya mengharapkan hujan saja,” kata Esra Naben (43), petani dari Soe, Timor Tengah Selatan.
Evaluasi menyeluruh
Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Tuti Lawalu, mendorong agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kemiskinan di NTT. Ia menilai, anggaran untuk mengatasi kemiskinan, termasuk dana desa di dalamnya, terbukti tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Menurut data Kementerian Keuangan, anggaran dana desa untuk NTT tahun 2022, misalnya, sebanyak Rp 2,8 triliun. Anggaran dana desa mulai bergulir sejak tahun 2015. Adapun jumlah desa penerima saat ini sebanyak 3.026 desa.
Di luar dana desa, dukungan pengentasan rakyat miskin juga dilakukan lewat program yang didanai baik oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten maupun dari tingkat pusat. Ada pula dukungan dari lembaga swadaya masyarakat lokal, nasional, dan internasional.
Tuti berharap pemerintah mengantongi data jumlah penduduk miskin yang lengkap dengan nama dan alamat. Dengan begitu, akan semakin mudah untuk melakukan intervensi. ”Dan yang paling penting adalah upaya penanganan kemiskinan sebagai program pemberdayaan bukan sebagai proyek,” katanya.
Beberapa waktu lalu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menyatakan optimistis dengan penurunan angka kemiskinan di NTT. Tren penurunan yang terjadi setiap tahun menunjukkan bukti dari hasil kerja keras sejumlah pihak. Ia berjanji akan mempercepat penurunan kemiskinan.
Salah satu program yang terus didorong adalah Tanam Jagung Panen Sapi. Pemerintah Provinsi NTT menargetkan, hingga Desember 2022 nanti, lahan jagung yang sudah diolah mencapai 142.833 hektar dengan produksi mencapai 800.000 ton. Pada tahun 2023 nanti, target produksi ditetapkan 3 juta ton.
Menurut dia, upaya penurunan kemiskinan di NTT dalam dua tahun belakangan mengalami tantangan yang tidak mudah. Tantangan itu mulai dari Covid-19 yang mengglobal, virus demam babi afrika, dan badai Seroja. ”Masyarakat NTT memang terpukul, tapi punya ketahanan luar biasa untuk bangkit,” ujarnya.