Perkara Pelik Larangan Perdagangan Daging Anjing di Surakarta
Menghentikan perdagangan daging anjing, di Kota Surakarta, bukan persoalan mudah. Bisnis olahan daging tersebut sudah terlanjur dijadikan sandaran hidup banyak orang. Namun, desakan pelarangannya terus menguat.
Menghentikan perdagangan daging anjing, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, bukan persoalan mudah. Bisnis olahan daging tersebut sudah terlanjur dijadikan sandaran hidup banyak orang. Penikmatnya juga tak sedikit. Namun, desakan untuk melarang perdagangan daging anjing juga terus menguat.
Malam belum habis. Sembari duduk bersantai di teras rumahnya, Kamis (22/9/2022) malam, Aji Batara (30), warga Kota Surakarta, menggenggam sebotol ciu, atau minuman keras asal Surakarta, beserta satu gelas kecil. Selang beberapa waktu, datanglah seorang temannya yang menenteng tas kresek berisikan dua bungkus daging anjing goreng.
Keduanya lantas membuka bungkusan makanan tersebut. Mereka menyantap perlahan. Daging anjing mereka jadikan ‘trambul’, atau kudapan pendamping saat menenggak alkohol. Berbagai obrolan mengalir dari satu tegukan ke tegukan yang lainnya.
“Sudah biasa seperti ini. Kalau minum ciu, trambul-nya paling sering daging anjing. Dari dulu memang begitu. Tak tahu siapa yang memulainya. He-he-he,” tutur Aji.
Kebiasaan menyantap olahan daging anjing sudah dilakukan Aji sejak masih kanak-kanak. Ia tak ingat persisnya pada usia berapa. Di tempat asalnya, yakni Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, memakan daging anjing terasa lazim dilakukan. Sebab, banyak orang lain yang juga sama-sama melakukannya, baik untuk dimakan sebagai lauk maupun dijadikan ‘trambul’.
Semasa kanak-kanak, kenang dia, daging anjing dijajakan para bakulnya dengan cara berkeliling. Para bakul membawa dagangannya di dalam keranjang yang ditumpangkan ke sepeda atau sepeda motor. Pilihan olahan dagingnya hanya rica-rica dan goreng. Soal harga, ia sudah tak ingat lagi.
“Kalau sekarang sebenarnya juga sudah lumayan mahal. Sekitar Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per porsi. Tetapi, saya tetap menyempatkan cari olahan daging anjing sesekali. Selalu ingin makan sewaktu-waktu. Sensasi dan tekstur dagingnya kayak lebih cocok saja di lidah,” kata Aji.
Baca juga: Pelarangan Perdagangan Daging Anjing di Surakarta Menguat
Aji menyatakan, penggemar daging anjing tidaklah sedikit. Dari lingkungan pertemanannya, sebagian besar temannya memang menggandrungi olahan daging tersebut. Digambarkannya, dalam satu tongkrongan berjumlah 10 orang, hanya tiga orang yang enggan atau tidak doyan jenis daging itu. Alasan kegemaran mereka sama persis dengan Aji. Terdapat sensasi tertentu yang ditinggalkan setelah mengunyah olahan daging tersebut.
Pernyataan Aji seolah mengamini lekatnya citra Kota Surakarta dengan olahan daging anjingnya. Itu ditandai dengan banyaknya warung yang menjajakan menu tak lazim itu. Biasanya warung-warung itu hanya berbentuk tenda. Pada spanduknya diberi tulisan “sate jamu”, “sate guguk”, atau “rica-rica guguk”. Istilah “guguk” adalah sebutan lain dari anjing.
Dari penelusuran yang dilakukan oleh Koalisi Dog Meat Free Indonesia, sedikitnya terdapat 80 warung daging anjing yang terdapat di kota tersebut. Menurut temuan mereka, pada 2019, kebutuhan warung-warung tersebut mencapai 85 ekor hingga 90 ekor per harinya. Pasokan anjing diduga berasal dari wilayah Jawa Barat. Pengirimannya melalui jalur darat dan dilakukan secara ilegal menuju kota tersebut.
Akhir Agustus lalu, koalisi tersebut juga merilis laporan mengenai temuan tempat penjagalan anjing di kota tersebut. Berdasarkan laporan itu, setidaknya ditemukan tiga titik tempat penjagalan. Salah satunya berada di bantaran anak sungai Bengawan Solo, yakni di Kali Anyar, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Laporan itu disertai rekaman video yang menunjukkan proses penjagalan yang kejam. Limbah penjagalan berupa darah juga dibuang langsung ke sungai yang sehari-hari juga masih digunakan masyarakat setempat untuk berbagai hal.
Koordinator DMFI Surakarta Mustika menilai, maraknya persebaran warung daging anjing dikarenakan ketiadaan aturan yang melarang praktik tersebut. Itu didukung pula oleh banyaknya permintaan pasar. Menurut perkiraannya, jumlah konsumen daging anjing lebih kurang sebesar 3 persen dari total penduduk di kota tersebut.
“Di sini, pedagangnya nyaman dan santai. Kebanyakan saya lihat penikmatnya juga itu-itu saja. Dia tetap produksi karena ada penikmatnya juga. Bahkan, tidak jarang dari luar kota,” kata Mustika.
Untuk itu, Mustika mendesak agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta membuat aturan pelarangan perdagangan daging anjing. Desakan itu didasari oleh Surat Edaran (SE) Nomor 524.3/2417 tentang Himbauan Pengawasan Peredaran Daging Anjing di Jawa Tengah. Surat tersebut diterbitkan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jateng sejak 15 Juli 2022.
Pembuatan surat edaran merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam aturan itu, disebutkan, anjing bukan hewan ternak sehingga tak boleh dijadikan pangan.
Peraturan itu juga sejalan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang diteruskan dengan SE Menteri Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/09/2018 tentang Peningkatan Pengawasan Peredaran/Perdagangan Daging Anjing. Regulasi itu menegaskan, daging anjing tidak termasuk dalam definisi pangan.
Mustika melakukan pergerakan khusus agar pemerintah daerah benar-benar membuat aturan pelarangan tersebut. Itu ditunjukkan dari usahanya menemui Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka guna membahas secara rinci mengenai permasalahan tersebut. Kedua belah pihak punya pandangan yang sama. Pemberantasan tidak akan mudah mengingat praktik perdagangan sudah berlangsung lama.
“Kami ingin buat pelarangan yang bersolusi. Tidak sekadar melarang. Perdagangan ini kan sudah sekian lama. Sebelum kita semua lahir sudah ada. Jadi, tidak segampang itu melarang,” kata Mustika.
Selanjutnya, Mustika mengatakan, solusi yang nantinya ditawarkan harus bisa diterima dengan baik oleh para pedagang. Jika tidak, para pedagang hanya akan kembali berjualan daging anjing. Caranya saja yang berbeda. Entah sembunyi-sembunyi atau menggunakan metode daring.
Gejala berjualan secara sembunyi-sembunyi sebenarnya mulai terlihat beberapa waktu setelah isu pelarangan perdagangan daging anjing marak diperbincangkan. Sri Lestari (52), pedagang olahan daging anjing, termasuk yang melakukannya. Sebelumnya, spanduk warungnya bertuliskan “rica-rica guguk”. Kini, spanduk itu hanya dipasang di dalam warung. Pada bagian luar, spanduknya hanya bertuliskan “Warung RR”.
“RR itu artinya rica-rica guguk. Kalau yang sudah biasa makan daging anjing pasti paham. Kan, ini memang penikmatnya kalangan tertentu saja. Rasanya agak was-was berjualan setelah isu pelarangan ramai lagi,” kata Sri.
Sri menceritakan, usaha itu dirintisnya bersama sang suami sejak 1993. Pilihannya jatuh pada daging anjing semata-mata karena banyaknya peminat masakan tersebut. Dalam benaknya waktu itu, pasti tak akan sulit mencari pasar. Pasang surut sempat dialami. Namun, pilihannya selalu kembali ke daging anjing.
Bagi Sri, warung itu adalah sandaran hidup. Bukan hanya untuk dia dan suaminya, tetapi juga buat adik iparnya. Dari warung itu, kedua anaknya bisa disekolahkan hingga menjadi sarjana. Ia bakal kelimpungan jika sekonyong-konyong pemerintah meminta warung miliknya ditutup. Apalagi jika tidak ada ganti rugi yang setimpal.
“Tidak cukup sekali ganti rugi. Nominalnya tidak seberapa dibandingkan kami jatuh bangun yang harus kami ulang saat alih usaha. Soalnya, kami pasti tidak akan langsung untung kan? Pasti akan rugi dulu,” kata Sri.
Akan tetapi, Sri tak sepenuhnya menolak bila kelak diminta menutup warungnya. Sebab, penjualan menurun drastis beberapa waktu belakangan. Daging sebanyak 20 – 30 kg yang dimasaknya setiap hari tidak selalu habis. Bahkan, hutangnya sebesar Rp 5 juta pada penjual daging sejak Idul Fitri lalu belum sempat dilunasi hingga sekarang akibat sepinya pembeli.
“Harapan saya, kalau nanti memang disuruh berhenti, harus ada komunikasi. Misal dibicarakan itu kan jadi sama-sama enak. Kami juga mau kok disuruh alih usaha. Tetapi, ya, usahanya jangan yang mencekik kami nantinya,” ujar Sri.
Serupa dengan yang diungkapkan Daryanto (59), pedagang olahan daging anjing di wilayah Nusukan. Ia merupakan generasi ketiga dari bisnis olahan daging anjing milik keluarganya. Pertama kali ia terjun ke dalam bisnis tersebut sejak masih berusia belasan tahun, atau persisnya 43 tahun yang lalu. Menurut pengakuannya, ia terus berjualan karena belum adanya peraturan yang melarang bisnisnya.
Selanjutnya, Daryanto menyatakan bakal sangat kesulitan jika nantinya mesti beralih usaha. Persoalan paling susah adalah mencari konsumen baru. Sebab, opsi dagangan lain begitu terbatas. Dicontohkannya, kalau kelak dagangannya diganti daging ayam atau bebek, jumlah konsumennya bakal anjlok. Sebab, lini usaha dengan produk dagangan serupa sudah terlalu banyak.
Lagipula, lanjut Daryanto, penghasilan yang diperolehnya dari berjualan daging anjing hanya Rp 50.000 per hari. Pegawai yang dipekerjakannya juga hanya anaknya sendiri. Dengan berjualan daging anjing, tidak lantas membuat dia bergelimang harta. Hidupnya tetap pas-pasan. Uang yang diperolehnya setiap hari habis sudah guna memenuhi kebutuhan tujuh orang anggota keluarganya.
“Kalau memang mau menghentikan, tolong dikasih solusi yang baik. Soalnya alih usaha itu tidak mudah. Kalau kami dilepas begitu saja, pasti akan terpikir buat kembali berjualan (daging anjing). Wong penggemarnya banyak juga. Ini kan juga soal bagaimana kebutuhan sehari-hari terpenuhi,” ucap Daryanto.
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mengaku berkomitmen untuk menghentikan perdagangan daging anjing. Namun, menurut dia, pembuatan aturannya tidak bisa dilakukan buru-buru. Solusi alih usaha bagi para pedagang daging anjing perlu dipikirkan secara matang agar dapat diterima dengan baik. Pihaknya tak ingin sekadar melarang, tetapi peraturan yang ada justru tidak dijalankan.
“Ada warung, ada penikmat. Penikmatnya juga banyak sekali. Saya nggak mau ada aturan nanti malah delik-delikan (sembunyi-sembunyi). Itu kan salah juga. Ini permasalahannya panjang dan memang penikmatnya banyak,” kata Gibran.
Ditengok dari segi sejarahnya, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko menuturkan, kuliner daging anjing punya kisah panjang. Terbukti lewat penyebutan kuliner daging anjing dalam “Serat Centhini”, yang juga dianggap sebagai ensiklopedi pengetahuan mengenai berbagai hal dalam budaya Jawa. Penulisan serat berlangsung sejak 1814 hingga 1823. Dengan demikian, patut diduga olahan daging anjing sudah disantap oleh masyarakat Jawa sejak sebelum tahun 1800-an.
Kala itu, Heri menjelaskan, penyantapan daging anjing merupakan cara masyarakat menyikapi kondisi lingkungannya. Anjing yang dijagal adalah anjing-anjing liar, atau anjing hutan, yang juga kerap memakan ternak warga. Di satu sisi, populasi anjing begitu banyak karena proses regenerasinya cukup cepat.
“Dari sini jelas, ekologi yang ada melahirkan jenis makanan tersebut. Anjing-anjing ditangkapi untuk mengurangi populasi mereka juga,” jelas Heri.
Disantapnya daging anjing, lanjut Heri, juga bisa jadi disebabkan oleh belum adanya konsep anjing sebagai kawan manusia. Ungkapan itu dirujuknya dari sejarawan Anthony Reid (2011), yang sempat mengemukakan, anjing menjadi santapan lazim bagi warga di beberapa tempat di Asia Tenggara. Itu dikarenakan pemaknaan pada anjing sebagai binatang tak bertuan.
Pantangan menyantap daging anjing, sebut Heri, mencuat setelah agama Islam masuk ke Jawa. Menurut ajaran agama tersebut, daging itu disebut mengandung sesuatu yang buruk. Lantas, tak memakan daging anjing menjadi bentuk kepatuhan pada ajaran agama. Meski demikian, penetrasi agama tak serta merta menghilangkan segelintir orang yang masih gemar menyantap hidangan berbahan daging anjing, yakni orang-orang ‘kejawen’.
“Maka, warung-warung dan penggemarnya itu banyak tumbuh di wilayah yang ‘kejawen’-nya kuat seperti di Solo utara. Makanan itu tumbuh karena ada ekosistem pendukungnya,” kata Heri.
Heri menyatakan, kelanggengan warung-warung daging anjing disebabkan oleh konsistennya permintaan pasar. Artinya, sejauh ini, selalu ada sekelompok masyarakat yang menghendaki olahan daging anjing dijajakan. Regenerasi tak hanya berlangsung pada warung, tetapi juga para penikmatnya. Sebab, warung-warung tersebut biasanya diwariskan dari generasi ke generasi.
“Konsumen dan bakulnya beregenerasi. Kalau makanan tersebut tidak ada konsumennya, pasti akan terhenti penjualannya. Ternyata, bakul dan konsumen ini juga bisa saling turun temurun,” kata Heri.
Untuk itu, Heri menyebut, pelarangan perdagangan daging anjing berpotensi sangat sulit dilakukan. Mekanisme pasar seolah berjalan baik dalam bisnis tersebut. Dikhawatirkannya, pelarangan hanya akan membuat perdagangan daging anjing berlangsung seperti peredaran narkoba, yakni dijual sembunyi-sembunyi.
Sementara itu, pakar parasitologi dari Universitas Sebelas Maret Sigit Setyawan menyatakan, kebiasaan menyantap daging anjing diiringi dengan risiko penyakit. Terlebih jika daging tidak diolah dengan matang. Misalnya, daging anjing disebut mengandung cacing berjenis Trichinella spiralis.
Cacing tersebut mampu mengakibatkan gangguan otot. Risiko fatal bisa terjadi jika otot yang diserang bagian dari organ vital seperti jantung dan pernapasan. Namun, kasus fatal memang belum banyak ditemukan, persentasenya hanya 1 – 5 persen dari seluruh kasus di dunia. Kebanyakan menyerang masyarakat yang sudah lebih dahulu menderita penyakit kronis.
Selain itu, ungkap Sigit, daging anjing juga mengandung tokso plasma. Proses penularannya mirip. Apabila terdapat kista yang termakan risiko kesehatan seperti pada kehamilan hingga infertilitas bisa mengancam. Ditambah lagi, adanya ancaman penularan rabies yang menyertai jika daging anjing yang diolah mengidap penyakit yang sama. Risiko tak hanya menyerang dalam proses konsumsi, tetapi sejak tahapan pengolahan daging tersebut.
“Anjing memang bukan bahan pangan. Jadi memang tidak dianjurkan buat dikonsumsi. Dari segi kesehatan, banyak hal yang menjadi sumber infeksi manusia. Hendaknya sebisa mungkin dihindari karena masih banyak konsumsi daging yang lain,” kata Sigit.
Berkembangnya kabar soal khasiat daging anjing pun dibantah seketika oleh Sigit. Selama ini, daging anjing disebut mampu menyembuhkan luka basah, gatal-gatal, hingga meningkatkan kejantanan. Menurut Sigit, itu semua hanya isapan jempol atau mitos yang tumbuh di masyarakat. Sebab, belum pernah ada riset ilmiah yang mampu membuktikannya.
Pelarangan konsumsi daging anjing terasa sangat pelik. Ini bukan sekadar soal perlindungan hewan. Ada sejumlah pihak yang terlanjur menyandarkan hidupnya pada sektor tersebut dalam rentang waktu yang panjang. Tak elok rasanya jika sumber penghasilan mereka ditutup begitu saja.
Proses alih usaha pun sulit. Belum tentu menghasilkan keuntungan pada bulan pertama. Maka, sebatas mengganti kerugian warung juga terasa tak cukup. Pemerintah daerah jangan sampai lepas tangan setelah melarang. Hendaknya ada pembinaan hingga para pedagang bisa benar-benar berhenti dari bisnis serupa. Bahkan, sukses dalam alih usaha.
Sekadar melarang perdagangan daging anjing hanya akan menambah masalah baru. Praktik jual belinya berubah dengan cara yang lebih sembunyi-sembunyi. Di sisi lain, edukasi atas risiko kesehatan yang menyertai kebiasaan menyantap kuliner ekstrem juga perlu digencarkan. Sebab, tak akan ada pedagang jika tak ada konsumen yang memburunya.