Asa Pulihnya Semangat Berkebun Warga setelah Anggota MIT di Poso Habis
Semua orang yang dicari terkait terorisme di Kabupaten Poso, Sulteng, tewas di tangan aparat setelah diburu secara masif sejak 2016. Kedamaian diharapkan terjaga agar warga dapat beraktivitas tanpa ancaman.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Selama satu dekade, warga yang tinggal ataupun beraktivitas di pinggiran hutan di Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi di Sulawesi Tengah hidup dalam ketakutan karena keberadaan kelompok teroris. ”Harta karun” kehidupan mereka di kebun pun menjadi tidak terurus. Kini, mereka bersemangat lagi karena kelompok teroris tersebut sudah tumpas di tangan Polri-TNI.
Warga Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso, memasuki babak baru kehidupan. Mereka bernapas lega karena hari-hari ke depan mereka bisa kembali banting tulang di kebun kakao dan kopi tanpa waswas adanya ancaman yang menghilangkan nyawa.
”Dengan tak adanya lagi kelompok yang dicari Polri dan TNI, kami bisa merasa nyaman untuk berkebun. Semoga semangat kami bangkit untuk menapaki kehidupan ke depan,” ujar Kepala Desa Kalimago Otniel Papunde, saat dihubungi dari Palu, Jumat (30/9/2022).
Kepolisian Daerah Sulteng menyampaikan, satu anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang selama ini diburu Polri-TNI dengan menggelar Operasi Madago Raya tewas ditembak pada Kamis (29/9) malam di Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso.
Dia adalah Al Ikhwarisman alias Jaid alias Askar alias Pak Guru. Pria asal Bima, Nusa Tenggara Barat, yang dalam foto-foto daftar pencarian orang (DPO) digambarkan berambut gondrong dan berkaca mata itu merupakan orang terakhir dari kelompok MIT yang diburu Satuan Tugas Madago Raya.
Jenazah Askar, yang memiliki keahlian merakit bom, telah dievakuasi dan dikuburkan pada Jumat (30/9) di TPU Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Polisi menemukan dua bom lontong dan pistol di lokasi penyergapan Askar.
Warga Kalimago memiliki kisah traumatis dengan teror kelompok MIT. Pada Mei 2021, empat warga desa tersebut dibunuh dengan sadis oleh anggota MIT saat mereka berada di kebun kopi dan kakao.
Pascakejadian itu, kata Otniel, warga tak bisa intensif ke kebun yang luasnya 50 hektar. Mereka takut tiba-tiba anggota kelompok MIT muncul dan menghabisi mereka. Akibatnya, kebun mereka terbengkalai. Kakao dan kopi dibiarkan tak dipanen. Banyak buahnya dimakan burung atau binatang di hutan. ”Padahal, kakao dan kopi komoditas andalan kami. Kami rugi banyak,” ujarnya.
Selama ini, warga fokus menanam jagung dan menggarap sawah yang lokasinya jauh dari hutan saat tak leluasa mengurus kakao dan kopi. Hasilnya ada, tetapi tak seberapa. Kakao dan kopi tetap merupakan andalan ekonomi Desa Kalimago.
Dengan tumpasnya anggota MIT, kata Otniel, warga kembali bersemangat untuk berkebun. ”Kami mengapresiasi TNI-Polri. Ini doa semua orang yang ingin hidup aman dan nyaman, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.
Semangat sama juga menghinggapi Sekretaris Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Dengan habisnya anggota MIT, warga antusias untuk mengurus komoditas unggulan di desa di ketinggian itu, yakni vanili dan kopi. ”Kami tentu senang dengan informasi ini. Kami siap untuk berkebun tanpa pusing adanya ancaman,” ucapnya.
Ini tugas dan tanggung jawab semua pihak agar tidak ada lagi kelompok-kelompok radikal.
Seperti Kalimago, warga Lembantongoa juga pernah merasakan teror dari kelompok MIT. Empat warga desa yang dikelilingi hutan lebat pegunungan itu dibunuh di rumahnya.
Selain menewaskan aparat dalam baku tembak, kelompok MIT juga menyasar warga sipil. Terhitung sejak 2014 tak kurang dari 20 warga sipil menjadi korban kelompok tersebut. Mereka adalah warga yang bekerja ataupun tinggal di pinggir hutan yang menjadi tempat bergerilya kelompok teroris itu. Pembunuhan lainnya terjadi Kecamatan Poso Pesisir Selatan di Poso dan sejumlah tempat di Parigi Moutong.
Dengan keberadaan kelompok MIT yang terdeteksi pada 2012, ketidaknyamanan warga dalam berkebun dan berkehidupan yang bebas sebetulnya sudah berlangsung satu dekade. Sekitar 20 desa berbatasan langsung dengan hutan pegunungan yang menjadi medan gerilya kelompok MIT. Warga desa-desa tersebut bermata pencarian sebagai petani kebun dengan komoditas kakao, kopi, vanili, kemiri, dan nilam.
MIT adalah kelompok teroris yang didirikan Santoso pada 2012. Mereka bergerilya di hutan pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi. Santoso tewas pertengahan 2016 dalam baku tembak dengan anggota Satuan Tugas Operasi Tinombala, sandi operasi pengejaran kelompok tersebut sebelum diganti menjadi Operasi Madago Raya pada Januari 2020.
Anggota kelompok tersebut sempat berjumlah tak kurang dari 45 orang pada saat mulai digelarnya operasi awal 2016. Jumlahnya terus berkurang dengan berganti-gantinya pemimpin setelah Santoso tewas. Hingga jelang akhir 2021, Ali Kalora mengomandoi kelompok itu. Ia tewas pada pertengahan September 2021. Setelah Ali tewas, anggota kelompok tersebut tersisa empat orang hingga tewasnya Askar alias Pak Guru di tangan aparat.
Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi menyatakan, dengan tewasnya Askar atau berakhirnya kelompok MIT, Poso diharapkan makin aman dan damai. ”Poso yang damai ini harus dipertahankan. Ini tugas dan tanggung jawab semua pihak agar tak ada lagi kelompok-kelompok radikal,” katanya dalam keterangan pers di kantor Kepolisian Sektor Poso Pesisir Utara, Poso, yang videonya diterima Kompas.
Terkait kemungkinan masih adanya simpatisan MIT, Rudy menyatakan, Operasi Madago Raya tetap dilanjutkan. Hanya levelnya diturunkan dari pengejaran kelompok radikal ke pendekatan dengan kelompok simpatisan. Namun, ia tak memerinci seperti apa program operasi untuk kelompok simpatisan tersebut.
Berdasarkan pemaparan selama ini, Satuan Tugas Operasi Madago Raya terbagi dalam sejumlah kelompok. Ada kelompok penindakan atau pengejaran terhadap anggota MIT dan ada kelompok yang bertugas menyosialisasikan kehidupan beragama yang damai di desa-desa sekitar daerah operasi. Operasi juga dibarengi dengan kegiatan sosial, seperti pembangunan tempat ibadah dan bedah rumah warga.
Sosiolog Universitas Tadulako, Palu, Cristian Tindjabate, mengingatkan semua pemangku kepentingan untuk tak lantas berpangku tangan dengan tumpasnya anggota MIT. Terorisme berkaitan dengan ideologi. Ada kemungkinan anggota MIT sudah menyebarkan dan menanamkan ideologi kekerasan tersebut kepada kelompok lain di sekitar lokasi gerilya mereka.
Untuk itu, lanjut Cristian, upaya-upaya terkait pemulihan kehidupan sosial-ekonomi untuk kedamaian (peace building) dengan pendekatan yang humanis harus dilakukan dengan berkesinambungan. Upaya tersebut melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk penyadaran dan pembinaan masyarakat serta pemerintah untuk perbaikan ekonominya. Upaya-upaya tersebut diharapkan bisa meredam ideologi kekerasan atau antikemanusiaan dalam masyarakat.
Teror selama 10 tahun yang dialami warga di sekitar pegunungan Poso, Sigi, dan Parigi Moutong khususnya dan Sulteng pada umumnya diharapkan benar-benar berakhir dengan habisnya anggota MIT. Selanjutnya, semua pihak bertanggung jawab untuk menjaga kehidupan bersama yang damai dan harmonis.