Reportase secara kolaboratif oleh awak media sangat diperlukan dalam memerangi kejahatan lingkungan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Tingginya kejahatan lingkungan di Indonesia memerlukan upaya bersama untuk memeranginya, termasuk lewat reportase para pekerja media. Reportase mendalam dan investigatif harus dilakukan bersama-sama untuk mengungkap kejahatan itu ke publik. Hasil liputan kolaborasi diyakini akan lebih terasa membawa perubahan.
Untuk memperkuat kapasitas awak media, United State Agency for Global Media (USAGM) menggelar pelatihan bagi belasan jurnalis dari sejumlah daerah di Indonesia. Pelatihan di Denpasar, Bali, itu berlangsung selama tiga hari, Selasa (27/9/2022) hingga Kamis (29/9/2022). Hadir sebagai narasumber sejumlah jurnalis senior, peneliti kejahatan lingkungan, dan perwakilan penegak hukum.
Inna Dubinsky, Manager Pengembangan Bisnis dan Proyek Pelatihan dari United State Agency for Global Media, mengatakan, bentuk kejahatan lingkungan yang menjadi fokus perhatian di antaranya pembalakan liar, penambangan ilegal, dan perdagangan satwa dilindungi. Selain itu, ada juga penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur dalam regulasi. Semuanya kerap terjadi di Indonesia dan berdampak pada ekosistem dan termasuk manusia di sekitarnya.
”Peran jurnalis sangat dibutuhkan untuk membuat reportase terkait hal ini,” ujarnya.
Dalam catatan Kompas, kejahatan lingkungan yang paling dominan di Indonesia saat ini di antaranya penambangan ilegal tersebar di banyak daerah, perdagangan satwa dilindungi masih sering terjadi dari wilayah bagian timur Indonesia ke Pulau Jawa. Ada juga praktik penangkapan ikan ilegal di beberapa perairan potensial, seperti Natuna dan Arafura.
Joni Aswira Putra, Sekretaris Jenderal The Society of Indonesian Environmental Journalist, mengatakan, hampir semua media arus utama di Indonesia tidak menjadikan kejahatan lingkungan sebagai isu utama dalam kebijakan pemberitaan. Kejahatan lingkungan hanya menjadi bagian dari rubrik tertentu. Namun, ia menyebut, masih ada media yang rutin membuat reportase khusus terkait isu tersebut.
Joni memetakan tiga isu penting terkait lingkungan yang perlu digarap awak media, yakni perubahan iklim, polusi, dan keanekaragaman hayati. Belakangan, bahkan ditambah pendemi Covid-19 yang melanda dunia. Agar liputan itu memberi dampak, perlu digarap secara komprehensif baik berupa tulisan, foto, video, grafis, dan dukungan data.
Ridzki Sigit, Direktur Mongabay Indonesia menambahkan, reportase kejahatan lingkungan menghadapi sejumlah ancaman, seperti keselamatan jurnalis dari kekerasan secara fisik maupun dari serangan siber. Oleh karena itu, ia mendorong agar isu kejahatan lingkungan dapat digarap bersama-sama oleh beberapa media.
Selain itu, lanjutnya, biaya yang tinggi dalam liputan isu lingkungan juga menjadi kendala bagi banyak media terutama di daerah. Oleh karena itu, banyak lembaga independen kerap membantu pendanaan bagi jurnalis, salah satunya USAGM. Kesempatan semacam itu perlu dimanfaatkan, baik secara individu maupun berkolaborasi.
Yuyun Ismawati, penasihat senior dari Nexus3 Foundation dan Aliansi Zero Waste Indonesia, mengkritisi praktik penegakan hukum pada sejumlah kasus kejahatan lingkungan yang terkesan tidak sesuai harapan. Hal itu terjadi lantaran banyak oknum aparat penegak hukum yang terlibat. Hal itu rentan melanggengkan praktik pelanggaran hukum tersebut.
Yuyun fokus meneliti tentang praktik tambang ilegal serta penggunaan merkuri di Indonesia. Menurut data yang dia himpun, pada tahun 2019, lokasi tambang ilegal tersebar di 130 kabupaten dan kota pada 30 provinsi. Di lokasi itu, penggunaan merkuri mencapai 3.500 ton dengan emas yang didapat sebanyak 175 ton.
”Ada oknum aparat yang terlibat di tambang ilegal ini,” ujarnya.
Kompas juga pernah merekam keterlibatan oknum aparat dimaksud seperti terlihat di lokasi tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Selain membeking tambang ilegal, oknum aparat keamanan juga terlibat dalam peredaran narkoba. Khusus aparat kepolisian, beberapa dari mereka yang membengkingi petambang telah diberhentikan tidak dengan hormat oleh Polda Maluku.
Tambang ilegal Gunung Botak itu mulai beroperasi pada 2010 dengan jumlah pertambang pernah mencapai 20.000 orang. Mereka mengolah material tambang menggunakan merkuri dan sianida. Limbah hasil pengolahan itu dibuang ke sungai dan mencemari sungai hingga ke muara. Padahal, air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah. Muaranya menjadi tempat berkembang biaknya ikan.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Tertentu Polri Brigadir Jenderal (Pol) Pipit Rismanto mengakui, keterlibatan oknum aparat keamanan dalam kejahatan lingkungan menjadi tantangan dalam penegakan hukum. Meski demikian, pihaknya berkomitmen untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil terhadap siapa pun.
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa Bali dan Nusa Tenggara Taqiuddin menambahkan, jika ada oknum penegakan hukum yang terlibat, pihaknya selalu berkoordinasi dengan petinggi dari instansi oknum bertugas. Dia mencontohkan, kasus penyelundupan burung lewat kapal TNI Angkatan Laut dari Sorong, Papua Barat, ke Surabaya, Jawa Timur, beberapa pekan lalu.
Saat disinggung terkait penegakan hukum atas kejahatan lingkungan yang melibatkan korporasi besar, baik Pipit maupun Taqiuddin yang menjadi pembicara dalam pelatihan jurnalistik itu kembali menegaskan komitmen mereka dalam penegakan hukum. Jawaban ini tak memuaskan sejumlah peserta. ”Penegakan hukum dalam kejahatan lingkungan terkesan lebih tajam kepada mereka lemah,” ujar seorang jurnalis menanggapinya. Namun, diskusi tak dilanjutkan karena keterbatasan waktu.