Konflik agraria masih terus terjadi di berbagai sektor. Kasus-kasus pada masa lalu juga belum tuntas.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kasus perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap masyarakat Lampung yang memperjuangkan haknya masih terus terjadi. Konflik agraria tidak hanya mengancam mata pencarian petani, tetapi juga dapat memicu krisis pangan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Kesejahteraan Petani di Tengah Konflik Agraria” di Bandar Lampung, Senin (26/9/2022). Acara itu dihadiri oleh sekitar 50 peserta dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan mahasiswa.
Direktur Ekskutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, konflik agraria masih terus terjadi di berbagai sektor. Selain konflik agraria di dalam kawasan hutan, konflik pertanahan juga terjadi di luar kawasan hutan, hingga konflik pengelolaan ruang laut.
Selain itu, konflik agraria di Lampung pada masa lalu juga belum selesai. Kasus-kasus tersebut, antara lain kasus Register 45 Kabupaten Mesuji serta konflik antara petani dan perusahaan di Kabupaten Tulang Bawang. Konflik horizontal antarwarga di dua kawasan itu bisa terjadi sewaktu-waktu karena akar masalah terkait dengan tata kelola pertanahan tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah.
”Secara historis, konflik agraria yang terjadi di Lampung adalah konflik lama yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Ibarat bom waktu, konflik agraria ini bisa meledak lagi,” kata Irfan.
Di luar kawasan hutan, petani di Lampung juga rentan berhadapan dengan mafia tanah yang mengklaim kepemilihan secara sepihak. Nelayan di Lampung, misalnya, menghadapi konflik akibat pengelolaan ruang laut yang tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah menerbitkan izin pertambakan hingga pengelolaan pariwisata yang bertabrakan dengan kawasan tangkap nelayan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Sumaindra Jawardi di Bandar Lampung, Senin (26/9/2022).
Pengamat Sosial dari Universitas Lampung, Fuad Abdulgani, menyampaikan, konflik agraria dapat membuat petani kehilangan mata pencariannya dan mengancam kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang, konflik agraria juga bisa memicu krisis pangan yang berkepanjangan.
Konflik agraria yang terjadi selama ini kerap menempatkan petani di posisi yang lemah. Petani rakyat semakin tak punya ruang untuk bercocok tanam. Akibatnya, penyediaan pangan dialihkan ke arah industrialisasi.
Di sisi lain, peralihan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan bisa semakin mempercepat krisis iklim. Dalam jangka panjang, krisis iklim ini membuat upaya penyediaan pangan, seperti beras dan sayuran, semakin sulit dan mahal.
Ia menambahkan, sengketa lahan juga kerap memicu konflik horizontal di masyarakat. Petani juga rentan dikriminalisasi oleh perusahaan.
Konflik agraria yang terjadi selama ini kerap menempatkan petani di posisi yang lemah. Petani rakyat semakin tak punya ruang untuk bercocok tanam. Akibatnya, penyediaan pangan dialihkan ke arah industrialisasi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Sumaindra Jawardi mengungkapkan, saat ini pihaknya tengah mendampingi warga Desa Malang Sari, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Lampung Selatan, yang menghadapi sengketa kepemilikan tanah. Tanah seluas 10 hektar milik 34 keluarga di desa itu tiba-tiba diklaim secara sepihak oleh orang lain.
Konflik Agraria Berdasarkan Sektor
Pihaknya telah melaporkan kasus dugaan pemalsuan surat tanah oleh Kepolisian Daerah Lampung. ”Perkembangan terakhir sudah pada tahap penyidikan. Sudah ada beberapa orang yang dipanggil sebagai saksi dan ditahan,” kata Sumaindra.
Pihaknya akan terus mengawal kasus sengketa tanah yang dialami warga Desa Malang Sari. Diduga ada keterlibatan mafia tanah yang memicu konflik agraria di wilayah itu.