Pemerintah Berkomitmen Tuntaskan Kewarganegaraan bagi Orang Keturunan Sangihe-Filipina di Sulut
Diperkirakan lebih dari 1.000 orang keturunan Sangihe dan Filipina tinggal di Sulawesi Utara tanpa status kewarganegaraan. Pemerintah berkomitmen menuntaskan status kewarganegaraan mereka dengan menaturalisasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Diperkirakan, lebih dari 1.000 orang keturunan Sangihe dan Filipina tinggal di Sulawesi Utara tanpa status kewarganegaraan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, berkomitmen memberikan kejelasan status kependudukan demi memenuhi hak-hak dasar mereka.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Sulut mencatat, pada 2016 terdapat 1.479 warga keturunan Sangihe dan Filipina tanpa kewarganegaraan yang bermukim di Kota Bitung saja. Pada 2022, jumlahnya turun drastis menjadi 445 orang setelah ratusan orang di antaranya diberi status kewarganegaraan Indonesia.
Sementara itu, yang terdata di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud melalui aplikasi Si Tuna Super (Imigrasi Tahuna Supervising Undocumented Person) hanya 43 orang. Meski demikian, jumlahnya bisa jadi jauh lebih banyak, sebagaimana dikatakan Kepala Kanwil Kemenkumham Sulut Hari Sukamto, Kamis (22/9/2022).
”Sebanyak 158 orang (di Bitung dan Manado) telah kami usulkan ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, sedangkan 24 orang di Pulau Matutuang, Sangihe, sedang menunggu proses verifikasi oleh pemkab. Sisanya belum diketahui keberadaannya,” ujar Hari dalam sebuah seminar di Manado.
Para penduduk keturunan Sangihe-Filipina yang ada di Indonesia biasanya tiba dari Pulau Sarangani, Balut, dan wilayah Mindanao di Filipina tanpa membawa catatan sipil apa pun. Setibanya di Bitung, Sangihe, ataupun Talaud, sebagian bekerja sebagai nelayan tradisional, sebagian lainnya menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal-kapal perikanan.
Menurut Hari, pola ini kemudian justru menyulitkan pendataan dan verifikasi keberadaan penduduk Sangihe-Filipina. Saat petugas Kemenkumham datang, mereka justru terkesan kabur dengan alasan pergi melaut. Padahal, enam tahun terakhir, Kemenkumham dan pemda di Sulut menerapkan kebijakan inklusif dengan berupaya menaturalisasi mereka.
Pada 2016, sebanyak 54 orang di Bitung dan delapan orang di Sangihe diberi KTP setelah Kemenkumham menerbitkan surat keputusan (SK) penegasan kependudukan mereka. Pada 2017, sebanyak 499 orang Sanghihe-Filipina juga dinaturalisasi, disusul 277 orang pada 2018.
Untuk melancarkan proses pemberian kewarganegaraan Indonesia, Hari meminta para penduduk keturunan Sangihe-Filipina itu untuk bersikap kooperatif. ”Kami mohon bantuan saudara-saudara. Kalau memang ingin jadi WNI, ketika ada informasi kami akan datang, berkumpullah,” katanya kepada warga keturunan Sangihe-Filipina yang turut hadir.
Kepala Biro Hukum Pemkot Bitung Budi Kristiarso mengatakan, penduduk tanpa kewarganegaraan yang sedang berproses menjadi WNI ataupun yang belum akan tetap diperlakukan sebagai warga kota. Akan tetapi, perubahan status adalah hal mutlak agar hak-hak sipil mereka terpenuhi.
Menurut Budi, Pemkot Bitung hanya bisa menerbitkan KTP, akta kelahiran, akta nikah, dan catatan sipil lainnya setelah ada SK penegasan kewarganegaraan dari Kemenkumham. Selama SK belum ada, pemkot akan mengawasi mereka agar tidak terlibat tindak pidana atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain, misalnya untuk kepentingan politik.
”Pada Pilkada 2005, salah satu pasangan calon mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena dugaan banyak warga undocumented yang dimobilisasi. Hal seperti ini mengkhawatirkan, apalagi kita pada 2024 akan ada pemilu serentak. Maka, Pemkot Bitung siap mendukung Kemenkumham untuk menuntaskan masalah ini,” kata Budi.
Saya berharap sekali bisa dapat kewarganegaraan agar bisa bekerja di laut secara resmi, juga bisa biayai sekolah anak-anak.
Di lain pihak, warga Sangihe-Filipina mendesak Kemenkumham untuk segera menerbitkan SK kewarganegaraan mereka, salah satunya Rian Patras (31). Warga Kelurahan Batulubang di Pulau Lembeh di Kota Bitung itu telah mengajukan permohonan sejak 2017, tetapi belum mendapat jawaban hingga kini.
Ia lahir di Pulau Marore, Kepulauan Sangihe, yang berseberangan langsung dengan Pulau Sarangani dan Balut di Filipina. Ia pindah ke Sarangani dan masuk SD di sana. Namun, setelah kedua orangtuanya berpisah, ia dan adik-adiknya kembali ke Indonesia dan bermukim di Pulau Lembeh pada 2005 tanpa memiliki dokumen apa pun, termasuk akta kelahiran.
Kini, ia sudah menikah dengan WNI tanpa akta nikah dan memiliki dua anak. Istrinya pun membuat kartu keluarga dengan mencantumkan anak-anaknya demi menyekolahkan mereka. ”Saya berharap sekali bisa dapat kewarganegaraan agar bisa bekerja di laut secara resmi, juga bisa biayai sekolah anak-anak,” ujar Rian.
Karena tak memiliki KTP, Rian hingga kini juga belum menerima vaksin Covid-19. Ia juga tak dapat mengakses layanan kesehatan di puskesmas. Untuk sementara, ia bekerja serabutan, seperti menjadi mekanik kompresor kapal atau bekerja di kapal ikan kecil yang kerap disebut pajeko.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, keberadaan penduduk tanpa dokumen resmi bisa menyulitkan pemenuhan hak dasar dan sipil kelompok masyarakat tersebut. ”Kalau tidak punya dokumen, tidak bisa dapat layanan publik, tidak dapat hak sipil dan politik, tidak bisa punya properti. Mau dikembalikan ke negara asal tidak bisa, tetapi berintegrasi di tempat dia berada juga sulit,” katanya.
Saat ini, Indonesia memang belum memiliki dasar hukum untuk menaturalisasi penduduk tanpa dokumen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia hanya mengatur naturalisasi bagi warga negara asing yang sudah tinggal lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut di Indonesia.
Akibatnya, pemerintah kerap kelabakan menangani keberadaan warga tanpa dokumen yang sudah telanjur berada di Indonesia. ”Karena itu, negara yang bersangkutan, dalam hal ini Indonesia dan Filipina, perlu duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Diharapkan ada satu solusi yang permanen,” katanya.