Bauran Energi Baru Terbarukan NTB Capai Tujuh Persen
Provinsi NTB terus berupaya mendorong realisasi pencapaian target energi baru terbarukan. Hingga saat ini, realisasi EBT di provinsi tersebut sudah mencapai 7 persen.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Indonesia menargetkan pencapaian bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23 persen pada 2025. Berbagai daerah kini terus mendorong upaya mendukung pencapaian target tersebut. Termasuk di Nusa Tenggara Barat yang bauran energi baru terbarukannya telah mencapai 7 persen.
General Manager PLN Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) Sudjarwo dalam keterangan persnya di Mataram, Rabu (21/9/2022), mengatakan, bauran (campuran) EBT di NTB saat ini sudah berada di angka 7,1 persen.
Capaian itu, kata Sudjarwo, didominasi oleh pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang tersebar di Pulau Lombok hingga kawasan Gili (Trawangan, Meno, dan Air). Selain itu, ada juga pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM).
Sudjarwo memaparkan, potensi pengembangan EBT di NTB untuk saat ini sebesar 254,6 megawatt (MW). Kapasitas paling besar ialah pembangkit listrik tenaga bayu yang memiliki kapasitas 145 MW. Kemudian pembangkit listrik tenaga panas bumi 40 MW dan pembangkit listrik tenaga arus laut 20 MW. Selain itu, ada pembangkit listrik tenaga biomassa 20 MW dan pembangkit listrik tenaga air 18 MW.
Khusus biomassa, PLN UIW NTB juga telah melaksanakan co-firing atau substitusi bahan bakar batubara di pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan lainnya. Substitusi sudah berlangsung di PLTU Jeranjang di Lombok dan PLTU Sumbawa Barat.
Ada empat jenis biomassa yang digunakan untuk substitusi batubara di PLTU di NTB, yakni pelet sampah organik, sekam padi, serbuk kayu, dan bonggol jagung. Hanya saja, produksi biomassa untuk co-firing di PLTU tersebut masih terbatas. Produksi itu belum mampu memenuhi kebutuhan 3 persen dari total kebutuhan batubara setiap hari.
PLTU Jeranjang, misalnya, mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari. Artinya, jika ditotal, kebutuhan biomassa tiga pembangkit di PLTU Jeranjang sekitar 45 ton per hari.
Pasokan biomassa untuk PLTU Jeranjang berupa sampah dan serbuk kayu. Bahan sampah diproduksi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebun Kongok, Lombok Barat. Sementara serbuk kayu dari sekitar 100 titik pengolahan kayu di Lombok.
Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi biomassa untuk substitusi batubara terus dilakukan. Menurut Sudjarwo, salah satu upaya yang akan dilakukan adalah dengan menciptakan program hutan energi.
Hutan Energi, kata Sudjarwo, dirancang untuk menghasilkan kayu yang bisa digunakan dalam proses co-firing PLTU. Di samping itu, hutan energi ini menjadi solusi bagi permasalahan di NTB, seperti lahan kering dan sampah.
Hal itu karena daun dari hutan energi bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Lalu kotoran ternak bisa dimanfaatkan sebagai pupuk yang bisa dimanfaatkan kembali oleh petani. ”Keberadaan hutan energi ini akan mampu menciptakan sirkular ekonomi di daerah karena dampaknya akan dirasakan oleh semua bidang,” kata Sudjarwo.
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah mengatakan, pengembangan EBT merupakan salah satu tujuan dari realisasi Net Zero Emmision atau emisi bersih 2050 di NTB. Selain itu, ada percepatan perbaikan lahan kritis, NTB hijau, dan NTB zero waste, atau NTB tanpa sampah.
Oleh karena itu, kata Rohmi, perlu sinergi dan kolaborasi antar semua pemangku kepentingan. Kedua hal itu menjadi tantangan merealisasikan energi bersih 2050.
”Kita sudah punya modalnya. Kita tidak mulai dari nol. Hutan produksinya ada, sampah (untuk bahan energi) juga ada. Tinggal bagaimana kita mengoordinasikan semuanya supaya langsung jalan,” kata Rohmi.