Perkuat Identitas, Jalan Panjang Orang Dayak di Kalteng
Masyarakat adat perlu memperkuat identitas mereka dalam menghadapi perubahan, terutama konflik. Dengan begitu, masyarakat bisa menemukan sendiri kebutuhan dan solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat di Kalimantan Tengah hidup beririsan dengan konflik. Mereka kerap dikriminalisasi, kehilangan wilayah kelola, dan banyak hal lain. Solusi dari masalah itu harus dimunculkan dari pribadi masyarakat adat dan kampungnya masing-masing. Untuk itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Kalteng mencatat perubahan-perubahan yang menjadi sumber lunturnya identitas masyarakat adat.
Hal itu terungkap dalam Musyawarah Wilayah III Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng di Kota Palangkaraya yang dilaksanakan pada Kamis-Sabtu (15-17/9/2022) dengan tema ”Memperkuat Identitas Masyarakat Adat Berbasis Tenaga Dalam Kampung”. Kegiatan itu diikuti 12 badan pengurus harian daerah AMAN se-Kalteng.
Dalam dua tahun terakhir, AMAN Kalteng meneliti perubahan di kampung Dayak. Ketua Badan Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto mengatakan, penelitian dilakukan dengan metodologi yang berbeda. AMAN datang ke kampung-kampung Dayak dan mencatat pola perubahan, juga garis waktu peristiwa, yang jadi simpul perubahan tersebut.
Mereka berkeliling ke 12 desa dari dua daerah aliran sungai (DAS) dan mencatat perubahan yang terjadi di tengah lewu atau kampung Dayak. Penelitian itu hingga kini masih terus dilakukan.
Hasilnya, sampai saat ini, lanjut Ferdi, ia melihat banyak keunikan dari dalam kampung mulai pudar, bahkan hilang. Mulai dari ritual adat hingga pola berladang, hutan yang sempit, dan sungai yang rusak.
”Saya melihat orang Dayak berada di pinggir jurang sebenarnya. Banyak hal-hal itu serba terakhir, seperti balian atau upacara pengobatan yang hampir hilang, dan banyak hal lainnya,” ungkap Ferdi di Kota Palangkaraya, Jumat (16/9/2022).
Hutan hilang, sungai rusak, budaya pun ikut hilang. Semua segi kehidupan kami itu berhubungan dengan alam.
Ferdi menjelaskan, hasil refleksi itu membuat AMAN kembali untuk melihat ke dalam diri setiap anggotanya. Melihat kembali kekuatan dari dalam kampung yang sebenarnya bisa menjadi jawaban.
”Gaung ke luar, AMAN itu besar, tetapi ke dalamnya keropos. Kami banyak mengurus hal yang ada di luar, kebijakan, RUU, advokasi kriminalisasi, gugat sana gugat sini, itu penting, tetapi jangan lupakan akarnya. Jangan lupakan kekuatan dari dalam kampung atau lewu,” kata Ferdi.
Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan AMAN Kalteng Alfianus Rinting mengungkapkan, dari penelitian yang mereka lakukan melihat banyak perubahan yang dicatat. Sejak tahun 1970, perubahan itu mulai sangat terasa, ditandai dengan masuknya perusahaan kayu.
”Mereka kemudian menilai alam dengan uang. Bahkan, soal jarak dan waktu pun dilihat dari uang,” ujar Rinting.
Rinting menambahkan, salah satu yang hilang dari orang Dayak adalah budaya berdiskusi yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut pumpung atau kataung di Seruyan. ”Dayak yang dikenal sebagai komunal juga luntur. Semua memikirkan diri sendiri, hilang kehidupan berbagi seperti rumah betang,” katanya.
AMAN, lanjut Rinting, mendorong komunitas-komunitas adat untuk menghidupkan kembali diskusi. Dalam musyawarah wilayah, setiap anggota dari pengurus kabupaten pun didorong berdiskusi untuk memperkuat identitas Dayak. ”Solusi itu datangnya dari mereka, bukan dari kami,” ucapnya.
Berbeda dengan Rinting, Kepala Biro Informasi, Publikasi, dan Komunikasi AMAN Kalteng Paulus Danar menyebutkan, perubahan juga terjadi sejak zaman penjajahan. Saat itu, kekuatan dari luar masuk dan mengintervensi budaya di dalam kampung.
”Secara sadar maupun tidak sadar, cara yang sama juga digunakan pemerintah, bahkan LSM atau NGO. Datang dengan perspektif dari luar, lalu memberi solusi dengan cara superior,” kata Danar.
Mardiana, tokoh adat Dayak Maanyan yang mengikuti kegiatan tersebut, menuturkan, lunturnya identitas Dayak juga dilihat dari sempitnya ruang hidup mereka. Di Kabupaten Barito Timur, banyak sungai dan hutan berubah jadi lokasi pertambangan.
”Hutan hilang, sungai rusak, budaya pun ikut hilang. Semua segi kehidupan kami itu berhubungan dengan alam,” ujar Mardiana.
Hal itu sejalan dengan jalan investasi di Kalteng. Dari data yang dikumpulkan Kompas, Kalteng memiliki lahan luas 15,3 juta hektar yang dipenuhi perizinan. Dinas Kehutanan Kalteng mencatat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam, hutan tanaman, restorasi ekologi, karbon (IUPHHK-HA/HT/RE/Kar) tahun 2017 hingga saat ini telah ada 91 unit usaha dengan luas mencapai 5,08 juta hektar.
Di sektor tambang, data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalteng menunjukkan, terdapat 303 perusahaan tambang dengan total luas konsesi tambang mencapai 1,8 juta hektar.
Untuk sawit, data dari Dinas Perkebunan Kalteng mencatat, terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas 3,9 juta hektar. Namun, jumlah perusahaan yang beroperasi hanya seluas 1,13 juta hektar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat setidaknya 72 desa masuk dalam kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalteng.
Jika ditotal, semua perizinan itu luasnya mencapai 11,2 juta hektar, baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun yang belum. Dari 15,3 juta hektar luas wilayah di Kalteng, 11,2 juta hektar sudah dan bakal dikonversi ke berbagai jenis usaha. Artinya, hanya 4,1 juta hektar atau 1,7 persen sisa lahan di Kalteng merupakan kawasan permukiman juga kebun-kebun masyarakat atau wilayah kelola lainnya. Hutan adat Barasak tersempil di antaranya.
Di satu sisi, Dinas Kehutanan Kalteng menerima 12 peta wilayah adat dengan total luas 119.777,76 hektar dari AMAN Kalteng. Hanya Barasak yang sudah sah dengan luas hanya 102 hektar, sisanya masih berharap dan menanti.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing yang hadir dalam kegiatan tersebut mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih berupaya untuk mendapatkan pengakuan, tetapi belum juga diberikan meski syarat-syarat telah dipenuhi.
”Sekarang ini tergantung niat pemerintah, kalau komunitas adat di kampung semangatnya tidak luntur,” kata Buhing.