Kunjungan Presiden Jokowi dan Jeritan Nelayan Kecil
Kendati Presiden mendengar kabar baik dari nelayan dan pengusaha, masih ada masalah besar yang dihadapi masyarakat pesisir di Maluku. Kebijakan penangkapan ikan terukur dinilai meminggirkan nelayan kecil.
Oleh
NINA SUSILO, FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Hari pertama kunjungan kerja Presiden Joko Widodo yang dimulai di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, Rabu (14/9/2022), diakhiri dengan meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual. Tak hanya itu, Presiden juga bertemu dengan para nelayan dan pembudidaya rumput laut.
Kabar gembira pun disampaikan. Salah satu perwakilan dari pembudidaya rumput laut menjelaskan bahwa perkembangan budidaya rumput laut di Kota Tual sangat menjanjikan. Hal tersebut, menurut dia, hasil kerja sama yang baik antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota.
Menurut dia, budidaya tersebut menjanjikan karena dalam satu musim para pembudidaya bisa sampai empat kali panen. Mereka rata-rata bisa menghasilkan 400 kilogram rumput laut dalam satu kali panen. ”Jadi, bisa 1 ton, 1 ton lebih sedikit. Budidaya di sini menjanjikan, Pak,” lanjutnya.
Para pembudidaya pun bersyukur dengan harga rumput laut yang saat ini di pasaran sekitar Rp 25.000 per kilogram. Harga tersebut dinilai cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga rumput laut tahun lalu.
”Tahun lalu Rp 15.000, Rp 16.000. Bagi kami pembudidaya, (saat ini) sudah sangat cukup,” kata perwakilan tersebut.
Presiden menyambut gembira. ”Sekarang Rp 25.000, Rp 35.000, ya bagus itu. Masih Rp 25.000, ya disyukuri,” ucap Presiden yang didampingi Nyonya Iriana.
Presiden menyapa para petani rumput laut bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Maluku Murad Ismail, Bupati Maluku Tenggara Muhamad Thaher Hanubun, dan Wali Kota Tual Adam Rahayaan.
Terpinggirkan
Dalam peninjauan itu, Presiden memang mendengar kabar baik dari para nelayan dan pengusaha. Namun, di sisi lain ada nelayan kecil yang menjerit karena terdampak kebijakan pemerintah. Para nelayan kecil itu meminta agar kebijakan penangkapan ikan terukur yang dinilai meminggirkan nelayan kecil dan masyarakat pesisir dibatalkan.
Kebijakan penangkapan terukur didesain oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kawasan pertama penerapan kebijakan ini adalah wilayah tenggara Maluku yang bersentuhan dengan Laut Arafura yang dikunjungi Presiden Jokowi.
Laut Arafura membentang dari bagian tenggara Kepulauan Maluku hingga sisi selatan Papua. Sebagaimana data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laut Arafura berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 718 yang memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia, yakni 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional.
Jadi, kebijakan penangkapan terukur ini didesain untuk kepentingan perusahaan besar.
Dengan adanya kebijakan penangkapan terukur, perusahaan perikanan skala besar mendapat kontrak dari pemerintah dalam kurun waktu tertentu dengan kuota tangkapan yang ditentukan. ”Jadi, kebijakan penangkapan terukur ini didesain untuk kepentingan perusahaan besar,” kata Poli Pikaem, nelayan Kepulauan Aru, lewat sambungan telepon.
Ia lalu mempertanyakan posisi nelayan kecil dalam kebijakan tersebut, yang berpotensi tereliminasi dengan sendirinya. Kehadiran korporasi perikanan skala besar dengan dukungan armada tangkap akan mengeruk habis kekayaan laut di sana. ”Kami nelayan kecil dapat apa nanti? Lebih dari 30 tahun jadi nelayan, sampai sekarang masih pakai perahu dayung,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komprehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak pendapatan negara bukan pajak yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia.
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pagu anggaran kementerian tersebut tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja semua kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).
Namun, pemerhati masalah perikanan di Maluku, Ruslan Tawari, tidak yakin bahwa penangkapan terukur akan menyejahterakan nelayan. ”Itu bukan solusinya. Solusinya adalah pemberdayaan nelayan lokal. Penangkapan terukur ini melanggengkan kapitalisme dalam dunia perikanan,” ujarnya. Ia meminta Presiden membatalkan kebijakan tersebut.
Jika berpihak kepada nelayan kecil, semestinya Presiden mendengarkan masalah-masalah seperti ini dan membatalkan kebijakan yang tak menyejahterakan masyarakat. Presiden sudah sewajarnya mendorong nelayan kecil semakin berdaya, bukan sekadar membiarkan korporasi besar semakin memonopoli sumber daya laut.