Majelis hakim di Pengadilan Negeri Makassar memenangkan enam media yang digugat terkait pemberitaan. Putusan ini adakah bentuk kemenangan kebebasan pers di Indonesia.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Majelis hakim di Pengadilan Negeri Makassar memutuskan menolak gugatan perdata sebesar Rp 100 triliun kepada enam media massa, Rabu (14/9/2022). Putusan ini dinilai sebagai keberpihakan dan pengakuan negara pada kebebasan pers dan penegakan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Gugatan itu dilayangkan oleh M Akbar Amir kepada LKBN Antara, RRI Makassar, Kabar Makassar, Makassar Today, Celebes News, dan Terkini News. Gugatan yang dilayangkan pada 31 Desember 2021 ini didasarkan pada berita konflik di antara pihak yang mengaku keturunan Raja Tallo yang dimuat pada Maret 2016.
Dalam jumpa pers, HA Abdul Rauf Daeng Marewa, yang mengaku sebagai keturunan Raja Tallo, menyebut M Akbar Amir Sultan Aliyah bukan keturunan Raja Tallo. Alasan gugatan adalah akibat berita tersebut, penggugat mengalami kerugian karena sejumlah proyek yang akan dikerjakan lantas dibatalkan.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu sore, majelis hakim berpendapat, ada sejumlah alasan yang membuat gugatan ini ditolak. Beberapa di antaranya, gugatan dinilai prematur, tidak berdasar, dan kedaluwarsa.
Materi yang digugat adalah produk jurnalistik. Seharusnya penggugat terlebih dahulu menempuh jalur hak jawab dan hak koreksi ke media sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40/1999. Kalau cara ini tidak berhasil, masih ada tahapan selanjutnya, yakni melalui Dewan Pers. Kalau tak lagi berhasil di Dewan Pers, barulah melapor ke polisi atau menggugat ke pengadilan.
Dalam hal ini, penggugat langsung menggugat tanpa melalui proses hak jawab dan hak koreksi. ”Jadi, gugatan ini bersifat prematur,” ucap Ketua Majelis Hakim Jahoras Siringgo Ringgo.
Selain itu, apa yang dikemukakan penggugat terkait kerugian dan hal lain juga dinilai tidak berdasar menurut eksepsi dan bukti-bukti yang diajukan tergugat. Gugatan juga dinilai kedaluwarsa karena berita ditulis pada 2016, tetapi baru digugat pada 2021.
”Karena gugatan bersifat prematur, cukup alasan mengatakan gugatan ini tidak dapat diterima. Karena itu, dalil-dalil, substansi, atau materi pokok perkara tidak perlu lagi dipertimbangkan atau diputuskan. Penggugat belum menempuh mekanisme sengketa jurnalistik atau pers sebagaimana diatur UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan aturan lainnya. Dengan ini, eksepsi tergugat diterima dan menghukum penggugat membayar biaya perkara Rp 3,8 juta,” kata Ketua Majelis Hakim.
Atas putusan ini, perwakilan penggugat, Mukadi Saleh, mengatakan, pihaknya akan berpikir dan berkonsultasi dengan pengacara. ”Apakah nanti akan banding atau menerima. Nanti saja kita lihat. Saya akan berpikir dan berkonsultasi dulu dengan para penasihat hukum saya,” katanya.
M Al Jebra Al Iksan Rauf, penasihat hukum yang mewakili enam media itu, mengatakan, putusan hakim adalah kemenangan kebebasan pers dan juga bentuk penegakan UU Pers.
”Gugatan itu prematur. Sebelum mengajukan ke pengadilan, harus ada proses yang dilalui dengan mekanisme hak jawab dan Dewan Pers. Untuk itu, sekali lagi putusan ini adalah bentuk negara menghargai kebebasan pers,” ujarnya.