Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 yang dirilis Reporters Without Borders menyoroti beberapa catatan kebebasan pers yang mesti dibenahi di Indonesia.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Kartu pers sejumlah jurnalis diletakkan di atas poster dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). Jurnalis yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Anti Kekerasan (Sajak) ini mendesak polisi agar menjamin jurnalis bebas dari kekerasan aparat saat meliput.
PARIS, SELASA — Indeks Kebebasan Pers di Indonesia turun dari skor 62,60 pada tahun 2021 menjadi 49,27 tahun 2022 ini. Indonesia yang tahun lalu berada pada peringkat ke-113 dari total 180 negara, akhirnya merosot ke peringkat ke-117.
Demikian hasil pemeringkatan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 oleh Reporters Without Borders (RSF) yang dirilis pada hri Selasa (3/5/2022). Pemeringkatan ini diukur dari beberapa indikator, yakni politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Dari sisi politik, RSF mencatat bahwa Presiden RI Joko Widodo belum menepati janjinya dalam hal kebebasan pers, khususnya di Papua. Wilayah Papua yang terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat dianggap sebagai ”lubang hitam” informasi di mana jurnalis tidak bisa bebas bekerja.
Jurnalis di Indonesia juga menghadapi tantangan hukum dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang potensial digunakan untuk memidanakan jurnalis. Pada masa pandemi Covid-19 terpantau tekanan pemerintah tentang pemberitaan krisis kesehatan dan informasi yang memusuhi presiden atau pemerintah.
Pandemi juga mendatangkan tekanan ekonomi yang luar biasa kepada pers di Indonesia. Banyak jurnalis dipecat dan separuh media memotong 20-30 persen gaji karyawannya.
Dalam konteks sosial, pemberitaan tentang topik-topik tertentu, seperti LGBT, kemurtadan, dan pernikahan anak di bawah umur, masih dianggap tabu. Sementara itu, dalam konteks keamanan, jurnalis yang menginvestigasi kasus korupsi lokal masih sering menghadapi intimidasi dari aparat keamanan.
Direktur Operasi dan Kampanye RSF, Rebecca Vincent, mengatakan, berdasarkan pemantauan kebebasan pers di 180 negara, RSF menyoroti fenomena kekacauan berita dan informasi. ”Efek dari peredaran global informasi daring yang tidak diatur mendorong munculnya hoaks serta propaganda,” ujar Vincent dalam laporan resmi RSF, Selasa.
Dari total 180 negara yang dipantau RSF, tiga negara menduduki peringkat tertinggi, yaitu Norwegia (peringkat ke-1), Denmark (peringkat ke-2), dan Swedia (peringkat ke-3). Negara-negara tersebut bisa menjadi model di mana kebebasan berekspresi berkembang.
Adapun dua negara, yaitu Moldova (peringkat ke-40) dan Bulgaria (peringkat ke-91), prestasinya meningkat signifikan karena berhasil membawa perubahan dan perbaikan situasi bagi jurnalis. Moldova melonjak dari peringkat ke-89 (2021) menjadi ke-40 (2022), sedangkan Bulgaria naik dari peringkat ke-112 (2021) menjadi ke-91 (2022).
Sejak 1 Januari 2022 hingga saat ini, RSF mencatat sebanyak 24 jurnalis dan satu pekerja media terbunuh. Selain itu, terdapat 461 jurnalis dan 19 pekerja media yang saat ini dipenjara.
Sejumlah poster yang menggambarkan sosok jurnalis harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), dipajang dalam pameran Memorabilia Wartawan Udin di Ruang Kolaborasi Antologi, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (4/5/2021). Hasil penjualan poster tersebut akan disumbangkan ke keluarga Udin serta digunakan untuk membiayai kampanye stop kekerasan terhadap jurnalis. Pameran tersebut digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta untuk memperingati Hari Kebebasan Pers serta untuk wujud keprihatinan atas masih gelapnya pengungkapan kasus pembunuhan wartawan Udin pada tahun 1996. Pameran ini berlangsung hingga 10 Mei 2021.
Kasus doxing
Menurut data SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), ada 13 kasus doxing yuang dialami jurnalis pada periode 2017-2020. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, doxing yang dialami jurnalis umumnya untuk memersekusi target di dunia maya. Persekusi diharapkan berlanjut ke dunia nyata.
”Doxing menjadi berbahaya ketika digunakan atau diarahkan pada kelompok kritis, termasuk jurnalis. Selain pemidanaan, doxing masuk dalam 25 kategori serangan terbanyak yang sering dialami jurnalis. Serangan doxing ini juga bersifat delegitimasi atau sebuah upaya untuk membuat jurnalis tersebut tidak dipercaya oleh publik,” ujarnya (Kompas.id, 26/4/2022).
Pandemi juga mendatangkan tekanan ekonomi yang luar biasa kepada pers di Indonesia. Banyak jurnalis dipecat dan separuh media memotong 20-30 persen gaji karyawannya.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, kemajuan teknologi tidak hanya mendorong pertukaran informasi yang cepat. Hal ini juga membuat pekerja media rawan jadi sasaran serangan digital hingga pelecehan.
Hal tersebut juga terjadi pada perempuan jurnalis. Penelitian UNESCO menyatakan bahwa dari sepuluh jurnalis, lebih dari tujuh jurnalis pernah mengalami kekerasan daring. Namun, pelaku kekerasan kerap tidak meninggalkan jejak ataupun memperoleh impunitas.
”Ini mesti diakhiri. Kemajuan teknologi perlu didukung oleh penghormatan terhadap kebebasan, privasi, dan keselamatan jurnalis. Jaringan media sosial mesti berbuat lebih untuk mengatasi disinformasi dan ujaran kebencian, sekaligus melindungi kebebasan berekspresi,” kata Azoulay melalui keterangan tertulis.
Belum sepenuhnya
Di tingkat nasional, Indeks Kebebasan Pers (IKP) 2021 naik. Meski demikian, pers belum sepenuhnya bebas. Kekerasan terhadap wartawan hingga ancaman serangan digital masih dialami jurnalis.
Menurut IKP yang dipublikasikan Dewan Pers, skor IKP nasional adalah 76,02. Angka ini naik dibandingkan skor pada 2020, yaitu 75,27. Skor di 2021 dan 2020 menunjukkan kemerdekaan pers nasional ada di kategori Cukup Bebas.
IKP Dewan Pers diperoleh melalui survei di 34 provinsi. Survei ini melibatkan 12 informan ahli di tiap-tiap provinsi. Para informan ahli terdiri dari pengurus aktif organisasi wartawan, pimpinan perusahaan media, masyarakat, dan pemerintah.
Menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, secara umum kondisi kebebasan pers di Indonesia belum membaik. Ini mengingat masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis.
AJI mencatat 43 kasus kekerasan sepanjang 2021. Jenis kekerasan yang dialami jurnalis ialah teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus), serta pelanggaran liputan (7 kasus). Ada pula serangan digital (5 kasus), ancaman (5 kasus), dan penuntutan hukum (4 kasus).
”Belum ada perbaikan signifikan dari segi regulasi, ekonomi (kesejahteraan), kekerasan terhadap jurnalis, dan impunitas pelaku kekerasan,” ucapnya.