Perlu Sosialisasi Hukum Positif bagi Komunitas Adat
Sosialisasi hukum positif bagi masyarakat adat di beberapa tempat terbukti bermanfaat bagi mereka. Di atas semuanya itu, pendidikan dasar untuk mereka harus diutamakan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
TERNATE, KOMPAS — Berulangnya kasus pembunuhan yang melibatkan komunitas dari masyarakat adat di pedalaman Pulau Halmahera, Maluku Utara, perlu disikapi secara serius. Sosialisasi hukum positif yang melibatkan praktisi hukum, akademisi, dan dampingi antropolog perlu dilakukan untuk mencegah hal serupa terulang lagi.
Sosialisasi dan pendidikan hukum juga menjadi bekal bagi masyarakat adat agar memahami hak-hak mereka sebagai pemilik hutan yang belakangan kian tertekan oleh investasi tambang dan perkebunan sawit. Masyarakat adat kerap diperdayai oleh pihak tertentu yang ingin mengambil lahan mereka dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan hukum.
Pandangan dimaksud disampaikan oleh Fahruddin Maloko, praktisi hukum di Kota Ternate, Maluku Utara, lewat sambungan telepon pada Selasa (13/9/2022). Selain sebagai pengacara, Fahruddin juga merupakan salah satu aktivis yang kerap membela kepentingan masyarakat adat di Pulau Halmahera.
Dalam catatannya, banyak masyarakat adat yang dipenjara atas tuduhan pembunuhan. Tiga tahun terakhir, ia merekam dua kasus pembunuhan dengan delapan orang sebagai terpidana. ”Secara hukum di pengadilan, mereka terbukti melakukan pembunuhan. Ini masalah serius,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak enam orang masyarakat adat Suku Tobelo dari komunitas Togutil di pedalaman Pulau Halmahera divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan berencana. Empat orang dipenjara seumur hidup dan dua yang lain dipenjara 20 tahun.
Terpidana penjara seumur hidup dimaksud adalah Habel Lilinger (62), Hago Baikole (60), Toduba Hakaru (54), dan Saptu Tojou (62). Sementara terpidana 20 tahun penjara adalah Rinto Tojouw (29) dan Awo Gihali (39). Mereka dinyatakan terlibat pembunuhan berencana dengan korban tiga orang di tengah hutan Kabupaten Halmahera Timur pada 29 Maret 2019.
Korban pembunuhan berencana terdiri dari Habibu Salaton, Karim Abdurahman, dan Yusuf Halim. Para korban berasal dari Desa Waci, Kabupaten Halmahera Timur. Ketiga korban meninggal di tempat kejadian dengan kondisi luka akibat terkena panah dan sabetan parang (Kompas, 13/9/2022).
Menurut Fahruddin, salah satu penyebab masyarakat adat terlibat dalam kasus itu lantaran mereka belum memahami hukum positif. Ketika melakukan hal tersebut, mereka tidak tahu konsekuensi yang diterima. Mereka yang hidupnya berpindah-pindah kesulitan mengakses pengetahuan akan hal tersebut.
”Oleh karena itu, mari kita sama-sama, baik antropolog dan praktisi maupun akademisi, untuk datang ke mereka dan memberi sosialisasi terkait hukum. Sudah terbukti di banyak tempat, hal itu sangat berguna bagi masyarakat adat. Karena, bagaimanapun kita hidup dalam negara hukum,” ujarnya.
Selain mencegah terjadi kekerasan, pemahaman hukum yang dimiliki masyarakat adat juga sangat membantu mereka dalam melakukan advokasi dan perlindungan terhadap diri mereka dan komunitas. Sejauh ini, banyak lahan mereka diincar untuk dijadikan area konsesi tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Sosialisasi dan pendidikan hukum juga menjadi bekal bagi masyarakat adat agar memahami hak-hak mereka sebagai pemilik hutan yang belakangan kian tertekan oleh investasi tambang dan perkebunan sawit.
Sebagaimana catatan Kompas, mendiang Yanes Balubun, praktisi hukum sekaligus pembela masyarakat adat Suku Nuaulu di Pulau Seram, Maluku, berhasil melakukan hal itu. Setelah gencar dengan sosialisasi hukum, tidak terdengar lagi pembunuhan yang melibatkan masyarakat Nuaulu dalam tujuh tahun terakhir.
Masyarakat Nuaulu juga menjaga hutan mereka lewat peraturan kampung yang mereka susun sendiri. ”Dulu, mereka bunuh orang itu anggap biasa saja. Setelah aparat tangkap mereka, baru mereka kaget. Ini karena ketidaktahuan akan hukum positif,” kata Yanes kepada Kompas pada 2016 lalu.
Berbeda dengan Fahruddin dan Yanes, Rudi (34), warga Halmahera Timur, mengatakan, pendidikan menjadi kunci utama untuk memajukan masyarakat adat yang masih jauh dari pembangunan. ”Bagaimana mereka paham hukum kalau baca dan tulis saja belum tahu,” ujarnya.
Ia berpandangan, kekerasan yang dilakukan beberapa masyarakat adat adalah untuk mempertahankan hutan dan lahan mereka dari incaran pihak luar. Orang yang dalam keadaan terdesak akan berbuat apa saja untuk mempertahankan diri dan komunitasnya.
Menunggu keluarga
Terkait kasus hukum enam terpidana komunitas Togutil tersebut, Arnold Musa, penasihat hukum para terpidana, mengatakan, dirinya masih menunggu kesediaan dari keluarga untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. ”Hingga kini para terpidana menyatakan tidak melakukan hal tersebut,” ujarnya.
Padahal, berdasarkan dokumen dari Direktori Putusan Mahkamah Agung RI yang ditandatangani oleh panitera pada Pengadilan Tinggi Maluku Utara, Sri Chandra, tertulis bahwa para pelaku merencanakan pembunuhan tersebut setelah mengetahui para korban sedang berada di tengah hutan. Para korban dan pelaku sama-sama berburu dan mencari pala hutan.
Para pelaku yang mendengar bunyi perahu motor yang digunakan korban membuat jebakan dengan menumbangkan pohon ke aliran kali yang dilewati. Saat perahu korban terhenti, pelaku ramai-ramai menyerang dengan cara memanah, kemudian memotong tubuh korban dengan parang. Ada saksi mata yang menyaksikan kejadian itu mengenali pelaku.