Buruh di Sumut Tuntut Pengendalian Harga Kebutuhan Pokok dan Kenaikan Upah
Buruh berunjuk rasa di kantor DPRD Sumut. Mereka menolak kenaikan harga BBM, meminta pemerintah mengendalikan harga bahan pokok, dan menaikkan upah. Banyak buruh yang tidak tahu bagaimana mengajukan bansos pekerja.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pascakeputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, ratusan buruh dari beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Utara berunjuk rasa di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, Medan, Selasa (6/9/2022). Mereka meminta pemerintah mengendalikan kenaikan harga bahan pokok, bahan bakar minyak, dan menaikkan upah minimum.
Massa dari Partai Buruh Sumatera Utara itu berkumpul di Jalan Imam Bonjol di depan kantor DPRD Sumut pada Selasa siang. Jalan itu pun ditutup total karena aksi unjuk rasa. Mereka menyampaikan aspirasi melalui orasi, membentangkan spanduk, serta poster.
Ketua Komite Eksekutif Partai Buruh Sumut Willy Agus Utomo mengatakan, mereka menyampaikan empat sikap. Selain penolakan kenaikan harga BBM, pihaknya juga minta pengendalian harga bahan pokok yang melambung tinggi, kenaikan upah minimum, dan pembatalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Willy mengatakan, para pekerja menjadi kelompok yang sangat terdampak kenaikan harga BBM dan bahan pokok. Apalagi, dalam tiga tahun terakhir kenaikan upah minimum sangat rendah.
Khairuddin Siahaan (40), buruh perkebunan sawit swasta dari Kabupaten Serdang Bedagai, mengatakan, kenaikan harga bahan pokok dan BBM sangat memukul ekonomi keluarganya. ”Kebutuhan pokok semuanya serba naik. Padahal, upah saya tidak naik dalam beberapa tahun ini, mentok sekitar Rp 3 juta per bulan,” kata Khairuddin.
Khairuddin mengatakan, gajinya selama ini sudah sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan dapur, menyekolahkan tiga anaknya, dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya. ”Dalam beberapa bulan ini istri saya sering mengeluh karena uang belanja tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan dapur yang serba naik,” katanya.
Khairuddin dan istrinya dalam beberapa bulan terakhir ini berinisiatif untuk menambah pendapatan dengan membersihkan lidi dari pelepah sawit. Mereka bisa mengumpulkan sekitar 100 kilogram lidi per bulan yang dijual total Rp 300.000. ”Pulang bekerja dari kebun sawit, saya lanjut membersihkan lidi di rumah agar bisa mendapat uang tambahan,” kata Khairuddin.
Khairuddin mengatakan, mereka menolak kenaikan harga BBM karena momentumnya tidak tepat. Kesulitan warga bertambah karena dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang sangat sulit.
Kami tidak tahu ada bansos untuk pekerja. Kalau memang ada, bisa juga untuk membantu membeli bahan pokok. (Mujiono)
Mujiono (40), pekerja lainnya dari perkebunan sawit di Deli Serdang, mengatakan, ia juga harus mencari pekerjaan sampingan dalam beberapa bulan terakhir dengan mencari brondolan sawit. ”Perusahaan memberi tambahan pendapatan jika ikut membantu mencari brondolan di luar jam kerja,” kata Mujiono.
Para pekerja perkebunan menyebut, mereka belum mengetahui adanya bantuan langsung tunai BBM untuk kelompok pekerja. Mereka pun tidak tahu bagaimana caranya mengajukan permohonan bansos itu. ”Kami tidak tahu ada bansos untuk pekerja. Kalau memang ada, bisa juga untuk membantu membeli bahan pokok,” kata Mujiono.
Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting mengatakan, pihaknya akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah pusat. Baskami meminta agar unjuk rasa dilakukan dengan damai.
Sopir angkutan
Sopir angkutan umum di Medan juga mengeluhkan kenaikan harga BBM yang belum diikuti dengan penyesuaian tarif. ”Kami berharap Pemkot Medan segera melakukan penyesuaian. Kalau terlalu lama, kami bisa tekor terus,” kata Mulyadi Ginting (35), sopir angkot di Medan.
Sejumlah sopir angkot sudah mulai menyesuaikan tarif berdasarkan keputusan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Medan. Namun, mereka tidak bisa memaksa ke penumpang karena belum ada keputusan resmi dari pemerintah.