Wujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Desa Tanpa Pendekatan Proyek
Pemerintah berupaya mewujudkan perekonomian berkelanjutan tingkat desa dengan memberikan berbagai bantuan agar desa bisa mandiri, salah satunya demplot peternakan terpadu dan berkelanjutan di Kabupaten Kapuas.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Desa dengan konsep ekonomi berkelanjutan mampu menangani inflasi dan krisis pangan nasional. Hal itu dapat terwujud jika konsep pembangunan desa tidak menggunakan pendekatan proyek.
Hal itu disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar di sela-sela pemberian bantuan demplot peternakan berkelanjutan ke Desa Rawa Subur C3, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Jumat (2/9/2022) pagi. Abdul Halim didampingi Bupati Kapuas Ben Brahim dan anggota DPD asal Kalteng, Habib Ismail.
Dalam sambutannya, Abdul Halim mengungkapkan, peternakan terpadu dan berkelanjutan yang dibangun pemerintah pusat tersebut meliputi lahan peternakan sapi, lahan pakan atau rumput yang dilengkapi dengan tempat penjualan daging potong, mesin biogas, tempat pembuatan pupuk padat, pupuk cair, bio urine, serta segala jenis pakan. Semuanya itu dimanfaatkan dan dikelola oleh badan usaha milik desa (BUMDes).
Keuntungan dalam pengelolaan demplot peternakan itu, kata Abdul Halim, dimanfaatkan oleh masyarakat di desa melalui BUMDes. Dalam demplot peternakan, meski demplot itu diutamakan peternakan sapi, hasilnya bisa untuk komoditas lainnya. Pupuk bisa digunakan untuk mendukung pertanian, pakan yang dihasilkan bisa untuk tiga komoditas, yakni sapi, domba atau kambing, juga perikanan.
Pada tahun pertama, BUMDes mengelola modal untuk pengadaan aset seperti lahan, bangunan, mesin, hingga pembibitan. Di tahun itu, pemerintah memperkirakan sudah bisa mendapatkan pendapatan sebesar Rp 1,55 miliar. Keuntungan baru bisa dirasakan di tahun kedua dengan perkiraan keuntungan stabil lebih kurang Rp 800 juta dari pengelolaan demplot peternakan berkelanjutan.
”Ini mewujudkan food estate level desa karena didasari oleh pembangunan berkelanjutan,” kata Abdul Halim.
Abdul Halim menjelaskan, saat ini untuk menangani inflasi daerah dan nasional juga krisis pangan harus dimulai dari desa. Hal itu bisa dilakukan selama desa menjaga program berkelanjutan dan mandiri.
”Duit itu harus berputar di desa, mulai dari hulu sampai hilirnya harus berputar di desa. Ini adalah paradigma pembangunan berkelanjutan tanpa pendekatan proyek,” kata Abdul Halim.
Abdul Halim menambahkan, selama ini pendekatan proyek dinilai kurang efektif lantaran membuat masyarakat di desa bergantung pada anggaran proyek tersebut. Setelah anggaran selesai, proyek tidak berlanjut.
”Bicara kemiskinan, pendidikan, hingga busung lapar itu persoalan yang tidak akan selesai, makanya tidak bisa menggunakan pendekatan proyek, harus didasari pembangunan berkelanjutan,” ungkap Abdul Halim.
Dalam Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 97 Tahun 2022 tentang Pengendalian Inflasi dan Mitigasi Dampak Inflasi Daerah pada Tingkat Desa, pemerintah fokus pada sirkulasi produk pangan dan energi antara desa untuk menjaga harga barang di desa tetap rendah, terutama komoditas pangan dan energi.
”Dana desa harus bisa dimanfaatkan untuk itu,” ujar Abdul Halim.
Saat ini pemerintah telah menyalurkan dana desa sekitar Rp 48, 287 triliun (71,01 persen) ke 74.721 desa (99 persen desa). Sebanyak Rp 8, 063 trilin (17 persen dari dana desa yang sudah cair) dimanfaatkan untuk ketahanan pangan desa, seperti permodalan kelompok wanita tani, produksi pangan dari sorgum sampai hortikultura, pupuk alami, permodalan BUMDes unit usaha pangan, fasilitas lumbung desa, hingga perbaikan irigasi kecil di desa-desa (tahun ini sudah ada kegiatan 1.324 unit).
Dana desa juga telah digunakan desa untuk membantu angkutan barang dan orang agar ongkosnya lebih terjangkau di desa.
Melihat hal itu, Bupati Kapuas Ben Brahim mengungkapkan apresiasi terhadap upaya pemerintah menanggulangi inflasi daerah. Menurut dia, Kapuas menjadi contoh dan lokasi yang tepat sebagai percontohan karena selama ini merupakan lumbung pangan Kalimantan Tengah karena produksi padi yang cukup tinggi. Ia berharap program ini dapat berjalan dan membantu perekonomian masyarakat.
”Ini bisa menjadi contoh daerah lain di Kalteng bahkan di Indonesia,” kata Ben.