Nelayan Sulawesi Utara Khawatirkan Pembatasan Area Tangkap karena Zona Industri
Asosiasi nelayan di Sulawesi Utara menyatakan sama sekali belum memahami kebijakan perikanan terukur yang diwacanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka khawatir wilayah tangkapan akan berkurang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Asosiasi nelayan di Sulawesi Utara menyatakan sama sekali belum memahami kebijakan perikanan terukur yang diwacanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagian nelayan lokal telah membentuk koperasi dan berpeluang masuk ke zona industri, tetapi persaingan diperkirakan akan sangat timpang.
Dihubungi dari Manado, Jumat (2/9/2022), Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan (Hipken) Bitung Djefri Sagune mengaku belum mengetahui banyak tentang penangkapan ikan terukur. Padahal, kebijakan itu nantinya akan berpengaruh pada ratusan anggotanya yang beraktivitas di Laut Sulawesi atau Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 yang akan dijadikan zona industri.
”Anggota kami ada 400-an dengan kapal di bawah 30 GT (gros ton). Kalau umpamanya pemerintah mau mengurangi wilayah operasional nelayan kecil (karena diberikan ke perusahaan pemilik kuota industri), itu tidak bisa karena artinya membatasi nelayan lokal,” kata Djefri.
Ketika mengetahui nelayan lokal bisa mendapatkan kuota industri melalui koperasi, Djefri menyatakan Hipken siap. Sejak 2015, organisasi tersebut telah membentuk Koperasi Sumber Nelayan. Para nelayan pun sudah terbiasa berlayar lebih jauh dari 12 mil laut.
Namun, ia menyatakan kapal nelayan kecil tidak akan bisa bersaing dengan kapal-kapal perikanan besar berbobot di atas 30 GT yang nantinya akan mengisi zona industri. ”Kalau dipaksakan bersaing, seumpama ombak besar, kapal nelayan kecil tidak akan bisa melaut,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulut Ben Awoah mengatakan, organisasinya belum membahas sama sekali teknis kebijakan tersebut. Belum ada sosialisasi yang digelar pemerintah sehingga ia tak bisa berkomentar banyak.
Namun, jika pemerintah akan memberikan sebagian laut kepada pengusaha-pengusaha besar selama 15 tahun dengan basis kuota, Ben mendorong pemerintah untuk memperkuat pula nelayan kecil. Menurut dia, hasil tangkapan para nelayan tak cukup untuk dijadikan modal memperbarui alat tangkap. Kredit perbankan pun sulit didapat.
”Memang ada KUR (kredit usaha rakyat) di bawah Rp 50 juta, tetapi harus ada agunan. Ada juga dana bergulir dari pemerintah untuk nelayan kalangan menengah atas, tetapi mekanismenya agak sulit dipenuhi para nelayan yang meminati kredit. Justru nelayan dengan kapal di atas 60 GT bisa dapat kredit itu,” keluh Ben.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan Sulut Budi Wahono mengatakan, penangkapan ikan terukur memiliki dampak positif. Negara bisa mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Skema ini lebih adil bagi nelayan mengingat sebelumnya PNBP dipungut praproduksi berdasarkan perkiraan tangkapan.
Memang ada KUR di bawah Rp 50 juta, tetapi harus ada agunan.
Namun, sosialisasi yang tidak meluas membuat nelayan dan pengusaha pengolahan ikan tidak bisa mempersiapkan diri. Saat ini, uji coba kebijakan ini hanya diterapkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual (Maluku), Ternate (Maluku Utara), dan Kejawanan (Cirebon, Jawa Barat).
”Nantinya, nelayan dengan kapal 6-30 GT harus migrasi izin untuk zona industri, harus izin ke pusat. Apakah pelayanannya sudah siap? Jangan sampai sudah musim ikan, tetapi izinnya tidak cepat keluar sehingga nelayan kehilangan momentum,” kata Budi.
Ia juga menyoroti sulitnya persaingan koperasi nelayan lokal dengan perusahaan besar di zona industri. Kuota 100.000 ton per tahun yang diwacanakan diperkirakan terlalu berat bagi koperasi nelayan.
”Kuota 100.000 ton per tahun ini juga siapa yang bisa mempertanggungjawabkan? Kalau ternyata koperasi atau perusahaan sudah bayar kuota, kemudian tangkapannya tidak sampai segitu, siapa yang mau mengganti kerugiannya? Perlu diingat, ikan ini kan sumber daya yang bergerak, bisa berkurang karena predasi, kena penyakit, atau migrasi,” kata Budi.
Di samping itu, kebijakan ini juga rawan menimbulkan konflik. Menurut Budi, pemilik CV Samudera Pangan Indonesia yang bermitra dengan puluhan nelayan kecil, pemerintah harus memastikan mereka tetap bisa mengambil ikan di lokasi yang kuotanya diberikan kepada perusahaan. ”Mereka sudah terbiasa berlayar cari ikan sampai 40 mil laut,” katanya.
Sementara itu, koordinator Destructive Fishing Watch (DFW), M Abdi Suhufan, meminta pemerintah memperjelas aturan pendaratan ikan. Di Bitung, misalnya, unit dan pabrik pengolahan ikan biasanya memiliki pelabuhan pendaratan sendiri. Hal ini rawan menyebabkan hasil tangkapan tidak dilaporkan seluruhnya.
”Kalau mau dipindahkan semua ke pelabuhan samudera, perlu beberapa persiapan kelayakan pelabuhan, timbangan, dan sistem pencatatan yang baik. Kalau mau tetap di pelabuhan masing-masing pabrik, artinya pelabuhan hanya pasif menerima data dari perusahaan. Ini rawan underreported,” kata Abdi.
Abdi juga meminta pemerintah memastikan daya dukung lingkungan di zona industri. ”Kalau ada penambahan kapal, apakah KKP bisa memastikan itu tidak menyebabkan tekanan pada sumber daya perikanan di sana?” katanya.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulut telah dihubungi untuk dimintai pernyataan tentang persiapan penerapan kebijakan perikanan terukur di Sulut, tetapi hingga Sabtu (3/9/2022) siang tidak merespons. Kepala DKP Sulut Tienneke Adam meminta Kompas menghubungi Kepala Bidang Perikanan Tangkap Jesta Saruan, tetapi Jesta tidak merespons.