Warga Tak Ingin Bencana Berulang akibat Aktivitas Tambang di Sungai Malinau
Jebolnya tanggul milik perusahaan batubara di Sungai Malinau menyebabkan banjir yang merusak kebun warga dan sejumlah rumah. Kejadian yang kesekian kalinya ini perlu penyelesaian menyeluruh.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Masyarakat meminta pemerintah memproses hukum kasus jebolnya tanggul limbah perusahaan tambang yang berulang ke Sungai Malinau di Kalimantan Utara. Selama ini, pemerintah hanya memberi sanksi pemberhentian sementara, begitu juga dengan kejadian terakhir pada pertengahan Agustus lalu. Warga butuh jaminan agar tak terjadi lagi bencana akibat pertambangan yang merugikan masyarakat.
Pada 14 Agustus 2022, tanggul milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) yang beroperasi di Kabupaten Malinau dikabarkan jebol. Kejadian sekitar pukul 05.00 Wita itu membuat Sungai Maliau menjadi keruh. Tak hanya itu, air limpasan itu sampai naik ke daratan. Akibatnya, sejumlah rumah dan kebun warga rusak terkena empasan air.
”Ada sekitar 40 keluarga yang kebun dan rumahnya terdampak,” ujar warga terdampak, Nuralis (43) yang tinggal di Desa Tanjung Nanga, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, saat dihubungi, Rabu (31/8/2022).
Kejadian ini adalah yang kesekian kalinya. Sejauh ingatan Nuralis, pencemaran dan bencana yang terjadi akibat aktivitas tambang di sekitar Sungai Malinau sudah terjadi sejak 2010. Hal itu kembali terjadi pada 2011, 2017, dan 2021. Kejadian tahun ini adalah yang terparah lantaran puluhan hektar kebun, sawah, dan rumah warga turut rusak karena banjir yang diakibatkan jebolnya tanggul penampung limbah.
”Padahal ndak ada hujan waktu kejadian,” kata Nuralis.
Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltara, ribuan warga tak bisa mengakses air bersih dalam beberapa hari. Sebab, Sungai Malinau menjadi sumber air bagi PDAM Malina. Adapun daerah yang tak bisa mengakses air PDAM adalah Kecamatan Malinau Barat, Desa Malinau Hulu, Tanjung Keranjang, Malinau Hilir, dan Pelita Kanan.
Andry Usman dari Jatam Kaltara menyebutkan, jika kejadian ini tidak ditindak tegas, masyarakat yang bakal terus terkena dampaknya. Menurut dia, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu mengusut tuntas kejadian ini. Menurut Andry, kejadian berulang ini bisa terjadi lantaran kegiatan pertambangan yang berjalan tak memastikan segala unsur keamanan.
Menurut dia, kejadian berulang itu melanggar Pasal 96 UU No 3 Tahun 2022 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada kejadian sebelumnya, PT KPUC sudah diberi sanksi administratif berupa penghentian sementara. Itu sesuai dengan Pasal 151 UU No 3/2020. Di dalam pasal itu, menteri berhak memberi sanksi berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara, dan pencabutan izin.
”Poin penghentian sementara ini sudah dilakukan berulang-ulang. Tapi kejadian juga terus berulang sehingga permasalahan lingkungan tak ada hentinya dan warga dirugikan. Pemerintah harus tegas supaya ini jadi pembelajaran bagi perusahaan lain di Kaltara,” ujar Andry.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Malinau Ernes Silvanus mengatakan, setelah jebolnya tanggul milik PT KPUC, Bupati Malinau menghentikan sementara kegiatan perusahaan itu selama tujuh hari. Adapun untuk sanksi dan konsekuensi hukum atas kejadian itu, ia tak bisa bicara banyak karena menjadi ranah Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kepolisian.
Untuk menanggulangi dampak yang dialami warga, Pemerintah Kabupaten Malinau sudah membentuk tim terpadu guna mendata dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan dampak lain akibat kejadian tersebut. Tim itu terdiri dari Pemerintah Kabupaten Malinau dan perusahaan. Pihak perusahaan berjanji akan mengganti kerugian yang dialami warga.
”Pendataan mulai dari hulu sungai. Tim sudah terbentuk dan mulai bergerak,” katanya.
Kompas mencoba mengonfirmasi Sofian selaku Humas PT KPUC. Namun, hingga pukul 19.00 Wita, pesan dan telepon Kompas tak dijawab.