Pengusaha Penyeberangan Meminta Angkutan Umum dan Penyeberangan Dikecualikan dari Kenaikan Harga BBM
Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi diyakini kian mengancam eksistensi angkutan penyeberangan yang berfungsi amat strategis dan menjadi andalan masyarakat kepulauan dengan ekonomi lemah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah diminta membatalkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, terutama solar. Kenaikan harga solar diyakini mengancam keberlangsungan layanan angkutan umum, termasuk penyeberangan (laut). Harga solar tidak perlu naik tetapi konsumsi terbatas untuk layanan angkutan umum.
Demikian diutarakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (31/8/2022). ”Kami menolak keras rencana kenaikan BBM bersubsidi oleh pemerintah,” katanya.
Khoiri mengklaim, tanpa kenaikan harga solar, BBM yang digunakan oleh mayoritas moda angkutan penyeberangan, keberlangsungan usaha ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Tarif masih di bawah penghitungan harga pokok produksi (HPP) dengan defisit 35,1 persen.
Khoiri melanjutkan, terakhir kali penyesuaian tarif diakomodasi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan. Untuk penetapan tarif itu, diklaim sampai rapat 48 kali dengan keterlibatan banyak pihak demi kepentingan masyarakat. Dari sana, tarif seharusnya naik 45,1 persen dibandingkan dengan sebelumnya tetapi pemerintah hanya menetapkan kenaikan 10 persen.
”Kami punya piutang perhitungan tarif penyeberangan sebesar 35,1 persen,” ujar Khoiri. Piutang itu belum diakomodasi regulator (pemerintah). Dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, sepatutnya pemerintah segera menetapkan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan. Jika tidak, operator atau perusahaan diklaim kian bertumbangan.
Ketua Bidang Usaha dan Tarif Gapasdap Rahmatika Ardianto menambahkan, BBM merupakan komponen terbesar dalam operasional angkutan penyeberangan, yaitu lebih dari 50 persen. Selain itu, suku cadang dan baja yang terkonversi dalam valuta asing di mana rupiah masih lemah terhadap dollar AS. Jasa perawatan dan upah tenaga kerja juga terus naik seiring inflasi dan perubahan setiap tahun.
”Kalau BBM bersubsidi dinaikkan, berapa tarif yang harus dikenakan kepada masyarakat yang daya belinya terus merosot?” kata Rahmatika.
Untuk itu, lebih baik pemerintah tidak mengambil opsi kenaikan harga BBM bersubsidi, tetapi membatasi distribusinya cuma untuk angkutan umum. Gapasdap berpandangan, pembatasan itu berlaku untuk segmen pasar angkutan penyeberangan, terutama masyarakat ekonomi lemah atau dengan daya beli terbatas. Selain itu, perusahaan logistik yang menjamin ketersediaan barang terutama kebutuhan pokok rakyat.
Angkutan penyeberangan juga berfungsi amat strategis karena menjadi ”prasarana” penghubung antarpulau. Tanpa moda ini, lalu lintas barang dan jasa di Indonesia yang negara kepulauan akan terganggu. Fungsi strategis sebagai prasarana, lanjut Khoiri, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi dalam angkutan penyeberangan diemban oleh operator atau swasta.
Khoiri melanjutkan, sebagai fungsi infrastruktur dan angkutan super massal, sepatutnya subsidi BBM lebih besar diarahkan ke angkutan penyeberangan. ”Apalagi jargon Presiden Joko Widodo selalu pembangunan sektor maritim,” ujarnya.
Namun, saat ini, kuota solar untuk angkutan penyeberangan cuma 1,36 persen dari konsumsi nasional. Artinya, mayoritas konsumsi solar oleh masyarakat melalui mobil pribadi. Inilah yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, subsidi BBM tidak tepat sasaran karena kebanyakan dinikmati oleh kalangan rakyat ekonomi mampu.
Fokus angkutan umum
Secara terpisah, Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengatakan, berdasarkan catatan pemerintah, konsumsi BBM bersubsidi ialah mobil 53 persen, sepeda motor 40 persen, truk 4 persen, dan angkutan umum 3 persen. “Pilihan terbaik dengan subsidi transportasi umum,” katanya.
Rencana kenaikan harga BBM, lanjut Djoko, menjadi masuk akal jika paradigma yang berkembang ialah dalam 10 tahun ke depan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) akan terus bertambah. Di sisi lain, angkutan umum, tanpa kebijakan yang berpihak dan komprehensif, malah kian mendekati kepunahan.
Djoko melanjutkan, sebaiknya pemerintah juga fokus menata dan mengembangkan angkutan umum. Tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, penyaluran kepada operator angkutan umum amat dimungkinkan. Saat ini, pengawasan penyaluran BBM bersubsidi untuk angkutan umum bisa melalui aplikasi yang ditunjang dengan penataan operator. ”Bisa menjadi momentum untuk penataan angkutan umum sehingga seluruhnya berbadan hukum dan menjamin keselamatan dan keamanan pengguna,” ujarnya.