Musim Politik Tiba, Pemuda Aceh Dilatih Tangkal Berita Bohong
Berkaca pada Pilpres 2019, warga terbelah karena kepentingan politik. Kubu yang bertarung pada pilpres saling menyerang dengan menyebar hoaks. Warga di luar tim kandidat menjadi sasaran penyebaran hoaks.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Memasuki musim politik, kemunculan hoaks atau berita bohong harus diwaspadai karena dapat menurunkan kualitas demokrasi. Anak muda sebagai kaum terpelajar diharapkan dapat menjadi juru tangkal hoaks.
Sebanyak 40 anak muda di Banda Aceh dari kalangan mahasiswa, difabel, jurnalis pemula, dan perempuan dilatih mengenali hoaks. Pelatihan digelar oleh Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh didukung The Asia Foundation dan Australian Government, Selasa-Rabu (30-31/8/2022).
Iwan Bahagia, pembicara sertifikasi Google News Initiative, menuturkan, pada musim pemilu, baik pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden, hoaks akan kian banyak bermunculan. Konten-konten hoaks sebagian sengaja diproduksi untuk menyerang tokoh atau pihak yang menjadi lawan politik.
Berkaca pada Pilpres 2019, warga terbelah karena kepentingan politik. Kubu yang bertarung pada pilpres saling menyerang dengan menyebar hoaks. Warga di luar tim kandidat menjadi sasaran penyebaran hoaks.
”Beberapa orang harus berurusan dengan hukum diancam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena ikut menyebar dan membuat informasi hoaks,” kata Iwan.
Iwan menambahkan, warga Indonesia mudah percaya hoaks karena tingkat literasi digital masih rendah, sementara pengguna internet tinggi. Tidak sedikit warga menjadikan media sosial seperti grup Whatsapp, Facebook, dan Youtube sebagai sumber informasi. Padahal informasi di media sosial perlu diverifikasi kebenarannya. ”Media mainstream masih dipercaya. Namun, warga lebih banyak mengakses informasi dari media sosial,” ujar Iwan.
Iwan mengatakan, untuk mengetahui kebenaran informasi, harus dilakukan verifikasi ke sumber tepercaya, seperti media mainstream yang telah terverifikasi Dewan Pers. Selain itu, warga harus kritis terhadap informasi yang diperoleh.
”Jika informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, jangan dibagikan,” kata Iwan.
Dia berharap para anak muda yang melek teknologi harus lebih bijak mengonsumsi informasi di media sosial. ”Tingkatkan budaya literasi, membaca, dan bersikap kritis terhadap informasi. Uji kebenaran informasi sebelum diputuskan untuk percaya,” ujar Iwan.
Koordinator kegiatan Raudhatul mengatakan, belajar dari Pemilu 2019, penyebaran hoaks di Aceh masif sehingga menimbulkan banyak perpecahan di masyarakat. Menurut Raudhatul, hoaks membuat demokrasi di Aceh melemah.
”Hoaks juga mengancam generasi muda di Aceh. Kelemahan literasi membuat mereka mudah terpapar paham radikal,” kata Raudhatul.
Raudhatul mengatakan, para peserta diberikan pemahaman tentang mis dan disinformasi yang beredar di media sosial. ”Kami berharap mereka akan menjadi aktor melawan hoaks di komunitas masing-masing,” kata Raudhatul.
Program Officer Democracy Resilience di The Asia Foundation, Ade Siti Barokah, mengatakan, di tengah banjirnya hoaks, maka butuh keberanian untuk menyampaikan informasi yang benar.
”Pelatihan ini penting untuk menangkal penyebaran hoaks di tengah masyarakat Aceh,” kata Ade. Selain Aceh, program serupa digelar di Jakarta, Maluku, dan Yogyakarta.