Jateng Tunggu Petunjuk Teknis Tiga Bantalan Sosial dari Pusat
Pemerintah menyiapkan tiga skema bantalan sosial untuk mengatasi dampak kenaikan bahan bakar. Sementara itu, masyarakat masih berharap harga BBM tidak naik.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah pusat mewacanakan penyaluran bantalan sosial kepada masyarakat untuk menjaga daya beli seiring dengan wacana kenaikan harga bahan bakar. Pemerintah Provinsi Jateng siap berkontribusi sambil menunggu petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut ketiga jenis bantalan sosial, meliputi bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah, dan bantuan dari dana transfer umum. BLT akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat dengan cara dibayarkan dua kali oleh Kementerian Sosial mulai pekan depan.
Sementara itu, bantuan subsidi upah sebanyak satu kali sebesar Rp 600.000 per orang akan diberikan kepada 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan. Selain itu, pemerintah pusat juga telah meminta pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum (DTU) guna membantu sektor transportasi, seperti angkutan umum, ojek, dan nelayan, serta memberikan perlindungan sosial tambahan (Kompas, 30/8/2022).
Sekretaris Daerah Jateng Sumarno menyebutkan, Pemerintah Provinsi Jateng siap mengalokasikan sebagian dari DTU untuk bantalan sosial. Kendati demikian, Sumarno masih belum mengetahui skema penyaluran bantalan sosialnya seperti apa. Sementara ini, pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
”Kami butuh petunjuk dari (pemerintah) pusat dulu, baru melangkah lebih lanjut. Jangan sampai pemberian bantuannya tumpang tindih atau malah tidak tepat sasaran,” kata Sumarno di Semarang, Selasa (30/8/2022).
Sembari menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat, Pemprov Jateng akan mendata masyarakat menengah ke bawah yang menjadi sasaran penyaluran bantuan di wilayahnya. Selain itu, Pemprov Jateng juga akan mengimbau masyarakat memanfaatkan transportasi umum untuk menghemat penggunaan bahan bakar.
Sementara itu, sebagian masyarakat meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan harga bahan bakar. Bagi para pengojek, misalnya, kenaikan harga bahan bakar disebut akan membuat pendapatan mereka semakin minim.
”Harga BBM tidak naik saja pendapatan sudah minim, apalagi kalau sampai naik? Bisa-bisa saya tidak makan,” kata Wawan (27), pengojek daring asal Kabupaten Semarang, Jateng.
Setiap hari, Wawan mendapatkan uang sebesar Rp 100.000 dari hasil mengojek. Uang itu dipakai untuk membeli bahan bakar sebesar Rp 35.000 dan makan sebesar Rp 15.000. Sisanya, sebesar Rp 50.000 digunakan untuk memenuhi kebutuhan istri dan dua anaknya.
Jika kenaikan harga bahan bakar tetap terjadi, Wawan hanya bisa pasrah. Meskipun demikian, ia juga menyiapkan siasat, salah satunya mengubah cara pencarian penumpang. Biasanya, Wawan berpindah-pindah tempat supaya bisa kesempatannya mendapatkan penumpang lebih tinggi. Ke depan, dia akan memilih mengetem di satu tempat untuk menghemat penggunaan bahan bakar.
Ridwan (40), sopir angkutan umum trayek Tegal-Pemalang juga keberatan dengan rencana kenaikan harga bahan bakar. Rencana pemerintah menggelontorkan bantalan sosial juga dinilai Ridwan bukan solusi yang terbaik.
”Daripada untuk menyalurkan bantuan, uangnya mending dipakai supaya harga bahan bakar tidak naik. Bantuan itu kan cuma untuk beberapa bulan saja, tetapi kenaikan harga ini kan (berlaku) seterusnya. Setelahenggak dapat bantuan, mau bagaimana?” ujar Ridwan.
Kenaikan harga bahan bakar dikhawatirkan turut menyebabkan kenaikan harga pangan dan berpotensi memicu peningkatan angka inflasi. Berdasarkan perkiraan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Jateng, wilayah tersebut berpotensi mengalami inflasi sebesar 5-6 persen setelah adanya kenaikan harga bahan bakar. Pada Agustus, inflasi di Jateng sebesar 5,4 persen, dipicu kenaikan harga cabai dan bawang merah.
Menurut Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jateng M Firdauz Muttaqin, TPID Jateng bisa melakukan intervensi untuk menekan inflasi akibat kenaikan harga bahan pangan. Caranya dengan mengirim produk pangan dari daerah yang surplus untuk daerah yang kekurangan.
”Selain itu, TPID juga melakukan melakukan operasi pasar di wilayah-wilayah penyumbang inflasi, seperti Semarang, Sukrakarta, Tegal, Banyumas, dan Cilacap. Sejauh ini, operasi pasar berhasil mengendalikan harga pangan di Jateng,” tutur Firdauz.