Bernostalgia dengan Pelantang Lawasan di Bentara Budaya Yogyakarta
Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran perangkat audio lawasan bertajuk ”Pelantang” pada 26-31 Agustus 2022. Dalam pameran ini, pengunjung diajak bernostalgia dengan aneka pelantang atau alat pengeras suara lawasan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran perangkat audio lawasan bertajuk ”Pelantang” pada 26-31 Agustus 2022. Dalam pameran ini, para pengunjung diajak bernostalgia dengan aneka jenis pelantang atau alat pengeras suara lawasan yang saat ini sudah jarang ditemui. Sebagian besar pelantang itu berusia puluhan tahun, tetapi ada juga yang umurnya lebih dari 100 tahun.
Pembukaan pameran ”Pelantang” dilakukan pada Jumat (26/8/2022) malam di Bentara Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta. Penyelenggaraan pameran tersebut merupakan rangkaian acara untuk menyambut perayaan 40 tahun Bentara Budaya pada 26 September 2022.
”Pameran ini menampilkan pelantang atau alat pengeras suara yang dipakai zaman dulu,” kata kurator Bentara Budaya Yogyakarta, Hermanu, saat ditemui sebelum pembukaan pameran.
Hermanu menuturkan, sejak zaman dulu manusia sudah menggunakan pelantang dalam berbagai aktivitas. Dia mencontohkan, koran Bentara Hindia edisi 5 Desember 1912 memuat ilustrasi bergambar seorang utusan raja yang sedang menunggang kuda sambil menyampaikan pengumuman melalui pelantang berbentuk corong.
Menurut Hermanu, sebelum ada listrik, pelantang yang digunakan adalah pelantang manual yang terbuat dari logam dan berbentuk menyerupai corong. Pelantang manual seperti itu pula yang digunakan untuk azan di masjid-masjid di daerah pelosok sebelum sambungan listrik masuk.
Selain untuk azan di masjid, pelantang tersebut juga digunakan untuk mengumpulkan orang di pasar, dipakai oleh komentator dalam pertandingan olahraga, serta digunakan dalam kegiatan pramuka zaman dulu.
Salah satu pelantang manual berbentuk corong itu ikut dipamerkan dalam pameran ”Pelantang” di Bentara Budaya Yogyakarta. Pelantang manual berwarna biru yang dulu dipakai untuk azan di masjid itu disebut berasal dari daerah Cepu, Jawa Tengah.
”Pelantang seperti itu memiliki nama berbeda di setiap daerah, misalnya wadah kondo di Yogyakarta; banteran di wilayah Batu, Jawa Timur; corong sworo di Surakarta, Jawa Tengah; dan di perdesaan di Jawa disebut corong congor,” ucap Hermanu.
Hermanu memaparkan, pelantang juga digunakan dalam gramofon atau alat pemutar piringan hitam. Dalam pameran tersebut, ikut ditampilkan sejumlah gramofon tua yang belum menggunakan listrik untuk memutar piringan hitam.
Salah satu gramofon tua yang ditampilkan adalah gramofon kabinet buatan Amerika Serikat. Gramofon itu disebut buatan tahun 1915 sehingga usianya saat ini sekitar 107 tahun. Selain itu, ada beberapa gramofon tua yang ikut ditampilkan, misalnya gramofon corong buatan Inggris tahun 1925.
Sebelum ada listrik, pelantang yang digunakan adalah pelantang manual yang terbuat dari logam dan berbentuk menyerupai corong.
Pameran ”Pelantang” juga menampilkan radio-radio lawas yang jarang kita lihat sekarang. Hermanu menyebut, pada masa lalu, radio hanya dilengkapi speaker atau pelantang berukuran kecil. Agar suara yang dihasilkan lebih besar, radio tersebut biasanya dilengkapi dengan lemari atau kabinet.
Dalam pameran ini, pengunjung bisa melihat radio tua merek Philips buatan tahun 1930. Berbeda dengan radio masa kini yang ukurannya kecil, radio buatan Belanda itu memiliki ukuran besar karena dilengkapi lemari tempat pelantang. Menurut Hermanu, radio tersebut kerap disebut sebagai radio jenis katedral karena bentuknya yang menyerupai bangunan gereja.
Pameran ini juga menampilkan pelantang yang dipasang di dalam klenting atau gentong yang sebenarnya merupakan tempat penyimpanan air. Hermanu menyebut, modifikasi pelantang itu dilakukan oleh warga perdesaan zaman dulu agar suara yang dihasilkan oleh pelantang menjadi makin lantang.
”Zaman dulu itu kadang ada orang-orang desa yang meletakkan speaker di gentong supaya suaranya makin keras. Gentong itu menjadi penghantar suara saja sebenarnya,” ujar Hermanu.
Warisan budaya
Aneka pelantang dan perangkat audio yang ditampilkan dalam pameran ”Pelantang” di Bentara Budaya Yogyakarta adalah milik anggota komunitas Padmaditya yang merupakan komunitas pencinta audio lawasan.
Ketua Padmaditya Didi Sumarsidi (72) mengatakan, anggota komunitas tersebut memang mengoleksi berbagai perangkat audio zaman dulu, misalnya berupa gramofon, radio, kotak musik, dan pelantang. “Kami ini memang menyukai barang-barang lama,” ujarnya.
Menurut Didi, perangkat audio lawasan itu merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, perangkat-perangkat audio dari zaman dulu tersebut perlu dipelihara agar tidak hilang. Selain itu, perangkat audio lawasan juga memiliki bentuk yang sangat artistik.
”Barang-barang itu kan artistik dan dibuat dengan imajinasi yang dicampur dengan teknologi saat itu,” kata Didi.
Didi menyebut, meski usianya sudah tua, sebagian besar alat audio lawasan yang dikoleksi anggota Padmaditya masih bisa berfungsi. Apalagi, ada anggota Padmaditya yang bisa memperbaiki perangkat audio lama.
“Kami berusaha sekeras mungkin untuk memfungsikan alat-alat itu. Kalau tidak bisa, ya, sudahlah untuk pajangan karena barang-barang itu, kan, artistik. Tapi, koleksi kami hampir tidak ada yang tidak berfungsi,“ ucap Didi.
Anggota Padmaditya, Iwan Ganjar Indrawan (55), mengatakan, sebagian perangkat audio lawasan itu memiliki harga yang sangat mahal. Dia mencontohkan, harga kotak musik buatan tahun 1890-an bisa mencapai Rp 100 juta.
Salah seorang pengunjung pameran ”Pelantang”, Nai Rinaket (28), mengaku sangat tertarik dengan perangkat-perangkat audio lawasan yang ditampilkan dalam pameran tersebut. Dia menyebut, bentuk perangkat-perangkat audio lama itu sangat berbeda dengan perangkat audio masa kini.
”Saya ingin tahu bagaimana cara kerja benda-benda ini. Beda banget, ya, bentuknya dengan alat-alat sekarang. Ukuran pelantang-pelantang di pameran ini benar-benar tidak biasa bagi saya dan punya kecantikan yang mengesankan dibandingkan dengan speaker-speaker sekarang,” ujar Nai.