Eks Pejabat Perum Perhutani Jadi Tersangka Dugaan Kegiatan Fiktif
Kejaksaan Negeri Sragen, Jawa Tengah, menahan seorang eks pejabat dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta. Bekas pejabat itu diduga melakukan korupsi dengan membuat kegiatan fiktif.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Sragen, Jawa Tengah, menahan seorang eks pejabat dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Surakarta. Mantan pejabat itu diduga melakukan korupsi dengan membuat kegiatan fiktif sehingga merugikan negara hingga ratusan juta rupiah.
Penahanan dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen sejak Kamis (25/8/2022). Pejabat berinisial YCA (40) itu pernah menjabat sebagai Junior Manajer Bisnis dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Surakarta. Menurut rencana, penahanan berlangsung selama 20 hari ke depan, bergantung dari hasil pemeriksaan para penyidik.
”Kami telah menetapkan YCA sebagai tersangka dalam perkara dugaan penyalahgunaan dana milik Perum Perhutani. Alasan penahanannya, dikhawatirkan tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sragen Agung Riyadi saat ditemui di kantornya, Kamis sore.
Dugaan tindak korupsi tersebut dilakukan oleh YCA di wilayah kerja Perum Perhutani di Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Modus korupsi itu berupa pembuatan kegiatan fiktif. Meski kegiatannya fiktif, anggaran untuk kegiatan tersebut tetap cair dan laporan pertanggungjawaban juga dibuat. Tindakan itu berlangsung sejak tahun 2017 hingga 2020.
”Intinya, ada kegiatan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada kegiatan fiktif, tetapi ada laporan pertanggungjawabannya. Ini semacam memalsukan laporan pertanggungjawaban,” kata Agung.
Agung mengatakan belum bisa memastikan jumlah kerugian negara dalam kasus tersebut. Hingga saat ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jawa Tengah masih melakukan penghitungan kerugian negara. Namun, diperkirakan kerugian negara dalam kasus tersebut lebih dari Rp 100 juta.
Agung menambahkan, penyidikan kasus ini masih terus berlanjut. Sudah ada sejumlah saksi yang dimintai keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi itu. Selain itu, jumlah tersangka dalam kasus ini juga dimungkinkan bakal bertambah.
Dugaan tindak korupsi tersebut dilakukan oleh YCA di wilayah kerja Perum Perhutani di Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Namun, Agung enggan menjelaskan secara detail materi perkara itu mengingat fakta-fakta penguat masih terus dikumpulkan. Hal itu sekaligus menghargai asas praduga tak bersalah dalam pengusutan kasus ini.
”Pemeriksaan masih berlangsung. Tidak menutup kemungkinan ada tersangka lainnya. Saksinya sudah banyak sekali,” kata Agung.
Dihubungi terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyampaikan, korupsi bermodus kegiatan fiktif termasuk yang paling sering ditemukan. Kasus semacam itu dapat digolongkan sebagai korupsi anggaran.
Menurut Zaenur, kasus korupsi bermodus kegiatan fiktif itu biasanya ditemukan di lembaga-lembaga yang memiliki perwakilan di daerah. Hal itu pula yang terjadi dalam kasus korupsi di Perum Perhutani KPH Surakarta ini.
Menurut Zaenur, praktik korupsi semacam itu biasanya terjadi karena lemahnya sistem pengawasan. Hal ini karena praktik korupsi anggaran tersebut biasanya melibatkan banyak pihak. Sebab, ada proses persetujuan berlapis yang harus ditempuh sebelum anggaran bisa dicairkan.
”Mulai dari pembuatan proposal ada persetujuannya. Begitu juga pada pelaksanaan kegiatan hingga laporan pertanggung jawaban. Ini hampir bisa dipastikan, satu organisasi itu ada yang mengetahui. Tidak mungkin pejabat atau pegawai lainnya tidak tahu kalau ada kegiatan yang fiktif sampai bisa cair anggarannya,” kata Zaenur.
Zaenur menyatakan, untuk mencegah praktik korupsi serupa terulang, harus dilakukan perbaikan sistem pengawasan. Pengawasan juga harus dilakukan secara berjenjang. Contohnya, jika ada lembaga tingkat bawah yang melakukan pelanggaran, lembaga di tingkat yang lebih tinggi mesti memeriksanya.
Di sisi lain, dibutuhkan karyawan atau pegawai yang mau bersuara mengenai tindak-tindak korupsi di lingkungan kerjanya. Para pegawai yang mau membongkar praktik korupsi itu juga mesti mendapat perlindungan dari tempatnya bekerja.