Warga dan pengusaha makanan bersiasat mengatasi kenaikan harga bahan pangan. Mulai dari modifikasi menu, mengurangi porsi, hingga menaikkan harga. Segala hal dicoba untuk bertahan.
Oleh
DKA/EGI/XTI/BRO/WER/NSA/HLN
·4 menit baca
Berbagai cara dilakukan warga dan pengusaha makanan di sejumlah daerah di Tanah Air untuk bertahan di tengah kenaikan harga bahan pangan. Mengeluh tiada berguna, melainkan mereka harus tetap berimprovisasi agar usaha langgeng dan perut kenyang.
Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, misalnya, menyiasati kenaikan harga bahan pangan dengan membatasi produksi dan memodifikasi menu produk mereka.
”Harga bahan-bahan luar biasa tinggi. Agar tetap jalan, pembuatan brownies terbatas jika ada pesanan saja. Untuk harian, saya sekarang produksi camilan sosis solo,” kata Irma Kusmayanti (45), pembuat brownies tempe di Karanglewas, Banyumas, Rabu (24/8/2022).
Dahulu, Irma pernah memproduksi 2.000 bungkus brownies sebulan, tetapi kini hanya sekitar 800 bungkus sebulan. Untuk bertahan hidup, dalam tiga pekan terakhir dia mulai memproduksi sosis solo yang dititipjualkan di toko-toko di Purwokerto.
Mau menaikkan harga belum berani, jadi kami cuma memodifikasi menu.
Untuk pembuatan sosis solo, dibutuhkan ayam filet sebanyak 2 kilogram, telur 20 butir, terigu 3 kg, dan minyak 1 kg. ”Harga telur biasanya Rp 22.000-Rp 25.000 per kg, sekarang Rp 31.000 per kg. Terigu juga, dulu Rp 8.000 per kg, sekarang Rp 10.050 per kg,” ujarnya.
Sebelum kenaikan harga bahan pokok, omzet Irma sampai Rp 560.000 per hari dengan laba sekitar 50 persen. Akibat harga-harga naik, labanya susut sampai 30 persen.
Hal serupa dialami Giovani (25), pemilik warung makan di Grendeng, Purwokerto Utara, sekitar Universitas Jenderal Soedirman. Ia terpaksa mengurangi porsi nasi dan menghilangkan menu telur.
”Mau menaikkan harga belum berani, jadi kami cuma memodifikasi menu. Misalnya, tadinya menu nasi-ayam-telur dadar (harganya) Rp 12.000, telurnya dicoret, jadi (harganya) Rp 10.000,” ujarnya.
Porsi lebih kecil
Lain lagi dengan Aris Dwi Prakoso, salah satu pegawai di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Borobudur di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng. Agar tidak perlu menaikkan harga dan memberatkan pelanggan, Balkondes Borobudur mengurangi ukuran lauknya, seperti ayam dan ikan.
”Ketika itu, pelanggan yang datang, terutama kalangan pelanggan yang sudah beberapa kali memesan tempat di tempat kami (Balkondes Borobudur), protes kenapa ukuran ayam yang dihidangkan jauh lebih kecil daripada yang biasa disajikan di acara-acara sebelumnya,” ujarnya.
Yanti (50), pengusaha warung makan di sentra kuliner di Pasar Rejowinangun, Magelang, juga terpaksa memperkecil potongan tempe.
Kenaikan harga terjadi pada sejumlah komoditas di Magelang. Setelah minyak goreng, kini harga cabai, bawang merah, bawang putih, dan ayam potong juga merangkak naik.
Lonjakan harga juga terjadi di Kota Semarang dan Kabupaten Batang, Jateng. Kenaikan harga telur ayam ras sejak pekan ketiga Agustus membuat pengusaha roti mengurangi telur untuk menutupi biaya produksi.
Di sejumlah pasar tradisional di Kota Semarang, harga telur ayam ras, Rabu, sekitar Rp 31.000 per kg. Kondisi itu membaik dibandingkan dengan harga pada Senin, yakni Rp 32.000 per kg.
Florentina (28), penjual roti asal Kecamatan Mijen, Semarang, biasanya menggunakan empat butir telur untuk membuat adonan donat. Sejak harga telur naik, ia hanya memakai satu butir telur. ”Risikonya, rasa rotinya kurang mantap. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau mau menaikkan harga, tak berani, takutnya nanti konsumen pada lari,” katanya.
Miftah Farid, pemilik usaha roti di Kecamatan Batang, berancang-ancang menaikkan harga. ”Ke depan, jika semua kompetitor sepakat menaikkan harga jual produk, kami akan ikut juga. Mungkin kenaikan harganya 5-10 persen untuk setiap produknya. Daripada harus mengorbankan rasa rotinya, saya kira lebih aman kalau menaikkan sedikit harga rotinya,” ucap Farid.
Tingginya harga telur di pasaran saat ini tidak terlepas dari kondisi di daerah sentra. ”Saya dengar banyak peternak mengosongkan (afkir) kandang sehingga populasi turun. Ini yang menjadi penyebab harga terus naik,” kata Widodo Setiohadi, peternak di Desa Pohgajih, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, saat dihubungi dari Malang. Blitar merupakan salah satu sentra telur di Indonesia.
Gerus daya beli
Kenaikan harga bahan pangan juga menggerus daya beli masyarakat. Di Kota Surabaya, Jatim, Rositawati, seorang ibu rumah tangga, ketar-ketir dengan situasi ini. Keluarganya bergantung pada suami yang buruh pabrik di kawasan Rungkut. ”Ketakutan saya kalau penghasilan suami tidak bisa mengejar kenaikan harga belanja,” ujarnya.
Adapun di Medan, Sumatera Utara, Krisna Butar-Butar (35), seorang pekerja, mengaku harus berhemat karena harga kebutuhan bahan pokok serbanaik dalam beberapa bulan terakhir ini. ”Saya dan suami bekerja sebagai karyawan di perusahaan. Gaji kami tidak naik, tetapi harga kebutuhan pokok serbanaik,” kata Krisna.
Kenaikan harga telur dan daging ayam sangat terasa bagi Krisna karena bahan pangan itu menjadi sumber protein utama bagi keluarganya. Ia terpaksa mengurangi pembelian karena harganya melonjak.
Warga Ibu Kota juga menjerit dengan situasi ini. Fitriyadi, warga Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, merasa berat dengan harga telur yang naik. ”Setiap minggu, saya bisa belanja 2 kg telur untuk keluarga. Saya biasa belanja di Pasar Klender SS. Dengan harga yang naik, biaya belanja otomatis membengkak,” keluhnya.
Situasi ini mengimpit masyarakat. Kenaikan harga bahan pangan mesti menjadi perhatian pembuat kebijakan agar inflasi tidak meroket dan meruntuhkan momentum pemulihan ekonomi di tengah pandemi yang melandai.