Minyak Makan Merah Berpotensi untuk Hilirisasi Sawit Petani
Dalam beberapa bulan terakhir ini harga sawit petani anjlok meskipun harga sawit dunia sedang meroket. Ini sebuah ironi yang mendorong Apkasindo menggagas hilirisasi sawit rakyat
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Hilirisasi sawit petani terus didorong agar petani tidak hanya menjual tandan buah segar. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Utara pun mendorong pembuatan pabrik minyak makan merah berskala usaha mikro, kecil, dan menengah. Proyek pilot itu diharapkan bisa sukses dan dibangun di sejumlah daerah.
”Dalam beberapa bulan terakhir ini harga sawit petani anjlok meskipun harga sawit dunia sedang meroket. Ini sebuah ironi yang mendorong kami menggagas hilirisasi sawit rakyat,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut Gus Dalhari Harahap, Kamis (18/8/2022).
Dahlari mengatakan, proyek percontohan pembuatan pabrik minyak makan merah sedang disiapkan oleh Koperasi Sawit Unggul Sejahtera di Kabupaten Serdang Bedagai. Pengolahan minyak makan merah ini dinilai cukup sederhana dengan investasi pabrik yang lebih terjangkau sekitar Rp 7 miliar. Pabrik ini bisa mengolah hasil dari 1.000 hektar sawit yang dapat melibatkan sekitar 500 petani. Kapasitas pengolahannya mencapai 5 ton per jam.
Dalhari mengatakan, pengolahan minyak sawit merah sangat potensial dilakukan petani secara berkelompok dengan membentuk koperasi. Investasi yang dibutuhkan relatif terjangkau oleh petani. Untuk tahap awal ini, Koperasi Sawit Unggul Sejahtera pun akan mendapat pendanaan dari Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDPKS). ”Petani sawit sudah menandatangani MOU (nota kesepahaman) dengan berbagai pihak terkait,” kata Dalhari.
Dalhari mengatakan, nilai tambah yang didapat petani dari pengolahan ini cukup besar. Pasar minyak makan merah pun diperkirakan akan bertumbuh pesat karena minyak ini mengandung gizi yang lebih tinggi dibanding minyak goreng sawit biasa.
Dalhari mengatakan, hilirisasi sawit petani harus terus dilakukan agar harga tandan buah segar (TBS) petani tidak tertekan. Saat ini harga sawit petani sekitar Rp 1.400 per kilogram. Petani pun tidak punya pilihan karena hanya bisa menjual TBS ke pabrik-pabrik. Beberapa bulan lalu, pabrik menolak sawit petani karena larangan ekspor. ”Petani tidak punya pilihan selain menjual sawit dengan harga yang sangat rendah,” kata Dalhari.
Dalam beberapa bulan terakhir ini harga sawit petani anjlok meskipun harga sawit dunia sedang meroket. Ini sebuah ironi yang mendorong kami menggagas hilirisasi sawit rakyat.
Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit Edwin Lubis mengatakan, nilai investasi untuk produksi minyak makan merah relatif terjangkau untuk UMKM. ”Ini diharapkan dibangun di sentra atau di daerah-daerah perdesaan sehingga pasti akan lebih murah karena biaya logistiknya juga rendah,” katanya.
Minyak makan merah ini tidak hanya berfungsi untuk menggoreng, tetapi juga berfungsi sebagai suplemen makanan karena mengandung pro-vitamin A dan E yang lebih tinggi dari minyak goreng biasa. Dengan teknologi produksi sederhana, nilai nutrisi di dalamnya bisa dipertahankan. Produksi minyak makan merah ini juga bisa meningkatkan serapan produk sawit di dalam negeri.
Edi Sinaga, petani sawit di Kabupaten Simalungun, mengatakan, harga sawit yang terpuruk dan sempat menyentuh Rp 800 per kilogram sangat memukul petani. Harga sawit pun naik, tetapi masih mentok sekitar Rp 1.400 per kilogram.
”Dengan harga sawit sekarang, petani sawit sebenarnya masih merugi. Apalagi, biaya operasional meningkat akibat harga pupuk yang meroket,” kata Edi.
Edi Sinaga yang juga Ketua Perkumpulan Pekebun Kelapa Sawit Berkelanjutan Bintang Simalungun mengatakan, berbagai persoalan juga masih dihadapi petani hingga saat ini. Mereka kesulitan mendapat legalitas lahan. Infrastruktur jalan menuju kebun sawit petani juga terbatas sehingga biaya panen dan pengangkutan menjadi tinggi. Sarana produksi, seperti ketersediaan bibit unggul, pupuk yang terjangkau, dan pestisida, masih sulit didapat petani.