Hilirisasi Sawit Rakyat Bisa dengan Kemitraan dan Kelompok
Hilirisasi sawit petani sangat penting mengingat 42 persen kebun sawit Indonesia adalah kebun petani.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Hilirisasi sawit rakyat sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah yang diperoleh petani. Selama ini petani hanya bisa menjual tandan buah segar. Dengan berkelompok atau bermitra, petani sawit bisa menghasilkan sejumlah produk seperti minyak makan merah atau minyak sawit mentah.
Hal itu menjadi benang merah diskusi bertajuk ”Mempercepat Hilirsasi Sawit Rakyat Melalui Kemitraan” yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut di Santika Premiere Dyandra Hotel and Convention Medan, Sumatera Utara, Kamis (4/8/2022).
Acara itu dihadiri Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Ketua Gapki Sumut Alexander Maha, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, dan Kepala Biro Perekonomian Pemprov Sumut Naslindo Sirait.
Joko mengatakan, hilirisasi sawit petani sangat penting mengingat 42 persen kebun sawit Indonesia adalah kebun petani. Saat ini petani sawit menghadapi masalah yang cukup pelik karena harga tandan buah segar (TBS) anjlok berkisar Rp 1.200-Rp 1.500 per kilogram di tingkat petani. Bahkan, harga sempat di bawah Rp 1.000 per kilogram setelah pemerintah melarang sementara ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Menurut Joko, harga sawit sebenarnya tidak bisa diatur-atur karena merupakan komoditas yang diperdagangkan di pasar dunia. ”Kalau pemerintah berusaha mengatur harga, terjadi distorsi dimana-mana. Itu yang terjadi saat ini,” kata Joko.
Untuk meningkatkan nilai yang didapat petani, kata Joko, margin untuk petani yang harus diperbesar, antara lain, dengan hilirisasi, meningkatkan produktivitas, dan menekan biaya.
Eddy mengatakan, BPDPKS memprioritaskan program hilirisasi sawit rakyat melalui program penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan TBS dengan skala kecil agar bisa dibangun di kebun sawit rakyat. Program ini bekerja sama dengan perguruan tinggi. ”Kegiatan ini masuk dalam proyek strategis nasional,” katanya.
Namun, hilirisasi sawit ini harus diikuti dengan penguatan kelembagaan petani dengan membentuk kelompok tani atau bermintra dengan perusahaan. Meski demikian, pengolahan TBS sawit rakyat ini masih dalam tahap penelitian. Masih perlu pengembangan untuk memastikan pengolahan itu bisa dikomersialisasi dan menguntungkan petani.
Selain hilirisasi, Eddy menyebut, mereka juga memprioritaskan peningkatan produktivitas dengan peremajaan sawit rakyat (PSR). Badan layanan umum bentukan pemerintah itu pun ditargetkan bisa menyalurkan pembiayaan untuk PSR seluas 540.000 hektar.
Namun, sampai saat ini capaian PSR dari dana BPDPKS baru 257.000 hektar yang melibatkan 110.000 petani. PSR dilakukan dengan menggunakan dana pungutan ekspor CPO. ”Capaian tersebut relatif rendah dibanding target,” kata Eddy.
Sejumlah kendala PSR adalah legalitas kepemilikan lahan sawit petani. Karena itu, saat ini BPDPKS berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Musdhalifah mengatakan, salah satu produk yang berpotensi untuk dikembangkan petani sawit adalah minyak makan merah yang mengandung pro-vitamin A dan E yang tinggi. Pengolahannya lebih sederhana dan memungkinkan dilakukan oleh usaha mikro kecil dan menengah.
”Di Malaysia, minyak makan merah ini sudah menjadi oleh-oleh atau kenang-kenangan. Padahal, kita juga punya teknologi pengolahan minyak makan merah ini,” kata Musdhalifah.
Naslindo mengatakan, selain meningkatkan hilirisasi, perbaikan produktivitas sawit petani di sisi hulu juga perlu dilakukan. Produktivitas sawit petani masih sangat rendah dibanding potensinya, antara lain, karena usia tanaman sawit yang sudah tua.