Kemampuan Calistung di NTT Rendah, Unwira Terjunkan 767 Mahasiswa
Banyak siswa di NTT, termasuk pada jenjang SMA/sederajat, belum lancar membaca. Perlu kerja keras untuk meningkatkan kualitas SDM di daerah itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Rendahnya kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung atau calistung banyak siswa SD di Nusa Tenggara Timur menjadi perhatian Universitas Katolik Widya Mandira atau Unwira Kupang. Selama sebulan, 767 mahasiswa diterjunkan ke 50 SD untuk memperkuat kemampuan dasar itu.
Pendampingan materi calistung itu dikemas dalam program kuliah kerja nyata tematik berbasis pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat (KKNT-PPM) sejak Juli 2022. Mahasiswa berasal dari berbagai bidang keilmuan pada jenjang semester tujuh ke atas.
Ketua Panitia KKNT-PPM Unwira Kupang Gerardus D Tukan pada Kamis (18/8/2022) mengatakan, 50 SD itu tersebar di 46 desa dan empat kelurahan pada 10 kabupaten. Kabupaten itu adalah Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Flores Timur, dan Lembata.
Menurut Gerardus, rendahnya kemampuan calistung diperparah pandemi Covid-19. Selama lebih dari dua tahun, pembelajaran berlangsung jarak jauh sehingga tidak efektif. ”Ini yang menjadi fokus kami. Perkuat dulu kemampuan dasar ini,” ucapnya.
Setiap mahasiswa, kata dia, mendampingi minimal dua anak. Sasarannya siswa kelas I sampai III. Untuk mengatasi kekurangan pendamping, mahasiswa mengajak murid kelas V dan kelas VI untuk membantu menjadi pendamping sebagai tutor sebaya. Pendampingan dilakukan di kelas, kantor desa atau kelurahan, dan rumah penduduk.
Pendampingan dimulai dengan tes awal untuk mengukur kemampuan siswa. Target untuk kelas I adalah mahir menguasai huruf, angka, kata, berhitung dasar, dan mewarnai gambar. Murid kelas II dilatih membaca naskah dan mematuhi tanda-tanda baca. Sementara murid kelas III dilatih membaca, mematuhi tanda-tanda baca, dan menceriterakan kembali isi naskah secara lisan menggunakan kalimat sendiri.
Untuk memantau perkembangan pendampingan itu, diselenggarakan semacam perlombaan. Bagi murid kelas I berupa kecepatan menulis tiru huruf, angka, kata, dan melengkapi tabel angka yang berlangsung selama 30 menit. Murid kelas II dengan membaca naskah. Kriteria penilaian, yaitu kelancaran membaca serta kepatuhan pada tanda-tanda baca.
Sementara bagi murid kelas III adalah dengan membaca naskah dari buku. Kemudian mereka diminta menceriterakan kembali isi naskah secara lisan menggunakan kalimat sendiri. ”Kami melihat ada perubahan yang berarti setelah pendampingan secara intensif selama satu bulan. Kuncinya pada metode pembelajaran yang lebih kreatif,” katanya.
Siswa SMA
Akan tetapi, tidak hanya siswa SD, banyak siswa SMA di NTT juga belum lancar membaca. Simon Seffi, guru di SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, pernah melakukan survei tersebut pada 2016.
Obyek survei adalah siswa SD kelas akhir, yakni V dan VI. Hasilnya mencengangkan. Lebih dari 50 persen siswa memiliki kemampuan membaca kategori sangat rendah. Ujungnya, banyak siswa SMA hingga kini belum lancar membaca.
”Termasuk di antaranya murid saya. Bahkan, mengeja suku kata pun sangat kesulitan. Ketahuan bahwa dasar mereka tidak kuat. Mereka belum tuntas baca tulis di SD,” kata guru Matematika itu.
Yunus Takandewa, Ketua Komisi V DPRD NTT yang membidangi urusan pendidikan membenarkan kondisi tersebut. Dalam sejumlah kesempatan saat berkunjung ke berbagai sekolah, Yunus langsung menguji sendiri, di mana banyak siswa SMA belum lancar membaca. ”Itulah kondisi yang terjadi dan ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujarnya.
Ia mempersilakan pemerintah membuat program yang ditujukan untuk memperkuat kemampuan dasar baca, tulis, dan hitung. Perguruan tinggi yang memiliki metode pembelajaran yang cocok dapat diajak berkolaborasi dalam program tersebut. DPRD akan memberikan dukungan anggaran.
Di pidatonya dalam rangka HUT Ke-77 RI, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi memaparkan sejumlah pencapaian pemerintah, salah satunya pada sektor pendidikan. Pencapaian dimaksud lebih pada pembangunan fisik, seperti pembukaan sekolah baru, penambahan ruang belajar, serta pengadaan fasilitas dan perangkat pembelajaran. Namun, seberapa jauh kualitas pendidikan, tidak banyak disinggungnya.