Polda Sulut Tolak Empat Laporan Keluarga Korban Penembakan oleh Polisi
LBH Manado menyebut Polda Sulut telah empat kali menolak laporan penembakan terhadap Raymond Londok pada akhir Juli lalu. Kepolisian menyatakan kasus sedang dalam penanganan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Manado menyebut Kepolisian Daerah Sulawesi Utara telah empat kali menolak laporan penembakan terhadap Raymond Londok (39), warga yang tewas ditembak anggota kepolisian akhir Juli lalu. Namun, kepolisian menyatakan bahwa kasus tersebut sedang dalam penanganan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado Frank Kahiking, Senin (15/8/2022), mengatakan, keluarga mengajukan pengaduan keempat ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulut pada Jumat (12/8), tetapi lagi-lagi ditolak. Alasannya, sudah ada laporan polisi model A yang dibuat WL, polisi yang menembak Raymond.
Laporan model A adalah laporan yang dibuat oleh anggota polisi yang mengalami, mengetahui, dan menemukan langsung suatu peristiwa kejahatan di lapangan. Dalam hal ini, Raymond yang telah meninggal setelah peristiwa naas pada 23 Juli lalu itu ditempatkan sebagai terlapor pelaku kejahatan.
”Menurut penyidik konseling, laporan model A tidak bisa dibuatkan laporan tandingan karena juga sedang diproses Polresta (Kepolisian Resor Kota) Manado. Jadi, saya minta rujukan dasar hukumnya, tetapi mereka tidak bisa menjelaskan. Penolakan itu juga cuma secara lisan, tidak ada catatan tertulis. Semestinya (hasil) konseling itu harus ada bukti tertulis,” kata Frank.
Karena itu, Frank, yang mendampingi Deisy Londok (51) dan Welly Liwe (84), kakak dan kakek Raymond, dalam membuat laporan akhirnya menyurati Kepala Polda Sulut Inspektur Jenderal Mulyatno untuk meminta klarifikasi resmi tentang penolakan tersebut. Jika tidak ada tanggapan hingga Selasa (16/8), LBH Manado akan menyurat ke beberapa institusi lain.
”Kalau tidak ada tanggapan, kami akan menyurat ke Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian RI), Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), dan DPR RI bidang hukum (Komisi III). Kami akan minta Mabes Polri agar ada supervisi terkait laporan ini,” ujar Frank.
Penembakan terhadap Raymond, yang disebut LBH Manado sebagai pembunuhan di luar proses peradilan (extrajudicial killing), terjadi pada 23 Juli lalu sekitar pukul 21.30 Wita di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, Manado. Saat itu, tingkah Raymond yang sedang mabuk mulai meresahkan warga sehingga ia dilaporkan ke Polsek Bunaken.
Menurut informasi yang dihimpun LBH dan Polresta Manado, Raymond membawa senjata tajam dan sempat masuk ke pekarangan rumah salah satu warga dan berteriak-teriak. Beberapa saat kemudian, dua personel Kepolisian Sektor (Polsek) Bunaken, yaitu Brigadir Polisi Kepala (Bripka) WL dan Bripka SR datang.
Mengetahui polisi datang, Raymond segera menyembunyikan senjatanya ke bawah sebuah mobil mikrolet. Menurut hasil rekonstruksi kejadian oleh kepolisian, WL dan SR berusaha menangkap Raymond, tetapi ia terus memberontak dan melawan, bahkan mencoba memukul SR sambil berseru akan membunuhnya.
Namun, menurut Welly Liwe, kakek Raymond, yang menyaksikan kejadian itu, cucunya yang diam saja tanpa membawa senjata tajam tiba-tiba dikeroyok hingga terbaring, lalu dicekik dan ditinju di wajah oleh salah satu polisi. ”Salah apa saya terhadap kalian?” kata Raymond dalam Melayu Manado.
Kalau tidak ada tanggapan, kami akan menyurat ke Mabes Polri, Kompolnas, Komnas HAM, dan DPR RI bidang hukum (Komisi III).
Kendati begitu, dua polisi itu tidak segera mengamankannya. Ia sempat lari ke warung kakeknya dan dibiarkan, tetapi kemudian keluar lagi dan mengancam akan membakar mobil patroli polisi. Pria itu meletakkan satu tangan di belakang, seolah-olah dia membawa alat pemantik api. Ia kemudian sempat menantang dua polisi yang sudah mundur itu.
Menurut Welly, ia dan Vane Warouw, istri Raymond, sempat berhasil membawa cucunya itu kembali ke rumah untuk menyudahi konfrontasi dengan dua polisi. Namun, sekelebat Raymond bangkit lagi, memecahkan sebuah vas keramik, untuk mengancam polisi lagi.
”Saya tidak sempat cegah. Jadi, saya biarkan saja karena, toh, dia tidak bawa senjata yang berbahaya,” kata Welly.
Namun, menurut keterangan kepolisian, Raymond sudah menyerang SR hingga polisi itu jatuh terduduk dan mencoba menikamnya. Saat itulah, WL menembaknya di dada. Tubuhnya sempat dibiarkan selama hampir satu jam sebelum sebuah mobil polisi lain datang untuk membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara.
Terkait dengan kejadian ini, Frank menilai, kepolisian gagal melaksanakan tugas sebagaimana diminta warga, yaitu mengamankan penyebab kegaduhan di permukiman warga. ”Seharusnya, kalau polisi menjalankan fungsinya, tangkap saja, borgol, lalu bawa ke kantor agar tidak berbuat onar. Bukan disiksa, kemudian ditembak hingga tewas,” katanya.
Di lain pihak, Kepala Polresta Manado Komisaris Besar (Kombes) Julianto Sirait menegaskan, keputusan WL menembak Raymond merupakan tindakan tegas terukur, bukan penembakan serampangan. Sebab, berdasarkan hasil rekonstruksi di lokasi kejadian, Raymond diduga mengancam kedua polisi dengan senjata tajam, yaitu dengan pecahan keramik.
”Kalau satu tindak pidana dilaporkan dua kali, kan, tidak mungkin. Nah, untuk perkaranya, kami sudah lakukan gelar perkara dua kali, ada penanganan pidana dan propam (profesi dan pengamanan). Ada beberapa catatan yang harus kita lengkapi sesuai dengan permintaan peserta gelar perkara. Mudah-mudahan minggu ini bisa kita tuntaskan demi memberi kepastian hukum,” ujarnya.
Sementara itu, pihak Polda Sulut belum memberikan tanggapan. Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Gani Siahaan tidak menjawab permintaan wawancara, sedangkan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kombes Jules Abraham Abast menyatakan masih harus mengumpulkan semua informasi yang diperlukan.