Kejagung Tunjuk 30 Jaksa Tangani Kasus Ferdy Sambo
Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J dengan tersangka Irjen Ferdy Sambo dan tiga tersangka lainnya telah diterima Kejagung. Sebanyak 30 jaksa pun disiapkan untuk kasus ini.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung telah menerima surat pemberitahuan untuk dimulainya penyidikan terhadap empat tersangka kasus pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Setidaknya, 30 jaksa akan menangani kasus tersebut. Kejaksaan Agung pun memastikan akan profesional dalam menangani kasus tersebut.
Sebelumnya, dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J, Polri telah menetapkan empat tersangka. Keempat tersangka itu ialah mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua Eliezer atau Bharada E, Brigadir RR atau Ricky Rizal, dan KM atau Kuat Ma’ruf sebagai pekerja di rumah Ferdy.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/8/2022), mengatakan, Kejagung sudah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan sekaligus mengeluarkan penunjukan jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara tersebut.
”Tentu dalam penanganan perkara apa pun jaksa penuntut umum tanpa diminta dan disuruh harus profesional,” kata Ketut.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menambahkan, SPDP sudah masuk ke Jampidum. Untuk menangani perkara tersebut, pihaknya setidaknya telah menunjuk 30 jaksa sebagai JPU.
Keterangan dibutuhkan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, kesaksian Bharada E dan istri Ferdy, yakni Putri Candrawathi, sangat dibutuhkan untuk mengungkap secara terang peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J.
Namun, sayangnya, khusus terhadap Putri, LPSK hingga saat ini kesulitan untuk memintai keterangan. Padahal, Putri, sejak 14 Juli lalu, telah mengajukan permohonan kepada LPSK untuk meminta perlindungan.
”Nah, dengan sulitnya kami bertemu, itu, kan, kemudian menjadi keraguan bagi LPSK, apakah benar Ibu Putri ini menginginkan perlindungan dari LPSK. Kami pun kemudian meragukan, apakah permohonan ini memang secara genuine diajukan oleh Ibu Putri atau tidak? Padahal, (permintaan perlindungan) ini, kan, harus kami klarifikasi,” ucap Hasto.
Padahal, lanjut Hasto, keterangan Putri sangat penting, terutama, agar LPSK mengetahui penyebab traumanya. ”LPSK, kan, asesmen psikologisnya ditempatkan sebagai bagian dari investigasi untuk menggali sebab-sebab traumanya. Apakah betul karena kekerasan seksual, apakah karena pemberitaan media yang dianggap memojokkan dia, atau ada persoalan lain yang menekan secara psikologis kepada dia,” katanya.
Kemudian, untuk Bharada E, LPSK terus mendalami dan meminta klarifikasi atas permintaannya menjadi justice collaborator atau pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar suatu kasus. Pendalaman ini penting karena ada sejumlah syarat apabila pelaku tindak pidana mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Sejauh ini, LPSK melihat, perlindungan terhadap Bharada E sangat penting karena ia merupakan salah satu saksi kunci dalam kasus ini, selain Putri. Kesulitan Bharada E untuk mengungkap peristiwa secara jujur diduga karena kasus ini berdimensi struktural dan erat kaitannya dengan relasi kuasa di instansi kepolisian atau di antara para pelaku.
”Dan ini, kan, terjadi dalam satu institusi yang garisnya komando. Jadi, ini tentu potensi ancaman kepada yang bersangkutan sangat besar,” kata Hasto.
Sejauh ini, LPSK melihat, perlindungan terhadap Bharada E sangat penting karena ia merupakan salah satu saksi kunci dalam kasus ini, selain Putri.
Hasto menilai, perlindungan terhadap Bharada E seyogianya dilakukan oleh LPSK. Sebab, jika perlindungan itu diberikan oleh aparat penegak hukum, apalagi penyidik, tentu ada potensi konflik kepentingan (conflict of interest) di dalamnya. Hal ini justru dikhawatirkan bisa mengarahkan pada penekanan, ancaman, atau intimidasi terhadap Bharada E sendiri.
Apalagi, dengan fenomena gonta-gantinya pengacara Bharada E. Sebagaimana diketahui, Bharada E tiba-tiba per 10 Agustus lalu mencabut kuasa Deolipa Yumara dan M Burhanuddin sebagai penasihat hukumnya. Bharada E telah menunjuk Ronny Talapessy yang juga aktif sebagai pengurus DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai kuasa hukum yang akan mendampinginya selama proses hukum.
Keputusan pergantian pengacara ini, menurut Hasto, patut dicurigai. Sebab, di sini muncul kekhawatiran ada ancaman terhadap Bharada E sehingga mengganti pengacaranya.
Kuasa hukum Bharada E, Ronny Talapessy, menyampaikan, perubahan kuasa hukum merupakan pertimbangan dari Bharada E dan pihak keluarganya. Ia pun memastikan akan profesional dalam menangani kasus Bharada E tanpa mengurangi rasa empati terhadap keluarga Brigadir J.