Ampa Uleng dan Petrus Parapaga, Nakhoda yang Melayari Pinggiran Negeri
Ampa dan Petrus berlayar di pinggiran negeri untuk melayani warga di pulau terpencil dan terluar.
Petrus Parapaga (60) dan Ampa Uleng (54) mengarungi perairan dekat garis batas negara demi melayani warga yang tinggal di pulau terlaur dan terpencil. Menakhodai kapal perintis sebagai jalan pengabdian demi mereka yang terisolasi lantaran minimnya kapal, ketiadaan pelabuhan, dan kondisi cuaca yang sering tidak bersahabat.
Kamis (11/8/2022), Kapal Sabuk Nusantara 87 yang dinakhodai Ampa mendekati pesisir Pulau Lirang di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku. Dari ruang kemudi, ia meraih radio dan memimpin langsung proses tambat kapal ke dermaga yang dianggap paling berisiko di jalur pelayaran itu.
Haluan kapal berbobot mati 2.097 gros ton, dengan panjang 70 meter dan lebar 14 meter, itu diarahkan melalui perairan dangkal menuju dermaga. Hanya ada celah selebar 40 meter untuk jalur kapal yang ditandai dengan umbul-umbul. Di celah sepanjang hampir 200 meter dengan kedalaman 7 meter itu, kapal sering kandas.
Kali ini, kecepatan angin mencapai 18 knot (sekitar 33 kilometer per jam). Ini menambah risiko. Beberapa kru menyarankan agar membatalkan rencana tambat. Kapal milik PT Pelni itu dikhawatirkan akan menabrak karang. Keselamatan pelayaran, keselamatan kapal, dan tentu jabatan sebagai nakhoda jadi taruhan.
Ampa bergeming. ”Harus sandar. Ada orang sakit yang harus kita angkut dengan kapal ke Kupang (Nusa Tenggara Timur). Ini mengenai kemanusiaan. Nyawa orang harus kita selamatkan,” ucapnya. Bergulat selama hampir 30 menit, Ampa akhirnya bisa menyandarkan kapal di Pelabuhan Lirang. Tidak ada insiden seperti yang dikhawatirkan.
Dari rombongan penumpang yang hendak naik itu, ada seorang ibu hamil yang diantar petugas puskesmas setempat. Ia dirujuk ke Kupang lantaran fasilitas kesehatan di Pulau Lirang tidak memadai. Tak ada alat bedah dan dokter spesialis. Pulau itu berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.
Tak terhitung banyaknya warga di pulau berpenduduk hampir 1.000 jiwa itu meninggal akibat minimnya fasilitas kesehatan. Mereka adalah ibu hamil yang mengalami kendala saat proses persalinan, pasien gawat darurat, atau pasien yang sakit keras. Ada pasien yang terpaksa harus dibawa ke Timor Leste.
Berkat bantuan Ampa, pria asal Sulawesi Selatan itu, banyak pasien yang selamat setelah dibawa ke Kupang. Namun, banyak juga yang tidak tertolong lantaran kondisi pasien sudah sangat parah. ”Beberapa kali, pasien meninggal di atas kapal, kemudian kami urus,” ujarnya.
Sudah 33 tahun, Ampa menjadi pelaut. Alumnus Akademi Maritim Indonesia Veteran Makassar itu mempunyai pengalaman membawa sejumlah jenis kapal, mulai kapal kargo, tanker, hingga kapal penumpang untuk pelayaran perintis. Rute kapal perintis itu dari Kota Ambon ke Kupang dengan jarak tempuh 1.560 mil laut (2.889 kilometer).
Kapal dengan kapasitas penumpang maksimum 250 orang itu menyingahi 15 pelabuhan yang umumnya berada di pulau-pulau terpencil dan terluar. Sebagian besar pengguna kapal adalah masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Karena itu, kapal perintis disubsidi oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
Penghormatan terakhir
Sementara itu, Petrus Parapaga juga memiliki pengalaman berlayar sama seperti Ampa, yakni 33 tahun. Petrus lulusan Sekolah Ilmu Administrasi Negara di Sorong, Papua Barat, pernah membawa kapal mulai dari harbour tug, kapal kargo, kapal pengangkut bahan bakar, hingga kapal penumpang.
Ia kini menakhodai KM Sabuk Nusantara 67 dengan rute dari Kota Kupang ke Saumlaki di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Kapal tersebut menyinggahi 15 pelabuhan. Untuk satu kali perjalanan pergi sampai pulang ke pelabuhan pangkalan, butuh waktu hampir dua pekan.
Di kalangan masyarakat pengguna kapal perintis, Petrus dikenal sebagai nakhoda yang menaruh perhatian pada evakuasi jenazah. Ia sering kali menunda keberangkatan kapal demi menunggu proses persiapan hingga evakuasi jenazah ke atas kapal. Jenazah dimaksud dibawa dari rumah sakit di ibu kota kabupaten kembali ke kampung di daerah terpencil, atau dibawa dari satu pulau ke pulau lain.
”Pernah suatu ketika, saya menunda sampai 4 jam. Itu dari Moa (ibu kota Kabupaten Maluku Barat Daya), mau dibawa pulang ke Pulau Wetar. Kalau saya tinggal, keluarga harus menunggu kapal satu minggu lagi. Kasihan. Saya siap hadapi risiko dari perusahaan. Saya lakukan ini sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal,” tuturnya.
Tak jarang pula, ia sering mendapati penumpang yang meninggal saat kapal berlayar. Setelah memastikan orang itu meninggal, ia menghubungi puskesmas di pulau terdekat untuk meminta formalin. Sering kali, fomalin tidak tersedia. Satu-satunya cara ialah menaikkan kecepatan kapal agar janazah lebih cepat sampai sebelum derajat pembusukan semakin parah. Padahal, di dalam aturan pelayaran ada batas kecepatan.
Salah satu kebijakan yang ditempuh Petrus ialah membebaskan biaya bagi keluarga yang mengantar jenazah. Ia memahami kondisi ekonomi masyarakat setempat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk membiayai rumah sakit pun, mereka tidak mempunyai uang. Belum lagi mereka harus berlayar berhari-hari untuk datang ke rumah sakit yang hanya ada di ibu kota kabupaten.
Petrus juga sering memaklumi banyak pelajar atau mahasiswa dari daerah itu yang tidak membeli tiket pada saat mereka pulang kampung untuk mengambil uang ataupun bekal. ”Makanya, saya selalu bilang, kalau tidak beli tiket, jangan main sembunyi-sembunyi atau lari-lari di atas kapal. Bilang saja sama petugas,” ucap pria kelahiran Talaud, Sulawesi Utara, itu.
Meski begitu, Petrus dikenal sebagai nakhoda yang tegas. Ia tidak segan-segan langsung turun tangan mengatasi penumpang yang sulit diatur. Ia pernah mengusir penumpang yang membawa binatang, seperti kambing, anjing, dan babi, masuk ke dalam kapal. Penumpang itu langsung diminta turun dengan semua barang bawaan.
Anggota DPR Provinsi Maluku, Anos Yeremias, menilai, Ampa dan Petrus adalah nakhoda yang peduli dengan masyarakat penggiran. Ia mencontohkan, pada awal Juli 2022 saat Kementerian Perhubungan mengeluarkan skema baru pelayaran perintis yang mengurangi frekuensi pelayaran, Ampa dan Petrus langsung menghubungi dirinya.
”Dari semua nakhoda kapal perintis di Maluku, hanya Ampa dan Petrus yang mengontak saya. Mereka minta dicari jalan keluar agar skema itu bisa dibiacarkan lagi. Saya lalu pimpin tim ke Kemenhub dan meminta kembali ke skema awal. Kemenhub menyetujuinya,” tutur Anos.
Sebagai nakhoda, Ampa dan Petrus hanya bertemu keluarga sekali dalam setahun ketika kapal doking. Lebih dari itu, hari-hari mereka melayani warga di daerah terpencil dan pulau terluar. Sebaliknya, oleh masyarakat setempat, kedua nakhoda ini akan selalu dikenang sebagai pelayan yang selalu memberi hati untuk mereka.
Ampa Uleng
Lahir: Anabanua, 5 November 1967
Jabatan: Nakhoda KM Sabuk Nusantara 87
Petrus Parapaga
Lahir: Talaud, 19 Februari 1962
Jabatan: Nakhoda KM Sabuk Nusantara 67