Polisi Buru Dua Aparatur Kampung Penyandang Dana KKB di Nduga
Dua aparatur kampung di Kabupaten Nduga masuk dalam daftar pencarian orang Polda Papua. Keduanya diduga menggunakan dana desa untuk pembelian ratusan amunisi bagi kelompok kriminal bersenjata.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Polda Papua menetapkan dua aparatur kampung berinisial A dan GK di Kabupaten Nduga masuk daftar pencarian orang. Dua orang ini diduga menggunakan dana desa senilai Rp 200 juta untuk membeli ratusan amunisi bagi kelompok kriminal bersenjata pimpinan Egianus Kogoya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Komisaris Besar Faisal Ramadhani, saat ditemui di Jayapura pada Jumat (12/8/2022), mengatakan, kedua aparatur kampung itu berasal dari dua distrik (kecamatan) di Kabupaten Nduga. A bertugas sebagai sekretaris kampung, sedangkan GK sebagai kepala kampung.
Faisal menjelaskan, setiap aparatur itu memberikan dana desa senilai Rp 100 juta kepada Albert Nagen, aparatur sipil negara di Pemkab Nduga. Albert berperan sebagai pihak yang membeli amunisi dari sejumlah pihak untuk diserahkan kepada kelompok Egianus Kogoya.
Aparat Polres Yalimo menangkap Albert karena membawa 615 butir amunisi melalui jalur Trans-Papua di Distrik Elelim, Yalimo, pada 29 Juni 2022. Amunisi yang disita itu meliputi 379 butir untuk senjata jenis MK3, 158 butir untuk senjata SS1, 52 butir senjata US Carbine, 11 butir senjata V2, 10 butir senjata revolver, 3 butir senjata AK, dan 2 butir senjata mauser.
”Sebelumnya kami telah menangkap seorang kepala kampung bernama Terius Labia pada 4 Agustus. Ia menyerahkan uang senilai Rp 150 juta kepada Albert untuk membeli amunisi bagi KKB,” papar Faisal.
Ia menambahkan, penyidik telah menetapkan Terius dan Albert sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan 615 butir amunisi. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena penyalahgunaan amunisi.
”Peranan Albert dan tiga penyandang dana sangat penting bagi aksi KKB di Nduga. Mereka akan sering melakukan aksi teror menyerang aparat dan warga sipil karena memiliki senjata api dan amunisi,” tambahnya.
KKB pimpinan Egianus Kogoya kerap menyerang aparat keamanan dan warga di Nduga beberapa tahun ini. Aksi terakhir kelompok ini menyebabkan 11 warga tewas dan 2 orang lainnya luka-luka di Distrik Kenyam, ibu kota Nduga, pada 20 Juli 2022.
Sementara itu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar mengatakan, 80 persen dari 29 kasus perdagangan senjata api dan amunisi di Papua diduga bersumber dari dana desa. Fakta ini berdasarkan hasil investigasi ALDP dari tahun 2011 hingga 2021.
Ia memaparkan, temuan penggunaan dana desa dalam kasus perdagangan senjata api dan amunisi berdasarkan data primer dan sekunder. Pengumpulan data tersebut dilakukan sejak Agustus 2021 hingga Mei 2022 yang berpusat di Wamena, Jayapura, dan Nabire.
Mereka menggunakan uang tersebut untuk membeli senjata api dan amunisi dari warga lainnya atau oknum anggota TNI dan Polri.
ALDP mencatat 51 pelaku terlibat penyalahgunaan 52 pucuk senjata api dan 9.605 butir amunisi dari 29 kasus yang ditangani pihak kepolisian dari tahun 2011 hingga 2021. Total dana yang dikucurkan untuk pembelian senjata api dan amunisi tersebut Rp 7,2 miliar.
Latifah menjelaskan, 51 pelaku ini terdiri dari 31 warga, 14 anggota TNI, dan 6 anggota Polri. Adapun lokasi transaksi pembelian senjata api dan amunisi, antara lain, Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Wamena, Timika, Jayapura, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Merauke.
”Dari hasil wawancara dengan sejumlah tersangka serta terpidana, diperoleh fakta mereka menerima dana desa, baik secara langsung dari pihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau perantara dari kelompok tersebut. Kemudian mereka menggunakan uang tersebut untuk membeli senjata api dan amunisi dari warga lainnya atau oknum anggota TNI dan Polri,” ungkap Latifah.
Ia menambahkan, terdapat dua faktor yang mendorong penyalahgunaan dana desa untuk pembelian senjata dan amunisi bagi OPM atau disebut aparat keamanan sebagai KKB. Pertama, oknum aparat pemerintahan kampung merasa ketakutan karena diancam kelompok tersebut, sedangkan faktor kedua adalah adanya kesamaan ideologi antara oknum aparat pemerintahan kampung dan OPM.