Arti Kemerdekaan dari Sepotong Umbi
Sebagian warga Maybrat memaknai pesatnya pembangunan dengan tetap menghargai dan memanfaatkan hasil alam. Dari sana, mereka ikut membekali anak-anaknya menhadapi masa depan lewat sepotong ubi.
Sepotong umbi lebih dari sekadar sumber pangan bagi warga Maybrat, Papua Barat. Ragam jenisnya digunakan untuk membiayai warga hari ini hingga masa depan anak cucunya lebih cerah suatu hari nanti.
Rabu (13/7/2022) pagi, langit Distrik Ayamaru Utara, satu dari 24 distrik di Maybrat, cerah. Diantara bekas hujan deras semalam, sekelompok mama keluar rumah kembali mencoba berdaya.
Langkah mereka tegas saat membawa beragam umbi dalam noken menuju yuuk ro raa masim boo (lapak). Letaknya di sepanjang tepi Jalan Poros Ayamaru-Kumurkek, ruas Jalan Trans Papua Barat. Perjalanan mereka memakan waktu dua jam berakhir di pertigaan menuju Bandara Kambuaya, Distrik Ayamaru Timur. Letaknya 19 kilometer dari rumah mereka.
Tanpa menunggu lama, tangan-tangan mereka mulai menyusun beragam umbi bawaannya. Ada awiah (keladi), awiahambu (keladi johar), sasu (petatas), hingga sasuara (singkong).
Dengan kaos dan celana pendek merah serta hanya bersandal jepit, Dorkas Nauw (42), mantap berdagang. Dia menumpuk keladi dan petatas. Satu tumpukan terdiri dari 8-10 umbi. Dia menjualnya Rp 50.000 per tumpuk. Semua hasil kebun sendiri.
Selain dikonsumsi bersama keluarga, Dorkas mengatakan, umbi miliknya sengaja dijual. Dalam seminggu, dia biasa berjualan 5 hari. Untuk urusan kebun, semua dipercayakan pada suaminya. "Saya bisa dapat Rp 300.000-Rp 600.000 per sekali jualan," kata Dorkas.
Uang itu mungkin bukan jumlah besar bagi sebagian orang. Namun, Dorkas sudah cukup bahagia. Tidak hanya bisa membeli lauk pauk, dia dapat menyisihkan sebagian untuk sekolah anaknya. Ibu empat anak ini yakin pendidikan adalah investasi berharga bagi anak-anaknya kelak.
Dorkas bukan tanpa bukti. Anak sulungnya baru saja lulus seleksi menjadi anggota TNI di Sorong. Semua biaya pendidikannya didanai lewat berjualan umbi, bahan makanan pokok khas tanah Papua. "Mereka harus sekolah baik. Supaya jadi orang. Kita (orangtua) bangga toh," kata Dorkas.
Baca juga : Serangan KKB di Maybrat Hambat Pembangunan Infrastruktur
Ice Kambuaya (43) penjual lainnya, juga berharap banyak dari keladi. Siang itu, dia berharap sekarung keladinya laku Rp 200.000-Rp 300.000. Dengan itu, ia dapat menyisihkan lebih dari setengahnya untuk pendidikan empat anaknya.
"Bapa (suami) kerja di Sorong. Jadi masyarakat (buruh) saja. Nanti, kirim uang untuk tambah kami pu keperluan di sini," katanya sambil menata umbi.
Siang itu, semangat Ice untuk berjualan bahkan berlipat. Selin (9), anak bungsunya, ikut menemaninya berjualan. Saat Ice menawarkan keladi, Selin tekun mengerjakan tugas sekolah.
"Mau jadi polisi. Mama bilang rajin belajar," katanya. Ice tersenyum mendengarnya. Selin kembali menjadi penguat untuk menjalani hidup meski sekadar mengandalkan keladi dari kebun sendiri menjadi bekal hidup untuk anaknya kelak.
Tanah subur
Peneliti di Pusat Studi Melanesia Universitas Muhammadiyah Sorong Bustamin Wahid mengatakan, warga Maybrat relatif lebih paham pentingnya pendidikan. Tinggal relatif tidak jauh dari Sorong, sekitar 174 km, ikut membuka wawasan mereka. Pendidikan adalah investasi masa depan
Salah satu andalan untuk mewujudkan itu dilakukan dengan memanfaatkan hasil alam, salah satunya menanam dan menjual umbi. Meski tidak semua terekam dengan baik, keladi, misalnya, menjadi salah satu pilihan warga.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Maybrat, pada tahun 2019 hasil panen dari 44 hektare lahan di Ayamaru Selatan, Ayamaru Selatan Jaya, dan Aitinyo Barat mencapai 29 ton keladi. Satu tahun kemudian, hasilnya meningkat. Panen tahun 2020, tercatat ada 24,8 ton keladi dari 34 hektar.
Biasanya, umbi ditanam di ora (kebun) tidak jauh dari rumah. Sebagian besar di atas tanah ulayat masing-masing suku.
Total ada sembilan suku di Maybrat yang masuk wilayah adat III Doberay, yaitu Suku Aitinyo, Ayamaru, Aifat, Mare, Maysomara, Sawiat, Wayer, Fhaursa, Weta, Nagin, Brat. Sebagian besar warga masih menerapkan metode penanaman tradisional.
Rabu siang, misalnya, Dortinus Kondologit (79) warga Ayamaru Tengah, kembali bekerja. Kebunnya di tepi Jalan Poros Ayamaru-Kumurkek. Sebagian besar ditanami umbi dengan selingan pisang. Dia biasa memanen umbi antara 4-6 bulan setelah tanam.
Sembari membersihkan semak, pensiunan guru itu cekatan memeriksa pagar dari kayu dan seng di sekeliling kebunnya. Dia membawa parang untuk membersihkan semak belukar. "Pagar ini supaya jangan sampai babi hutan masuk dan rusak tanaman," kata bapak dengan tujuh anak itu.
Dia mengatakan, semak dan ranting pohon biasanya dibiarkan mengering untuk mkah ora (dibakar). Semua akan dibakar bila sudah dirasa cukup banyak.
Sekam sisa pembakaran kemudian dibersihkan sebelum mulai maso atau mfayaer ora (penanaman). Mereka menggunakan aso (tongkat) sepanjang 50 cm hingga 1 meter untuk memasukan bibit ke dalam tanah.
Baca juga : Kompaspedia Maybrat
Dia mengatakan, konsumsi umbi lebih banyak untuk sehari-hari. Umbi membuatnya tidak terlalu bergantung pada beras. Dia hanya menjualnya bila ada yang mau membelinya. "Kalau tidak ada yang beli untuk makan sendiri," ujarnya sambil tertawa.
Dengan segala pengalamannya, Dortinus mengatakan, tidak kesulitan menanam umbi. Cara-cara itu sudah lama dia pelajari turun temurun. Dia selalu bisa panen sehingga tidak pernah kesulitan mendapat bahan makanan pokok. Seumur hidupnya, dia belum pernah kelaparan atau kesulitan bahan makanan.
Hijau alam dan unsur hara di sekitarnya ikut menjaga hasil kebun tetap terjaga. Di usia senja, pekerjaannya diringankan lewat beragam kemudahan.
Salah satunya lewat ketersediaan bahan bakar minyak untuk menghidupkan mesin pemotong kayu. Butuh Rp 20.000 untuk satu botol minuman kemasan 1,5 liter untuk sekali bekerja. Saat tugasnya relatif lebih ringan, ia kian terbantu menyediakan bahan pangan untuk keluarganya.
Satu harga
Sejak tahun 2009, atau saat Maybrat dimekarkan dari Kabupaten Sorong, BBM relatif bisa diakses warga. Pasokannya dari Terminal BBM Sorong milik PT Pertamina (Persero) semakin mudah datang ketika Jalan Trans Papua Barat bisa diakses.
Selasa (12/7), misalnya, truk tangki 5.000 liter premium kembali beraksi. Pengantaran BBM berlangsung dua atau tiga kali dalam sepekan. Harinya tak selalu sama. Truk berangkat dalam rombongan tanpa pengawalan. Hanya ada sopir dan kernet.
Melaju dengan kecepatan 60-80 kilometer per jam dalam guyuran hujan, truk melewati Jalan Trans Papua Barat yang terdiri dari aspal dan cor beton. Sebagian kecil jalan ada berlubang dan ditambal pasir atau tanah dari pecahan batu kapur.
Setelah melewati banyak tanjakan yang membelah perbukitan, truk tiba di SPBU Kompak Distrik Aitinyo Barat. SPBU itu bagian program BBM Satu Harga. Kedatangan truk disambut bahagia. Warga datang membawa kendaraan dan jeriken. Pengelola mengatur mereka dalam antrean supaya semua orang bisa kebagian premium. Biasanya semua ludes dalam sehari.
Akan tetapi, kemandirian warga memanfaatkan hasil alam dan mulai masuknya program pemerataan pemerintah belum cukup. Masih banyak warga berjuang untuk sejahtera.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sorong Selatan tahun 2022, Maybrat seluas 5.461 km persegi dengan 43.364 jiwa. Sebanyak 13.480 jiwa diantaranya masuk kategori miskin. Butuh kebijakan politik ideal untuk menekannya. Tidak hanya berpihak tapi juga tepat.
Untuk memacu keinginan warga memanfaatkan hasil kebun, Wahid mengatakan, butuh akses pasar yang tepat. Tanpa proses jual beli yang ideal, keberadaan umbi bisa terancam. Kesejahteraan pun sulit didapat.
Dia mengkritisi kebijakan politik di Maybrat untuk tidak menjual tanah ke orang luar. Orang luar daerah, hanya boleh melakukan kontrak dengan waktu tertentu.
Menurut Wahid, pola itu baik untuk mencegah konflik antara penduduk setempat dan pendatang. Namun, kondisi itu rentan memicu daya beli rendah. Aktivitas ekonomi rentan melambat karena setiap orang punya kebun sendiri.
Meski punya peluang memicu embrio kemandirian pangan, kondisi itu tidak terlalu ideal karena membuat pasar lambat tumbuh. Ditambah dengan tingginya ongkos transportasi ke pusat kota di Maybrat, antara Rp 100.000-Rp 250.000 per orang, harga beragam kebutuhan lain juga berujung tinggi.
Pelibatan warga
Wahid juga menyebutkan, ke depan pelibatan kemandirian warga sangat penting dan strategis. Mereka punya basis atau cara hidup turun temurun.
Salah satu modalnya adalah pewarisan bekal hidup lewat sekolah tradisional wofle (tochmi atau wuon) wofle. Meski kini relatif tidak seintens dulu, pola ini biasa diberikan warga adat selama 8-18 bulan.
Setidaknya ada dua hal penting yang terkorelasi penting antara sekolah tradisional dengan kehidupan saat ini. Dia mencontohkan keuletan untuk memanfaatkan hasil alam.
Sejak dini, warga diminta terus kreatif merespon keadaan yang terjadi. Lebih dari sekadar menggerus hasil bumi, hal ini dimaknai dengan mengelola alam dengan lestari. "Mereka hidup dengan alam. Makan umbi dari alam. Jual umbi dari alam," ucap Wahid.
Dorkas dan warga lainnya mengatakan, tidak ingin hubungan mereka dengan alam hilang begitu saja. Ke depan, masih ada banyak tanggung jawab yang harus mereka lakukan selain berdagang. Menjaga alam tetap lestari dan menyesuaikan diri dengan ragam pembangunan yang terjadi harus tetap dilakukan.
Menyiapkan anak-anak mereka dengan bekal pendidikan dengan biaya dari sepotong umbi yang cukup menjadi salah satu modal utamanya. Selain menjauhkan dari kelaparan, bukan tidak mungkin sepotong umbi bisa jadi bekal untuk masa depan.
Baca juga : Ekonomi Singkong