BMKG Prakirakan Kekeringan di Lanny Jaya hingga Oktober
Fenomena embun beku yang menyebabkan bencana kekeringan di Kabupaten Lanny Jaya diprediksi terjadi hingga awal Oktober 202. Pemerintah daerah diharapkan lebih optimal bekerja untuk mencegah krisis pangan kembali terjadi.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprakirakan fenomena embun beku akibat musim kemarau di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, akan terus terjadi hingga awal Oktober. Pemda setempat diimbau menyiapkan upaya mitigasi untuk mencegah masyarakat mengalami krisis pangan.
Kepala Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah V Jayapura, Hendro Nugroho, Rabu (10/8/2022), memaparkan, baru terjadi peralihan dari kemarau ke musim hujan di Lanny Jaya dan wilayah pegunungan lainnya pada dasarian I bulan Oktober. Dasarian I terhitung 1 Oktober hingga 10 Oktober.
Ia mengatakan, fenomena embun beku terjadi karena tutupan awan di atmosfer sangat sedikit. Hal ini berdampak suhu udara menjadi lebih dingin karena panas yang diterima dapat langsung dipantulkan kembali keluar bumi.
Sebanyak 2.740 warga terdampak bencana kekeringan di empat kampung Distrik Kuyawage. Empat kampung ini meliputi Uwone, Luarem, Yugunomba, dan Tumbubur.
Adapun luasan lahan pertanian yang terdampak bencana kekeringan akibat embun beku meliputi Luarem 12 hektar (ha), Yugunomba 10 ha, Tumbubur 10 ha, dan Uwome 4 ha. Kekeringan ini mengakibatkan tanaman pangan warga, seperti ubi dan keladi, rusak.
Korban meninggal akibat kekeringan di Kuyawage mencapai empat orang, yang meliputi dua orang dewasa dan dua anak balita. Sementara 61 warga sakit diare. Tim Pemerintah Provinsi Papua dan Pemda Lanny Jaya masih menyelidiki penyebab kematian empat orang itu, apakah terkait kelaparan atau sakit.
”Fenomena embun beku bukanlah peristiwa yang baru terjadi, melainkan hampir setiap tahun. Diharapkan pemda setempat harus menyiapkan upaya mitigasi, seperti lumbung makanan, agar masalah krisis pangan di Kuyawage karena kekeringan tidak terulang lagi,” kata Hendro.
Ia mengimbau pemda di seluruh wilayah Papua agar proaktif memantau data prakiraan cuaca dari BMKG. Ia pun mengungkapkan, prediksi dampak cuaca kemarau, seperti kekeringan di Papua, telah dipaparkan BBMKG Wilayah V Jayapura sejak bulan Maret tahun 2022.
”Kami berharap pemda di Papua bisa berkoordinasi dengan BBMKG V Jayapura terkait hasil pantauan kondisi cuaca. Tujuannya agar pemda secara dini menyiapkan langkah mitigasi atas dampak cuaca ekstrem,” tambahnya.
Belum optimal
Manajer Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) Provinsi Papua Jonathan Koirewoa mengakui BPBD Lanny Jaya belum optimal menindaklanjuti data prediksi dampak kemarau yang telah disampaikan BMKG beberapa bulan lalu. Hal ini menjadi evaluasi agar BPBD di 28 kabupaten dan 1 kota di Papua aktif merespons data prakiraan cuaca dari BMKG.
Ia pun menyatakan Pemda Lanny Jaya yang didampingi Pusdalops BPBD Papua telah menyiapkan posko penanggulangan bencana kekeringan di Kuyawage. Posko ini sebagai pusat manajemen dan distribusi bantuan bagi warga Kuyawage di empat kampung tersebut.
”Kami akan menyiapkan pasokan makanan yang cukup di posko hingga Oktober mendatang. Pada Senin (8/8/2022) lalu, Pemda Lanny Jaya telah mendistribusikan sekitar 10 ton bantuan dari Ketua Umum Bhayangkari Juliati Sigit Prabowo, Kementerian Sosial, dan Pemprov Papua,” kata Jonathan.
Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas berpendapat, terdapat tiga faktor yang menyebabkan masalah krisis pangan sering terjadi di Papua. Faktor pertama adalah kebijakan pusat yang lebih memprioritaskan food estate atau lumbung nonkomoditi lokal di Papua, misalnya kelapa sawit. Sementara pemerintah daerah belum memiliki program konkret untuk budidaya pangan lokal, seperti sagu.
Faktor kedua, pemerintah lebih fokus untuk mengucurkan bantuan uang tunai secara masif untuk masyarakat, seperti dana kampung. Kondisi ini menyebabkan aktivitas masyarakat untuk budidaya pangan lokal semakin berkurang karena lebih mengharapkan bantuan uang untuk membeli beras dan makanan siap saji.
”Faktor yang terakhir ialah pemerintah lebih fokus pada isu politik daripada bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian yang lebih urgen. Masalah krisis pangan akan terus terjadi di tanah Papua jika tiga faktor ini tidak terhenti,” kata Cahyo.