Tragedi RSJD Surakarta dan Alarm bagi Sistem Pencegahan Kebakaran Kita
Dua pasien tewas dalam kebakaran yang melanda Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (5/8/2022). Patut dipertanyakan, apakah sistem yang disiapkan sudah benar-benar berjalan?
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Dua pasien tewas dalam kebakaran yang melanda Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (5/8/2022) lalu. Tragedi tersebut hendaknya membuka mata publik akan pentingnya mematangkan perencanaan sistem pencegahan kebakaran di fasilitas publik. Dengan jatuhnya korban jiwa, patut dipertanyakan apakah sistem yang disiapkan sudah benar-benar berjalan?
Kebakaran disebut terjadi begitu saja. Tanpa ada pertanda. Api membesar sangat cepat di Ruang Puntadewa. Tiga perawat yang bertugas jaga malam kewalahan mengevakuasi belasan pasien dengan kondisi gangguan kejiwaan akut yang diikat di kasurnya. Dari 18 pasien yang dirawat di sana, 16 orang bisa diselamatkan.
Nasib naas menimpa dua pasien yang justru kondisi kejiwaannya paling parah. Saking parahnya, mereka harus dirawat di kamar khusus yang dilengkapi teralis besi. Mereka tak sempat diselamatkan karena kondisi api telanjur membesar saat petugas jaga mengevakuasi pasien lainnya.
Selain, dua pasien tewas, terdapat tiga pasien lainnya yang mengalami luka bakar. Seorang pasien mengalami luka bakar berat dengan persentase 34 persen. Dua orang lainnya luka bakar ringan dengan persentase 13 persen dan 3 persen.
”Sebelumnya tidak pernah kebakaran sampai seperti ini. Kebakaran baru terjadi sekali kemarin itu dan mudah-mudahan tidak terjadi lagi,” kata Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, Tri Kuncoro, saat dihubungi Kompas, Senin (8/8/2022).
Sebenarnya, jelas Tri, tiga perawatnya yang tengah bertugas dalam kondisi terjaga sewaktu kebakaran terjadi. Pihaknya juga masih bertanya-tanya mengenai penyebab kebakaran. Pasalnya, titik api muncul tiba-tiba dan baru diketahui setelah kondisinya membesar.
Tri mengaku sangat terpukul dengan musibah tersebut. Pasalnya, rumah sakit yang dipimpinnya sudah meraih predikat paripurna dalam akreditasi. September nanti, menurut rencana juga bakal dilakukan lagi reakreditasi bagi rumah sakit tersebut.
Di sisi lain, menurut Tri, langkah mitigasi sudah disiapkan dengan menyusun panduan tanggap bencana darurat secara rinci. Tak terkecuali untuk peristiwa kebakaran. Bahkan, disebutkannya, ada perincian tugas bagi perawat jaga. Setiap perawat jaga ada yang ditunjuk sebagai penanggung jawab api, penanggung jawab aset, hingga penanggung jawab pasien.
Pelatihan kedaruratan, sebut Tri, juga dilakukan secara rutin. Minimal enam bulan sekali wajib digelar latihan bersama. Apabila memungkinkan, latihan bisa dilakukan setiap tiga bulan sekali. Itu untuk memastikan sistem tersebut berjalan jika kondisi gawat darurat benar-benar terjadi.
Namun, kondisi gawat darurat berbeda dengan latihan. Ada kepanikan yang dimungkinkan muncul. Api yang muncul juga bisa saja lebih besar. Itulah yang terjadi dalam kebakaran di RSJD Surakarta. Tiga perawat jaga mengalami kepanikan. Mereka juga coba memadamkan api dengan 10 unit alat pemadam api ringan (APAR) yang tersedia. Upaya itu tak berhasil.
Api baru berhasil dipadamkan setelah pemadam kebakaran setempat tiba. Waktu kedatangan mereka hanya selang empat menit sejak dipanggil oleh pihak rumah sakit. Pemadaman api membutuhkan waktu selama lebih kurang satu jam.
Tri mengakui, ruangan yang terbakar belum dilengkapi dengan alat pemadam otomatis semacam sprinkler. Alat pendeteksi asap sewaktu terjadinya kebakaran juga belum tersedia. Alarm kedaruratan yang dinyalakan juga sistemnya tak tersambung dengan petugas pemadam kebakaran setempat. Sejauh ini, alat pemadam api yang disediakan baru berupa APAR. Padahal, terdapat benda mudah terbakar seperti spons dan kayu di ruangan tersebut.
Nah, itu (alat pendeteksi asap dan pemadam otomatis) belum kita pasang. Ini jadi evaluasi kami. Ini jadi catatan kami. Untuk ke depannya, bakal seperti apa pengaturan ruangan dan perawatnya, nanti akan kami evaluasi. (Tri)
Masih diperiksa
Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan, pihaknya telah memeriksa lima saksi guna mengetahui penyebab kebakaran. Mereka terdiri dari tiga perawat jaga, seorang petugas bangsal lain, dan petugas keamanan. Hasil pemeriksaan nantinya bakal diperkuat pula oleh pengujian sampel kebakaran yang telah diambil oleh Tim Laboratorium Forensik dari Polda Jawa Tengah.
”Apakah yang dilakukan sudah sesuai SOP (prosedur standar operasi) yang berlaku? Itu kami kaji semua. Apakah ada dugaan kelalaian? Nanti disinkronisasi dengan temuan-temuan lapangan,” kata Ade.
Dihubungi terpisah, dosen Teknik Sipil dan Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada Ashar Saputra menyebutkan, rumah sakit wajib memiliki protokol keselamatan dalam menghadapi situasi kebencanaan. Mulai dari gempa bumi, banjir, kebakaran, dan lain sebagainya. Protokol tersebut juga menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi agar rumah sakit lolos akreditasi.
Selanjutnya, kata Ashar, protokol tersebut hendaknya tak berhenti sebagai dokumen tertulis. Harus ada evaluasi rutin mengenai penerapan protokol tersebut disertai dengan latihan-latihan kedaruratan. Bahkan, perlu ada sosok yang ditunjuk secara khusus guna mengawal berjalannya protokol tersebut.
”Dia punya tugas mengecek kesiapan rumah sakit, baik secara personalia maupun infrastrukturnya. Ini termasuk sistem sirene yang berlaku. Kuncinya di situ,” kata Ashar.
Dari kasus RSJD Surakarta, Ashar menduga ada kegagalan sistem pencegahan. Ini ditilik dari proses diketahuinya kebakaran dari api yang telah membesar. Terbukti, pihak rumah sakit memang belum memasang pendeteksi asap. Alarm kedaruratan juga dibunyikan secara manual.
”Aspek HSE (health, safety, and environment) memang sangat lemah. Sering kali, ini hanya menjadi jargon. Rumah sakit harus memiliki standar minimum sistem pencegahan kebakaran. Tidak boleh nol,” kata Ashar.
Kebakaran di RSJD Surakarta seharusnya menjadi alarm bersama bagi seluruh fasilitas kesehatan. Sistem pencegahan mesti ditengok lagi kesiapannya. Jangan sampai tragedi tersebut terulang lagi di masa mendatang. Cukup sekali saja ada dua nyawa pasien melayang akibat sistem pencegahan yang diduga kurang matang. Selanjutnya, evaluasi menyeluruh harus ditempuh.