Digitalisasi teknologi yang merambah ke pelbagai sudut Nusantara melecut semangat anak-anak muda untuk menekuni dunia pertanian. Kini, mereka dapat mengontrol kebun dari sentuhan di layar telepon pintar.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
Digitalisasi teknologi merambah ke pelbagai pelosok Lampung. Kemudahan lewat layar gawai ikut melecut semangat anak-anak muda untuk menekuni dunia pertanian. Harapannya, kemiskinan hingga godaan radikalisme ikut ditekan.
Rumah kaca berukuran 20 meter x 25 meter itu berdiri di sudut Desa Cintamulya, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan, Lampung. Letaknya sekitar 70 kilometer dari Bandar Lampung.
Di dalamnya terhampar terpal hitam menutupi seluruh area tanah. Di atas terpal berjejer 1.000 polybag berisi media tanam sekam padi dan sabut kelapa. Polybag itu sudah siap ditanami bibit melon jenis inthanon.
Lebih dari sekadar rumah kaca biasa, keberadaannya dilengkapi sistem teknologi digital. Sensor dan selang irigasi disusun hingga terhubung ke tiap-tiap media tanam. Air dari bak penampung bisa langsung mengalir lewat saluran irigasi hanya dengan sekali ”klik” di telepon pintar.
Perintah dari telepon pintar itu lantas dibaca alat pengontrol yang dipasang pada salah satu sisi rumah kaca. Keduanya sama-sama terhubung ke jaringan internet.
”Saya bisa mengairi tanaman dari jarak berapa pun. Jadwal penyiraman dan jumlah air juga bisa diatur lewat telepon pintar yang terhubung dengan internet,” kata Yuda Apriansyah (19), salah satu pengelola rumah kaca di Pondok Pesantren Mathla’ul Anwar di Desa Cinta Mulya.
Tak hanya memudahkan penyiraman, teknologi digital juga memudahkan pekerja merekayasa suhu, kelembaban, dan keasaman air.
Saat suhu di dalam rumah kaca terlalu tinggi, misalnya, pekerja dapat menekan ”klik” pada gawai untuk menghidupkan kipas mengeluarkan udara panas.
Penerapan sistem teknologi digital di ponpes itu sudah berjalan sejak tahun 2020. Hasilnya sudah bisa dinikmati. Total, 7 ton melon bisa dipanen dari lima kali penanaman.
Berbeda dengan pola budidaya melon di lahan tanah, satu batang tanaman melon yang dikembangkan dalam rumah kaca dibatasi hanya menghasilkan satu buah. Ini dilakukan untuk menjaga cita rasa manis buah melon.
Jumlahnya terbatas dengan kualitas terjamin membuat harga jual melon inthanon lebih tinggi dibandingkan jenis lain. Melon dengan bobot 1-1,3 kilogram dijual Rp 35.000–Rp 45.000 per buah atau bisa dua kali lipat lebih mahal daripada melon biasa.
Ponpes Mathla’ul Anwar tidak sendirian. Sentuhan teknologi untuk memaksimalkan pengelolaan pertanian juga diterapkan di 14 unit rumah kaca. Pengelolanya ponpes lainnya di Lampung.
Di Ponpes Darul A’mal, Kota Metro, misalnya, pengelola rumah kaca juga mencicipi manisnya hasil panen melon inthanon. Pada panen perdana pertengahan Juli 2022, kebun melon yang dikembangkan dengan sistem rumah kaca itu menghasilkan 450 kg buah dari sekitar 400 batang tanaman.
Tak hanya produksi, kebun ini juga menjadi wahana pelatihan bagi para santri yang mau belajar bertani. Kehadiran teknologi digital membantu para santri tetap bisa mengaji di sela-sela mengurus kebun melon.
”Teknologi digital mempermudah pekerjaan kami mengurus kebun. Jadwal mengaji tidak terganggu,” kata Khoirul Muzaki (19), santri asal Lampung Tengah.
Khoirul yang baru saja lulus dari Madrasah Aliyah Darul A’mal tahun ini memilih tetap tinggal di ponpes. Selain mendalami kitab, Khoirul kini punya kesibukan baru dengan membantu mengelola kebun melon. Sebagai anak petani, kini ia bahkan tertarik meneruskan usaha orangtuanya.
”Lewat teknologi, bertani ternyata asyik dan menyenangkan,” ucapnya.
Meski begitu, para santri dan pengelola tetap harus datang ke kebun setiap hari. Mereka harus tetap mengontrol kondisi tanaman agar tidak diserang hama. Proses penyerbukan bunga melon jantan dan betina agar berbuah juga tetap harus dilakukan dengan bantuan manusia.
Pengurus Ponpes Darul A’mal, M. Zakaria Mahmudi, menuturkan, saat ini ada sekitar 15 santri yang dilibatkan mengurus kebun melon. Mereka diberi jadwal ke kebun bergantian agar tidak mengganggu aktivitas mengaji.
Selain kebun melon, ponpes itu juga mengembangkan sejumlah usaha di bidang pertanian dan peternakan, antara lain budidaya sayuran serta beternak bebek dan ikan.
Hasil usaha yang dikembangkan itu dimanfaatkan untuk membantu biaya operasional ponpes. Santri yang membantu mengurus usaha juga diberikan subsidi biaya pendidikan mulai dari 50 persen hingga 100 persen.
Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren Lampung Hasan Erreza menuturkan, pembangunan rumah kaca di 12 ponpes di Lampung merupakan bantuan dari Bank Indonesia.
Nilai investasi satu unit rumah kaca serta program pendampingan untuk pengelola antara Rp 400 juta dan Rp 500 juta. Hingga saat ini, jumlah investasi yang telah digulirkan untuk memperkuat perekonomian ponpes mencapai Rp 7 miliar.
Selain untuk memperkuat ekonomi ponpes, kegiatan wirausaha ini juga diharapkan meningkatkan keterampilan santri. Setelah lulus, santri tidak hanya mempunyai keilmuan di bidang agama, tetapi juga keterampilan membangun usaha.
Hasan meyakini, penguatan keterampilan santri juga dapat membentengi mereka dari paparan paham radikalisme. Saat kembali hidup di tengah masyarakat, santri sudah mempunyai bekal keterampilan membangun usaha sehingga diharapkan tidak mengalami kesulitan ekonomi hingga terjebak dalam kelompok yang keliru.
Anas Ikhsan selaku Asisten Analis Fungsi Pengembangan UMKM, Keuangan Inklusif, dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Lampung menuturkan, program penguatan ekonomi pesantren bertujuan mendorong ponpes memiliki usaha dan mandiri. Setiap pesantren diminta membentuk unit koperasi sehingga usaha bisa beroperasi secara profesional.
Penggunaan teknologi pada sektor pertanian di Lampung juga diharapkan dapat mendorong minat anak-anak muda untuk menjadi petani. Regenerasi petani penting untuk memastikan ketersediaan produk pertanian yang kerap menjadi penyumbang inflasi di daerah.
Tidak terasa, sudah 4 jam Yudha merawat melon kesayangannya. Satu per satu peralatan berkebun dirapikan dan dikembalikan ke tempatnya.
Akan tetapi, Yudha mengatakan, tugasnya belum usai. Dia yang telah merasakan mudahnya bertani dengan bantuan teknologi ingin membuktikan bahwa menjadi petani tak sekadar urusan cangkul. Ia ingin menyebarkan pengetahuannya kepada banyak orang agar mereka juga merasakan kemudahan dalam genggaman yang sama. Bersama teknologi, bertani bisa sangat menyenangkan sembari tetap memberikan hasil ekonomi jauh lebih baik ketimbang masa lalu.
Seiring berkembangnya teknologi, petani di masa depan diharapkan tidak hanya berkutat dengan cangkul. Petani milenial kini bisa mengendalikan masa depan kebun lewat genggaman.