Industri Hilir Sawit di Kalteng Dinilai Belum Optimal
Industri hilir kelapa sawit di Kalimantan Tengah sudah berjalan cukup lama dan memproduksi berbagai produk turunan minyak sawit mentah juga produk olahan lainnya. Namun, industri hilir itu dinilai belum optimal.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terus mengoptimalkan industri hilir kelapa sawit sebagai bagian dari kebijakan dan strategi daerah meningkatkan perekonomian. Kalteng bahkan sudah memiliki satu pabrik yang memproduksi minyak goreng dan produk turunan kelapa sawit lainnya. Namun, akses pasar masih menjadi salah satu masalah pengembangan industri hilir.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah Rizky Badjuri menjelaskan, sektor sawit terus dikejar pemerintah dan selama ini dinilai mampu meningkatkan pendapatan daerah. Di sektor perkebunan kelapa sawit, Kalteng bahkan sudah memiliki satu perusahaan yang membangun pabrik khusus memproduksi produk turunan dari kelapa sawit.
PT Citra Borneo Utama yang merupakan grup salah satu perkebunan sawit terbesar di Kalteng selama ini sudah memproduksi minyak goreng dan mulai beroperasi sejak 2013. Rizky menambahkan, pabrik itu terletak di Tempenek, Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat. Pabrik ini utamanya mengolah enam produk minyak mentah yang bisa menjadi bahan baku untuk pembuatan mentega, obat-obatan, lilin, hingga minyak goreng.
”Pengembangan industri hilir memang terus didorong dan dikembangkan, kami juga berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kemarin saat minyak goreng langka banyak bantuan minyak goreng murah dari pabrik sawit,” kata Rizky di Palangkaraya, Rabu (3/8/2022).
Menurut Rizky, lahirnya industri di Kalteng juga membuka kesempatan kerja yang luas bagi warga. Dengan demikian, dampak pembangunan industri hilir bisa dirasakan banyak orang.
Kalteng merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia. Data dari Dinas Perkebunan Kalteng mencatat terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas lahan sebesar 3,9 juta hektar. Namun hanya 1,13 juta hektar yang beroperasi. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit mencapai 5,1 juta ton yang terdiri atas produksi perkebunan sawit rakyat 277.701 ton dan produksi Perkebunan Besar Swasta 4,8 juta ton pada tahun 2021.
Selain itu, Kalteng juga mampu memproduksi 8,8 juta ton minyak sawit mentah per tahun tahun sehingga provinsi itu berkontribusi terhadap Produksi CPO Nasional sebesar 25,3 persen. Produksi CPO Nasional berdasarkan data Gapki pada Agustus 2019 sebesar 34,7 juta ton per tahun.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo menjelaskan, pihaknya memiliki strategi zonasi dalam percepatan peningkatan perekonomian Kalteng. Zonasi barat yang diisi Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan, Sukamara, dan Kotawaringin Timur merupakan fokus pemerintah mengembangkan potensi industri hilir CPO dan industri perikanan ikan tangkap.
”Sasaran pembangunan dalam RPJMD memang menyasar industri kelapa sawit sebagai sumber daya utama yang dimiliki Kalteng,” ungkap Edy dalam diskusi Studi Lapangan Isu Strategis Nasional (SLISN) beberapa waktu lalu di Kota Pangkalan Bun.
Edy menambahkan, perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar untuk pendapatan Kalteng yang menyerap 806.308 tenaga kerja. ”Industri hilir memang menjadi fokus pemerintah dan diharapkan membantu masyarakat,” ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng Hatir Tarigan menilai, industri hilir yang sudah berjalan lama di Kalimantan Tengah belum berdampak maksimal ke masyarakat, khususnya petani sawit mandiri. Petani mulai kesulitan bahkan dari pembelian pupuk untuk perawatan kebun sawitnya sendiri.
”Produksi minyak goreng sudah bisa dan sudah lama, tetapi tetap pengusaha yang diuntungkan, bukan petani,” katanya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya (UPR) Fitria Husnatarina mengungkapkan, industri hilir kelapa sawit di Kalteng belum optimal lantaran sampai sekarang belum jelas kapasitas produksi produk sampingan kelapa sawit di Kalteng. Apalagi, satu pabrik itu belum tentu bisa memenuhi kebutuhan pasar.
”Mungkin bisa masuk pasar, tetapi bersaingannya seperti apa, selama ini juga belum tentu bisa memenuhi kebutuhan pasar lokal, lalu bicara soal distribusi dan pengeluaran lain yang bisa saja membuat produk tidak bisa dikonsumsi langsung masyarakat, lalu produksi berhenti,” kata Fitria.
Selama ini, lanjut Fitria, industri hilir belum dilengkapi infrastruktur yang memadai. ”Infrastruktur yang dimaksud itu dari lingkup hulu sampai hilir itu jadi satu paket dan tentunya dengan melibatkan masyarakat,” katanya.