Kelaparan di Lanny Jaya Dipicu Belum Optimalnya Mitigasi Kekeringan
Masalah kekeringan yang memicu kelaparan di Kabupaten Lanny Jaya sudah terjadi berkali- kali. Diperlukan upaya mitigasi bagi masyarakat untuk mencegah masalah ini terulang kembali.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Tiga orang meninggal dunia dan ratusan warga lainnya yang bermukim di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, menderita kelaparan akibat musibah kekeringan yang terjadi sejak awal Juni lalu. Salah satu penyebab masalah kelaparan itu ialah minimnya upaya mitigasi untuk mengantisipasi masalah kekeringan yang terjadi berkali-kali di daerah itu.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Papua Semuel Siriwa di Jayapura pada Selasa (2/8/2022) mengatakan, masalah kekeringan yang berdampak kelaparan yang terjadi di Kuyawage sudah terjadi beberapa kali. Seharusnya masyarakat bisa memanfaatkan potensi ubi jalar yang mampu beradaptasi di daerah pegunungan dengan kondisi cuaca yang dingin.
Ia pun mengungkapkan, masyarakat di daerah Pegunungan Papua telah memiliki kearifan lokal untuk menyimpan cadangan makanan ketika terjadi cuaca ekstrem. Misalnya penyimpanan ubi jalar di dalam tanah.
”Masyarakat mulai meninggalkan kearifan lokalnya untuk menyiapkan dan menyimpan tanaman pangan saat menghadapi kondisi alam yang tidak dapat diprediksi. Hal ini dipengaruhi masyarakat mulai terbiasa mendapatkan beras dari pemerintah secara rutin. Misalnya program Raskin,” kata Semuel.
Ia pun menambahkan, diperlukan pendampingan yang masif bagi masyarakat yang mayoritas sebagai petani untuk menyiapkan langkah mitigasi saat menghadapi cuaca ekstrem. Akan tetapi, upaya ini masih terkendala tenaga penyuluh pertanian di Papua.
”Hanya terdapat 897 tenaga penyuluh pertanian yang bertugas di 5.549 kampung (desa) di Papua. Papua masih kekurangan 4.652 tenaga penyuluh,” ujar Semuel.
Kepala Polres Lanny Jaya Ajun Komisaris Besar Umar Nasatekay saat dihubungi dari Jayapura memaparkan, masalah kekeringan di Kuyawage berdampak tiga warga meninggal dunia dan satu orang dalam kondisi kritis karena diduga mengalami kelaparan dan gangguan kesehatan.
Masyarakat mulai meninggalkan kearifan lokalnya untuk menyiapkan dan menyimpan tanaman pangan saat menghadapi kondisi alam yang tidak dapat diprediksi.
Adapun para korban yang meninggal dunia itu ialah Tupaganeba Tabuni (60), Mison Tabuni (2), dan Amson Murib (2). Sementara korban yang kondisinya kritis ialah Yegin Tabuni (30).
Adapun kampung yang terdampak musibah kekeringan yakni Kuyawage, Luarem, dan Yugunomba. Pemicu musibah kekeringan ialah cuaca ekstrem suhu yang dingin menciptakan embun yang membeku. Fenomena alam tersebut merusak tanaman umbi-umbian dan sayur milik warga.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lanny Jaya, sebanyak 548 warga yang terdampak musibah kekeringan. Selain itu, 56 lahan perkebunan mengalami gagal panen karena fenomena alam tersebut.
”Tim dari Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan bagi warga yang terdampak di Kuyawage pada Senin kemarin. Bantuan berupa ratusan paket makanan siap saji dan paket sembako, 280 karung beras, 1.000 buah pakaian, dan 1.000 buah selimut,” kata Umar.
Masih didata
Manajer Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Papua Jonathan Koirewoa mengatakan, pihaknya masih mendata kebutuhan dan kerusakan lahan akibat musibah kekeringan yang dipicu fenomena embun beku tersebut.
Ia pun menyatakan, pemerintah setempat belum dapat menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) masalah kelaparan di Distrik Kuyawage. Sebab, harus dilakukan terlebih dahulu pengkajian dampak yang dirasakan masyarakat.
”Kami juga memberikan rekomendasi untuk melakukan pengkajian cepat kebutuhan masyarakat dan dampak kerusakan lahan akibat embun beku ke Sekda Papua Ridwan Rumasukun. Tujuannya, dengan hasil pengkajian ini, agar segera ditetapkan status KLB di Kuyawage,” ujar Jonathan.
Subkoordinator Bidang Pelayanan Jasa Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Ezri Ronsumbre, memaparkan, fenomena tersebut dikenal sebagai embun beku yang terjadi di Kuyawage, dipicu musim kemarau di wilayah pegunungan dengan cuaca yang sangat dingin. Fenomena ini biasanya terjadi dari Juli hingga Agustus.
Diperkirakan, saat musim kemarau, suhu udara pada malam hari sangat dingin hingga mencapai di bawah 0 derajat celsius. Sementara pada siang hari sangat panas.
”Biasanya terjadi embun beku pada dini hari dan pagi, sedangkan pada siang hari cuaca panas dan terjadi kekeringan akibat penguapan yang tinggi. Kemungkinan kondisi yang terjadi berulang kali (ini) yang menyebabkan tanaman warga mengalami kerusakan,” ujar Ezri.