Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Aceh Turun
Harga sawit yang tidak stabil membuat petani tidak tenang. Petani tidak berani melakukan pengembangan usaha atau mengajukan pembiayaan usaha ke perbankan karena khawatir tidak dapat membayar cicilan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di Provinsi Aceh turun ke titik terendah. Petani berharap ada kebijakan dari pemerintah agar harga jual naik ke posisi ideal seperti yang disampaikan Kementerian Perdagangan Rp 2.000 per kilogram.
Petani sawit di Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh, Muhip Puddin, yang dihubungi dari Banda Aceh, Minggu (24/7/2022), menuturkan, sejak muncul polemik minyak goreng, harga jual kelapa sawit di tingkat petani tidak stabil. Perubahan harga terjadi begitu cepat.
Pada Maret 2022, harga jual Rp 2.300 per kilogram, tetapi pada pekan pertama Juli 2022 anjlok ke harga Rp 600 per kilogram. ”Sekarang mulai naik sedikit, Rp 950 per kilogram,” kata Muhip.
Muhip memiliki 7 hektar lahan sawit. Potensi panen 1,5 ton dari 1 hektar. Adapun upah untuk pekerja Rp 200 per kilogram. Pada lahan yang medannya berat, upah buruh bisa Rp 400 per kilogram.
”Kalau medan semakin berat, misal belum ada jalan, sawitnya harus dipikul, upahnya bisa sampai bagi dua dari harga jual,” kata Muhip.
Muhip tidak menjual TBS langsung ke pabrik, tetapi menjual kepada agen atau pengepul. Alasannya, dia tidak memiliki armada atau mobil untuk mengangkut ke pabrik. Selisih harga jual pada penampung dengan pabrik mulai dari Rp 200 hingga Rp 250 per kg.
Harga sawit yang tidak stabil membuatnya tidak tenang. Muhip tidak berani melakukan pengembangan usaha atau mengajukan pembiayaan usaha ke perbankan karena khawatir tidak dapat membayar cicilan. Dia berharap pemerintah membuat kebijakan yang memihak petani.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Provinsi Aceh Sabri Basyah mengatakan, turunnya harga jual kelapa sawit di tingkat petani merupakan dampak dari kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Pembatasan ekspor CPO berdampak pada penyerapan sawit dari petani.
”Di Aceh tidak ada pabrik minyak goreng, jika penjualan CPO dibatasi, sawit dari petani harus dijual ke mana?” kata Sabri.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk menjamin stok bahan baku minyak goreng dalam negeri. Namun, menurut Sabri, kebijakan itu membuat kelapa sawit milik petani tidak semua terserap oleh pabrik.
”Harga CPO ditentukan oleh pabrik minyak goreng, sedangkan serapan CPO oleh pabrik minyak goreng rendah. Pasar masih dikuasai oleh pabrik minyak goreng, petani tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar Sabri.
Sabri menambahkan, rendahnya serapan CPO oleh pabrik minyak goreng buntut dari kebijakan pemerintah membatasi distribusi minyak goreng ke warga. Pembelian minyak goreng dengan menggunakan nomor induk kependudukan dan Peduli Lindungi menghambat distribusi minyak goreng.
”Jalan keluar regulasi DMO dan DPO dicabut. Larangan ekspor CPO juga harus dicabut. Pemerintah harus berpihak pada petani sebagai kelompok terbesar, bukan pada pengusaha kelompok orang besar,” ujar Sabri.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kabupaten Aceh Utara Kastabuna menuturkan, dalam sepekan terakhir harga di tingkat pengepul pelan-pelan beranjak naik, tetapi belum menyentuh posisi ideal.
Kastabuna berharap pemerintah mengkaji kembali aturan pembatasan ekspor CPO dan meminta pabrik membeli sawit petani dengan harga yang pantas sesuai anjuran pemerintah.