Akses terhadap pelayanan publik, seperti membuat KTP, masih menjadi tantangan bagi transpuan yang tinggal di Surabaya.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI, SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Akses terhadap pelayanan publik masih menjadi tantangan bagi transpuan yang tinggal di Surabaya. Alih-alih menikmati bantuan sosial, mengurus kartu identitas saja susah. Padahal, Kementerian Dalam Negeri telah meminta pendataan dan penertiban dokumen administrasi kependudukan bagi penduduk transjender.
Ketua Pesatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) Sonya Vanessa menceritakan, pada 21 September 2021 pihaknya mendatangi Mal Pelayanan Publik Kota Surabaya di kawasan Siola. Dia mengantar tujuh transpuan anggota Perwakos untuk melakukan perekaman KTP elektronik (e-KTP) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya.
Menurut Sonya, proses pembuatan KTP elektronik itu didasarkan pada surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI Nomor 470/11320/Dukcapil. Isi surat itu meminta dilakukan pendataan dan penertiban dokumen kependudukan bagi transjender.
”Mayoritas transpuan ini memilih membuat e-KTP baru karena nomor induk kependudukan (NIK) mereka di daerah asal sudah banyak yang diblokir,” ujar Sonya, akhir pekan lalu.
Namun, dari tujuh transpuan yang mengurus e-KTP, hanya satu yang berhasil, yakni yang sebelumnya sudah beridentitas warga Surabaya. Sementara enam transpuan lainnya berasal dari luar kota dan luar Jawa. Meski telah bertahun-tahun tinggal di Surabaya, mereka tidak bisa pindah kependudukan karena harus mengurus surat pindah terlebih dulu dari daerah asal.
Pengurusan surat pindah ini menjadi kendala tersendiri karena mayoritas sudah lama tidak pulang kampung. Mereka malu pulang kampung dengan dandanan perempuan karena dianggap aib oleh keluarga. Selain itu, karena terlalu lama tidak berkomunikasi dengan keluarga, mereka kesulitan meminta tolong untuk mengurus surat pindah.
Hal lain yang dikeluhkan Sonya adalah masih adanya stigma negatif di masyarakat tentang transpuan. Saat mengurus KTP, misalnya, mereka digoda oleh petugas dengan pertanyaan laki-laki atau perempuan dan dijadikan bahan tertawaan.
Sonya pernah mengalami kejadian tidak enak saat menerima bantuan sosial. Hal itu karena dia dipanggil Anton yang merupakan nama aslinya sesuai dengan KTP. Saat maju ke depan petugas dengan dandanan perempuan, Sonya pun menjadi bahan tertawaan seluruh masyarakat yang hadir di tempat tersebut.
Transpuan yang memiliki KTP harus berjenis kelamin laki-laki dan menggunakan nama asli. Sementara itu, dalam penampilan keseharian, mereka lebih nyaman sebagai perempuan. Mereka juga menginginkan foto di KTP-nya ditampilkan sebagai perempuan.
Mayoritas transpuan ini memilih membuat e-KTP baru karena nomor induk kependudukan (NIK) mereka di daerah asal sudah banyak yang diblokir.
Penelitian Arus Pelangi pada 2013 mencatat, 35 persen kasus kekerasan dialami transpuan. Laporan ”Jalan Panjang untuk Penerimaan; Analisis Situasi Transpuan di Indonesia” yang dipublikasi Sanggar Waria Remaja (Swara) pada 2020 menyatakan, diskriminasi pada transpuan adalah dampak dari ekspresi fisik atau jender yang dianggap tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka. Hal ini dinilai menyimpang.
Menurut Program Officer Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) untuk Program Inklusi Merlyn Sopjan, negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi transpuan. Ini karena transpuan masih mengalami diskriminasi dan persekusi di lingkungan sosial hingga lingkungan kerja.
”Membangkitkan kesadaran orang (untuk memandang waria secara setara) itu sulit karena sebagian orang memandang dari kacamata agama, bukan kemanusiaan,” kata Merlyn di Jakarta, Senin (25/7/2022).