Seren Taun, Upaya Merekatkan Kembali Keping Kebangsaan
Ratusan orang dari berbagai latar belakang suku dan agama larut dalam upacara Seren Taun di Kuningan, Jawa Barat. Tradisi itu menjadi wujud syukur sekaligus merekatkan kebersamaan.
Ratusan orang memadati Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022). Berbagai latar belakang suku dan agama larut dalam upacara Seren Taun. Tradisi itu menjadi wujud syukur atas hasil bumi serta merekatkan kebersamaan.
Dua tangan Doni Febri Hendra (40) menumbuk padi menggunakan alu. Sambil berjalan mengitari lesung, dosen Seni Tari dari Universitas Universal Batam ini terus menghancurkan gabah. Warga yang berhijab, berkalung salib, dan berpakaian adat juga ikut menumbuk padi bersama-sama.
Mereka melumatkan gabah seberat 20 kuintal. Ini bagian dari 22 kuintal padi hasil panen petani. Angka itu diambil dari 22 Rayagung 1955 Saka Sunda, puncak peringatan Seren Taun. Setelah ditumbuk, beras dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Sisanya, 2 kuintal, jadi bibit lagi.
Lihat juga : Seren Taun Cigugur, Napas Syukur Bersama dalam Semangat Keberagaman
”Ini pertama kali saya pegang alu. Ternyata berat juga. Sekarang sudah banyak pakai mesin, tetapi di Seren Taun masih tradisional. Saya jadi paham, proses (beras) yang kita makan itu sulit,” ucapnya.
Dia juga takjub dengan ibu-ibu lanjut usia yang tangannya keriput, tetapi kuat menumbuk padi. Dari penumbukan padi itu, ia juga belajar makna kebersamaan meski tidak berasal dari satu daerah dan tak saling kenal.
”Ini gotong royong. Tidak mungkin hanya satu orang yang menumbuk padi. Kapan selesainya?” ucap Doni yang datang bersama tiga rekannya dari Kepulauan Riau.
Pengalaman pertama kali mengikuti Seren Taun itu sangat membekas bagi Doni. Anggota Gentra Lestari Budaya ini turut menampilkan kesenian khas Kepri dalam rangkaian Seren Taun yang berlangsung sejak Minggu (17/7/2022). Belasan perwakilan provinsi juga turut hadir.
Ia kagum dengan keramahan warga Cigugur. Terlebih ketika mengamati kebersamaan warga meski berbeda agama. Dalam satu keluarga, bisa terdapat lebih dari satu agama. Ada Islam, Kristen, atau penghayat Sunda Wiwitan. Perbedaan menjadi anugerah dan berkah untuk semua.
”Selama di sini, meskipun berbeda agama dan suku, saya merasa berada dalam satu lingkungan yang sama,” ucap Doni. Toleransi tersebut juga terasa saat ritual kidung spiritual. Secara bergiliran, para pemuka agama dan beberapa perwakilan aliran kepercayaan berdoa bersama.
Ketua Panitia Seren Taun 2022 Juwita Djatikusumah mengatakan, potret kebersamaan juga muncul saat 14 perwakilan provinsi mengadakan Pameran Pusaka Budaya Nusantara. Manuskrip, kain, batik, hingga keris dapat ditampilkan di Cigugur selama beberapa hari.
”Jangan hanya lihat obyek pusakanya, tetapi subyek yang membuatnya. Ini kekayaan luar biasa. Tetapi, pusaka terbesar adalah Pancasila,” kata Juwita. Seperti tema Seren Taun, yakni ”Merawat, Meruwat Pusaka Budaya Nusantara”, ia ingin mengingatkan pentingnya budaya Nusantara.
Perekat
Hj Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid juga hadir dalam acara ini. Dia menilai Seren Taun sebagai bagian dari budaya Indonesia dan bisa diperingati.
”Jadi, kalau ada sebagian masyarakat punya budaya, itu (harus) dihidupkan. Kenapa tidak? Semua berhak melakukan budayanya,” ucapnya.
Shinta mencontohkan, ketika suaminya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menjabat presiden, masyarakat keturunan Tionghoa diperbolehkan menggelar barongsai. Sebelumnya, budaya tersebut sempat dilarang ditampilkan di publik. Kini, barongsai menjadi salah satu atraksi wisata dan dinanti warga.
Begitu pula dengan Seren Taun, menurut Shinta, tradisi itu perlu dirawat. ”Sebab, Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Tradisi setiap suku itu bukankah sebagai perekat dari rakyat Indonesia? Di sini, kita saling mengunjungi. Kalau itu dihilangkan, namanya bukan rakyat Indonesia,” ucapnya.
Dengan tradisi, warga bisa mengingat nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan. Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan, misalnya, mengenal ungkapan sanajan sewang-sewangan tapi teu ewang-ewangan, yang bermakna sepengertian meski tak sepengakuan.
Bagi Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum, Seren Taun merupakan kekayaan budaya Jabar sehingga perlu dilestarikan. ”Dengan banyaknya budaya di Jabar, ini akan mempererat kesatuan dan persatuan. Semakin paham budaya daerah, semakin cinta terhadap daerah,” ujarnya.
Lihat juga : Gotong Royong Seren Taun
Berjuang
Meski demikian, perjuangan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan mempertahankan budayanya penuh terjal. Pada masa Orde Baru, pemerintah sempat melarang Seren Taun.
Kala itu, warga adat mengupas biji gabah secara sembunyi-sembunyi agar tetap menjalankan upacara itu. Masyarakat Akur Sunda Wiwitan juga sempat mengalami diskriminasi di sekolah dan kesulitan mendapatkan haknya secara administratif. Kolom agama di kartu tanda penduduk mereka pernah kosong. Bahkan, ada yang terpaksa harus menuliskan agama tertentu di identitasnya.
Tradisi itu perlu dirawat karena Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Tradisi setiap suku itu bukankah sebagai perekat dari rakyat Indonesia? Di sini, kita saling mengunjungi. Kalau itu dihilangkan, namanya bukan rakyat Indonesia. (Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid)
Pertengahan 2020, bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan disegel Satpol PP Kuningan karena dinilai tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Petugas akhirnya melepas segel itu setelah mendapat kecaman publik, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Eksekusi tanah juga mengancam masyarakat Akur Sunda Wiwitan. Pertengahan Mei 2022, puluhan warga adat menggelar aksi rencana pencocokan dan sita eksekusi tanah di Mayasih. Tahun 2017, mereka juga menolak eksekusi tanah sekitar 200 meter persegi tersebut.
Masyarakat Akur Sunda Wiwitan beberapa kali mencoba jalur hukum untuk mempertahankan tanah adat, tetapi belum berhasil. Salah satu kendalanya, mereka dinilai tak memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena belum terdaftar sebagai masyarakat hukum adat (MHA).
Masyarakat Sunda Wiwitan telah mengajukan penetapan MHA pada April 2020, tetapi Pemerintah Kabupaten Kuningan menolaknya pada 20 Desember 2020. Pemkab menilai Sunda Wiwitan belum memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA.
Baca juga : Eksekusi Tanah di Cigugur, Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan Terancam
Terkait hal itu, Uu meminta semua pihak mencari titik kebersamaan dan menghindari lubang perpecahan. ”Hidup itu harus siap beda. Kalau siap beda, kita siap bersama. Tuhan pun menciptakan kita berbeda-beda, tetapi juga mengharuskan kita bersama-sama,” ungkapnya.
Bupati Kuningan Acep Purnama juga mendukung masyarakat Akur Sunda Wiwitan mengekspresikan budayanya. Pihaknya berjanji mengkaji kembali secara regulasi dan akademis pengusulan MHA. Namun, ia belum bisa memastikan kapan kajian tersebut dimulai.
”Semua juga mungkin (pengakuan MHA Sunda Wiwitan). (Peringatan Seren Taun) seperti ini saja berjalan dengan baik. Itu salah satu bentuk pengakuan de facto dulu. De jure-nya nanti,” ucap Acep yang mengucapkan terima kasih atas peringatan Seren Taun.
Seren Taun telah menjadi perekat kebersamaan dalam perbedaan. Namun, butuh kebijakan dan dukungan berbagai pihak agar perekat tersebut tidak longgar dan memutus kebersamaan.
Baca juga : Sunda Wiwitan, Potret Diskriminasi terhadap Minoritas