Jalan Paralel Perbatasan yang Membuka Keterisolasian
Jalan paralel perlahan menghalau keterisolasian permukiman di perbatasan Indonesia-Malaysia. Warga kini bisa menikmati akses transportasi yang lebih mudah dan aman, tak lagi harus bertaruh nyawa.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·6 menit baca
Dulu masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar harus berjibaku dengan buruknya akses jalur. Dari kampung, mereka harus mengarungi derasnya riam-riam Sungai Sekayam, hingga menunggu tumpangan perahu selama dua pekan untuk menuju pusat kecamatan. Kini dengan jalan paralel, keterisolasian itu mulai hilang.
Jalan paralel menghubungkan dusun-dusun di perbatasan negara. Salah satunya adalah Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Warga mulai masif melintasi jalan paralel ini sejak 2015/2016.
Sebelum 2015, jalan satu-satunya dari pusat kota Entikong menuju Badat Baru hanyalah mengarungi Sungai Sekayam menggunakan perahu bermesin. Warga harus melintasi riam-riam menantang. Waktu tempuh jalur air itu bisa tujuh hingga belasan jam, padahal jaraknya hanya 54 km.
Kini jalan paralel yang mempersingkat waktu tempuh dan mempermudah akses. Kompas pertengahan Juli lalu turut menelusuri jalur paralel dari pusat Kota Entikong menuju dusun tersebut memakai kendaraan roda dua.
Jalan memang belum sepenuhnya aspal. Aspal hanya ada sekitar 2 km awal jalur dan 2 km di tengah jalur. Selebihnya berupa jalur tanah yang berkerikil dan berbatu. Sepanjang jalan dari Entikong menuju Dusun Badat Baru pun tak selalu datar, ada sejumlah tanjakan dengan kemiringan berkisar 20-40 derajat.
Meskipun belum datar dan belum beraspal seluruhnya, keberadaan jalan paralel tersebut sudah sangat berarti. Jalan ini memudahkan mobilitas warga dengan kendaraan roda dua dan empat. Tampak hari itu, sejumlah sepeda motor lalu lalang membawa hasil pertanian menuju Entikong.
Di beberapa lokasi jalan paralel juga sudah dibangun jembatan beton permanen. Sebelum ada jembatan beton, masyarakat menyeberangi sungai kecil dengan meniti jembatan bambu. Kini masyarakat bisa melintas dengan mudah melalui jembatan beton.
Jika dulu dari pusat kota Entikong ke Dusun Badat Baru butuh belasan jam dengan perahu, kini waktu tempuhnya jadi 1-2 jam dengan kendaraan roda dua.
Lusiana (46), bidan di Suruh Tembawang yang sudah 18 tahun bertugas di desa tersebut, merasa bersyukur dengan adanya jalan itu. Ia lebih mudah membawa pasien-pasiennya untuk dirujuk ke pusat desa atau puskesmas Entikong. Dengan kemudahan akses jalan, membuat ibu hamil yang butuh pertolongan lanjut bisa segera dirujuk ke fasilitas kesehatan di Entikong.
Lusiana menuturkan, dulu jalan satu-satunya ke Entikong hanya melalui Sungai Sekayam. Waktu tempuh berkisar 7-8 jam. Ketika ketinggian air bertambah signifikan akibat hujan di perhuluan, sungai akan pasang. Biasanya sungai tidak bisa dilintasi jika terlalu pasang karena risiko kecelakaan besar. Saat musim kemarau, sungai juga sulit dilintasi karena air terlalu surut.
”Dulu sering kami bermalam di perkampungan tepi sungai saat kondisi sungai tidak memungkinkan dilintasi,” ujarnya.
Ketika sudah ada jalur darat melalui jalan paralel, transportasi dari pusat desa menuju kecamatan bisa ditempuh, bahkan hanya sekitar satu jam. Ia mulai merujuk pasien melalui jalan paralel sejak tahun 2015/2016. Apalagi, empat hingga lima tahun terakhir kualitas jalan semakin baik.
Jalur paralel juga membuat guru-guru SD di dusun itu terbantu. Miliana (46), guru SDN 14 Badat yang sudah 11 tahun bertugas di sana, kini bisa naik ojek sepeda motor dari Entikong ke tempatnya mengajar.
Ketika masih menggunakan jalur sungai, akses menuju sekolah sulit sekali. Kala itu rata-rata yang memiliki perahu orang berbisnis sehingga belum tentu bisa mendapat tumpangan ketika ia ingin kembali ke tempat tugas di Dusun Badat Baru.
”Waktu masih menggunakan jalur sungai, saya pernah menunggu dua minggu di Entikong karena tidak ada perahu yang bisa ditumpangi menuju Dusun Badat Baru,” ungkap Miliana.
Miliana pernah memiliki pengalaman pahit mengarungi sungai saat air pasang pada 2012. Perahu yang ia tumpangi menabrak batu kemudian terbelah di bagian depan. Ia bisa menepi, tetapi harus menunggu perahu lain yang melintas menyelamatkannya. ”Anak saya yang berusia 5 tahun juga naik perahu itu. Namun, semuanya selamat,” tuturnya.
Bagi masyarakat kecil seperti Antonius Atong (43), petani di Dusun Badat Baru, jalur paralel membuat beban ekonominya berkurang. Saat masih menggunakan jalur sungai, biaya bahan bakar perahu bisa mencapai lebih dari Rp 1 juta.
Bahkan waktu itu, dari Dusun Badat Baru harus berjalan kaki terlebih dahulu sekitar 1 jam menuju Muara Banan tempat perahu bersandar. Jika membawa lada, harus ia pikul menuju pangkalan perahu, baru setelah itu mengarungi sungai dengan sampan.
”Bayangkan! Sebelum ada jalan paralel, harga semen di Entikong Rp 50.000 per zak. Sementara biaya angkut melalui sungai mencapai Rp 200.000 per zak. Lebih mahal biaya angkut daripada harga semen,” ungkap Antonius.
Thomas (46), warga lainnya, bahkan tujuh kali mengalami karam perahu di jalur sungai sepanjang 1990-2010. Saat membawa keluarganya yang sakit melintasi sungai, mereka kerap merasa tak nyaman karena riam mengombang-ambing perahu. Sekarang Thomas sudah lebih nyaman dan aman karena ada jalur darat. Ia pun sudah bisa membawa lada dari kampungnya menuju Entikong dengan sepeda motor.
Bayangkan! sebelum ada jalan paralel, harga semen di Entikong Rp 50.000 per zak. Sementara biaya angkut melalui sungai mencapai Rp 200.000 per zak. Lebih mahal biaya angkut daripada harga semen.
Kepala Dusun Badat Baru, Matius Liset (46), menuturkan, jalan paralel mempermudah akses anak-anak bersekolah ke SMP Suruh Tembawang di pusat desa dan SMA/SMK di Entikong.
Terus diperbaiki
Kualitas jalan paralel yang melintasi daerah itu terus ditingkatkan. Pada Jumat (15/7/2022) tampak alat berat terus membenahi jalan. Jalan yang bergelombang diratakan. Tanjakan yang terlalu terjal juga ada yang direndahkan.
Dengan kondisi infrastruktur yang lebih baik, kini warga bersemangat memanfaatkannya untuk terus meningkatkan ekonomi dengan potensi pertanian lada dan sayur-mayur. Hanya saja, petani kerap terbentur harga pupuk dan racun rumput yang tinggi sehingga untuk mengembangkan pertanian masih memerlukan perjuangan.
Masyarakat perbatasan di kabupaten tetangga, yakni Kabupaten Bengkayang, juga kerap melintas karena jalan paralel menghubungkan kampung-kampung di kabupaten-kabupaten perbatasan. Mereka menggunakan sepeda motor menikmati pemandangan perbukitan.
Setidaknya terdapat lima kabupaten di Kalbar berbatasan dengan Malaysia, yaitu Kabupaten Sambas (batas laut dan darat), Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sanggau. Selain itu, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu.
Berdasarkan data dari Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XX Pontianak, Kalbar, yang diterima Kompas pada tahun 2021, total jalan paralel perbatasan Kalbar 811,32 km. Jalan paralel terbagi atas tujuh koridor.
Ruas jalan nonstatus sepanjang 607,45 km dan lima koridor jalan nasional sepanjang 203,51 km. Jalan yang telah beraspal hingga akhir tahun 2020 sepanjang 322,41 km, jalan agregat sepanjang 196,57 km. Kemudian, jalan dengan kondisi tanah sepanjang 292,35 km.
Pembangunan perbatasan pun terus berjalan. Jalan nonstatus, di antaranya ruas Temajuk (Sambas) hingga Nanga Badau (Kapuas Hulu), akan dituntaskan hingga 2024.
Selain itu, ruas jalan Nanga Era-Batas Kalimantan Timur direncanakan tuntas hingga Desa Tanjung Lokang (Kapuas Hulu). Desa ini merupakan desa terakhir sebelum batas dengan Kaltim.
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, dengan adanya jalan paralel, masyarakat di perbatasan sudah terlayani dan tidak bergantung pada negara lain. Kegiatan ekonomi lainnya pun berjalan lebih lancar.
Warga di perbatasan pun kini tak merasa terisolasi lagi. Mereka bisa menikmati hasil pembangunan di kampungnya sendiri.